All Chapters of Pembantuku di Atas Ranjang Suamiku: Chapter 101 - Chapter 110

134 Chapters

Part 100

"Kok ekspresi kamu begitu, Mas. Kaya orang nggak seneng denger kabar aku hamil? Jangan-jangan kamu memang nggak mau punya anak dari aku ya?" tanyanya sambil mengerucutkan bibir manja.Aku menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara kasar. Menarik kursi yang ada di sebelah ranjang, mengenyakkan bokong sambil menatap wajah pucat Tiara yang terus saja dihiasi senyum merekah.Ah, bagaimana ini. Aku ingin lepas dari dia, tetapi malah Tuhan menitipkan amanah berupa buah hati untuk kami. Apa ini tandanya agar aku kembali merujuk Tiara?"Mas, kamu ini kenapa sih? Denger aku hamil nggak ada respon blas. Malah melamun terus begitu. Kamu nggak seneng ya, kalau aku hamil anak kamu?" Dia menarik kasar lenganku, hingga aku yang sedang melamun langsung berjengit kaget karenanya.Tuh, kan. Sikapnya saja masih kasar seperti ini, bagaimana aku masih bisa bertahan?"Bisa nggak halus sedikit, Ra. Menghormati aku sedikit saja gitu. Aku ini bukan anak k
Read more

Part 101

Pukul sepuluh malam, aku lihat Tiara sudah terlelap di atas ranjang rumah sakit. Buru-buru aku keluar dari kamar tersebut, mendatangi bagian informasi menanyakan tentang ruangan dokter yang sedang menangani Tiara."Oh, dokter Indah sudah pulang, Pak. Soalnya jam kerja beliau hanya sampai jam delapan saja. Kalau bapak mau bertemu bu dokter, silakan temui beliau besok di jam kerjanya," terang petugas membuat diri ini mendesah kecewa.Padahal, aku ingin sekali menggali informasi tentang Tiara. Ingin menanyakan apakah benar dia sedang mengandung, ataukah ada penyakit lain yang sedang dia derita.Meraup wajah kasar, mengayunkan kaki lebar-lebar menuju parkiran, menaiki kuda besi meninggalkan rumah sakit dan kembali ke ruko karena malam kian merangkak larut. Aku juga tidak mungkin terus menerus ada di rumah sakit, sebab masih ada pekerjaan di toko yang harus segera aku selesai.Untuk menghindari telepon dari Tiara, aku memutuskan untuk menonaktifkan pon
Read more

Part 102

"Baik, Dokter. Terima kasih. Kalau begitu saya permisi dulu!" Menyalami tangan perempuan beralmamater putih yang sedang duduk di depanku, membalikkan badan kemudian keluar dari ruangannya dan kembali ke kamar Tiara.Wanita pembohong itu masih terlelap karena pengaruh obat penenang di atas brankar. Wajahnya terlihat begitu pucat pasi, sedang bibirnya pecah-pecah mungkin karena kurang cairan.Ada sedikit rasa kasihan menelusup ke dalam kalbu, akan tetapi rasa kesal lebih mendominasi jika mengingat apa yang sudah dia lakukan selama ini. Menyakiti fisik almarhumah ibu, Alina, bahkan tidak jarang dia berbuat kasar kepadaku juga.Andai saja dia seorang perempuan baik-baik. Jika saja kelakuannya tidak bar-bar juga serakah, mungkin aku masih bisa mempertahankan dia, menjadi sandaran hati untuknya serta tempat berbagi kala duka sedang melanda seperti ini.Namun, tekadku untuk mengakhiri hubungan ini sudah bulat. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari dia juga pernikahan kami yang baru seu
Read more

Part 103

Terdengar suara azan di ponsel mulai berkumandang. Segera aku pamit kepada Tiara untuk melaksanakan ibadah shalat dzuhur, sekaligus ingin kembali ke toko sebab masih banyak pesanan yang belum dibungkus dan diambil oleh pihak ekspedisi.Aku tidak mau membuat pelanggan yang dicari dengan susah payah menghilang begitu saja karena aku tidak profesional."Ngapain sih, Mas, pake shalat segala. Mendingan nemenin aku di sini, kita ngobrol-ngobrol berdua, membiarkan masa depan juga calon anak kita!" katanya membuat dahi ini berkerut-kerut. Orang mau shalat kok dilarang. Tadi mengaku perempuan salehah."Shalat itu wajib, Tiara. Katanya kamu perempuan salehah, harusnya tahu dong, hukumnya shalat itu seperti apa?" Menatap wajah datarnya."Yasudah. Kalau begitu kamu shalat di sini saja. Aku nggak ngizinin kamu pergi, Mas. Kamu harus standby di sini nemenin aku terus!""Aku nggak mungkin shalat di sini, Tiara. Di sini lantainya kotor. Diinjak-injak banyak orang. Aku mau ke mushalla sebentar, sama m
Read more

Part 104

Sebuah mobil menepi di depan pintu pagar rumah mama. Tante Farhana keluar dari dalam kendaraan roda empat tersebut, disusul oleh Mas Umar putranya yang sudah lama kukagumi lalu melekuk senyum ketika melihat aku duduk di teras bersama Maura."Assalamualaikum, Lin!" ucapannya dengan intonasi suara lembut seperti biasanya."Waalaikumussalam, Tante." Berjalan menuju pintu garasi, membukakannya untuk ibu empat orang anak itu kemudian menyalami serta mencium punggung tangannya dengan takzim."Mari, silakan masuk!" Mempersilakan wanita dengan hijab panjang menjuntai itu masuk dan menyuruh tamuku untuk duduk."Kamu lagi sibuk ya?" tanyanya kemudian."Oh, enggak, Tan. Memangnya ada apa?""Tante mau minta tolong sama kamu, tapi takut merepotkan.""Memangnya mau minta tolong apa, Tan?""Anterin Tante belanja buat seserahan?""Seserahan?" Mengerutkan kening, melirik ke arah Mas Umar yang sejak tadi hanya diam tanpa
Read more

Part 105

Alarm di pagi hari terdengar menjerit-jerit memaksaku untuk segera membuka mata. Entah mengapa malam cepat sekali berubah menjadi pagi, bahkan sinar keemasan mentari sudah menerobos masuk melewati celah-celah tirai yang sedikit terbuka.Menyibak selimut yang membungkus tubuh, mematikan air conditioner kemudian mengayunkan kaki menuju bilik mandi untuk membasuh tubuh yang terasa lengket lalu segera bergabung bersama keluarga setelah selesai berganti pakaian.Maura sudah duduk di kursi meja makan sambil menyantap sereal ketika aku menghampiri. Sudah beberapa hari ini dia memang lebih memilih tidur di kamarnya sendiri, karena katanya dia sudah besar dan sudah sekolah."Baru bangun, Lin?" tegur Mas Aldo sambil memindai wajahku."Iya, Mas. Kesiangan!" Menyeringai."Kebiasaan. Sudah berapa kali Mas bilang, biasain bangun pagi, salat subuh, jangan ketinggalan mulu waktu subuhnya. Biar jodoh kamu nggak dipatok ayam. Supaya nanti dapet suami
Read more

Part 106

Hampir satu jam aku duduk sambil berbincang tidak jelas dengan Dafa di kursi pengunjung, sementara Kak Humaira dan Mas Aldo sedang sibuk mengepas pakaian pengantinnya, sambil sesekali saling melempar senyum bahagia, membuat diri ini merasa iri jadinya.Kak Humaira terlihat begitu cantik memesona dengan balutan gaun pengantin berwarna putih tulang, senada dengan baju yang sedang dikenakan oleh Mas Aldo, membuat kakak satu-satunya yang aku miliki terlihat begitu gagah juga manglingi.Teringat dulu ketika hendak menikah dengan Mas Alex, aku hanya mengenakan kebaya biasa yang disewa kepada perias pengantin, karena saat itu Mas Alex memang tidak memiliki cukup banyak uang untuk membelikan baju yang aku idamkan. Terlebih lagi, baik dari pihak keluarga aku maupun keluarga Mas Alex tidak ada yang menyetujui hubungan kami. Papa dan Mas Aldo selalu mengatakan kalau mantan suamiku itu bukan laki-laki yang baik dan hanya ingin memanfaatkan diriku juga apa yang aku pu
Read more

Part 107

Aku diam sambil menelan saliva. Ya Tuhan... Apa aku harus menerima Dafa yang sudah jelas-jelas mencintai aku dan mulai melupakan mas Umar. Bukan kah, lebih baik dicintai daripada mencintai, sebab perempuan itu mudah sekali jatuh cinta asalkan mendapatkan perhatian juga kasih sayang dari pasangannya."Kenapa diam, Lin? Apa kamu mau menerima cinta aku?" Lagi, dia bertanya dengan senyum tersungging di bibir."Kita coba jalani aja dulu ya, Daf. Jujur aku belum memiliki perasaan apa-apa sama kamu, tetapi bukankah cinta itu bisa datang kapan saja. Apa kamu mau menunggu sampai aku mencintai kamu?" Menatap netra dengan iris legam milik lelaki berusia tiga puluh tahun itu, berkata dengan jujur tanpa ada yang ditutupi."Berarti kita pacaran, Lin?" "Ish, mana ada pacaran-pacaran. Kaya abege aja. Inget, kita itu udah berumur!" Memonyongkan bibir beberapa centimeter."Biar kata kita sudah tua, tapi kan jiwanya masih menggelora kaya anak remaja. Sekar
Read more

Part 108

"Daf, Pak Anjas itu...?" tanyaku dengan mimik wajah bingung."Dia ayah aku, Lin!" Hah? Mulutku menganga dibuatnya. Jadi, selama ini dia menyembunyikan identitasnya. Berpura-pura menjadi karyawan biasa, padahal ia anak pemilik perusahaan tersebut?"Tidak ada yang tahu kalau Pak Anjas itu ayah aku, karena di kantor kami selalu profesional. Aku seorang karyawan, dan dia seorang bos yang harus aku hormati. Aku itu lagi belajar sama ayah, dan nggak mau semua orang tahu aku bekerja di perusahaan milik orang tua aku sendiri, agar mereka tidak meremehkan kemampuan aku."Aku semakin salut dibuatnya. Selama ini Dafa itu terlihat begitu profesional, sampai-sampai tidak menyadari kalau dia calon pewaris perusahaan Pak Anjas. Dan papanya juga tidak segan menegur dia saat salah, tanpa pandang bulu dan selalu memperlakukan Dafa seperti karyawan lainnya."Jangan bengong terus, apa kamu sedang terpesona dengan ketampanan pria yang ada di samping Bunda?"
Read more

Part 109

"Daf, sorry, aku mau nanya. Adik kamu kayaknya nggak suka sama aku, ya?" tanyaku ketika kami berdua sudah berada di dalam mobil."Memangnya kenapa, Lin?" "Kamu perhatikan saja cara dia liatin aku, Daf. Tanpa ekspresi, apalagi senyum. Dia juga tidak seramah bunda kamu.""Alina Sayang. Adik aku itu anak istimewa. Dia memang tuna wicara, dan soal dia nggak mau senyum, mungkin karena belum mengenal kamu, apalagi aku ini kakak kesayangannya. Pasti dia takut kasih sayang aku akan luntur jika sudah menikah nanti.""Oh, maaf. Aku nggak tahu." "Tidak apa-apa. Sebenarnya dia itu baik kok. Mungkin dia malu juga sama kamu karena kekurangannya. Tolong terima adik aku juga ya, Lin. Walaupun dia tidak sempurna."Aku melekuk senyum menatapnya, juga merasa tidak enak karena sudah menanyakan hal itu kepada Dafa.***Selepas ashar mobil yang dikemudikan Dafa menepi di depan pagar rumah Mama. Aku segera turun, menyuruh laki-laki
Read more
PREV
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status