"Daf, Pak Anjas itu...?" tanyaku dengan mimik wajah bingung.
"Dia ayah aku, Lin!"Hah? Mulutku menganga dibuatnya. Jadi, selama ini dia menyembunyikan identitasnya. Berpura-pura menjadi karyawan biasa, padahal ia anak pemilik perusahaan tersebut?"Tidak ada yang tahu kalau Pak Anjas itu ayah aku, karena di kantor kami selalu profesional. Aku seorang karyawan, dan dia seorang bos yang harus aku hormati. Aku itu lagi belajar sama ayah, dan nggak mau semua orang tahu aku bekerja di perusahaan milik orang tua aku sendiri, agar mereka tidak meremehkan kemampuan aku."Aku semakin salut dibuatnya. Selama ini Dafa itu terlihat begitu profesional, sampai-sampai tidak menyadari kalau dia calon pewaris perusahaan Pak Anjas. Dan papanya juga tidak segan menegur dia saat salah, tanpa pandang bulu dan selalu memperlakukan Dafa seperti karyawan lainnya."Jangan bengong terus, apa kamu sedang terpesona dengan ketampanan pria yang ada di samping Bunda?""Daf, sorry, aku mau nanya. Adik kamu kayaknya nggak suka sama aku, ya?" tanyaku ketika kami berdua sudah berada di dalam mobil."Memangnya kenapa, Lin?" "Kamu perhatikan saja cara dia liatin aku, Daf. Tanpa ekspresi, apalagi senyum. Dia juga tidak seramah bunda kamu.""Alina Sayang. Adik aku itu anak istimewa. Dia memang tuna wicara, dan soal dia nggak mau senyum, mungkin karena belum mengenal kamu, apalagi aku ini kakak kesayangannya. Pasti dia takut kasih sayang aku akan luntur jika sudah menikah nanti.""Oh, maaf. Aku nggak tahu." "Tidak apa-apa. Sebenarnya dia itu baik kok. Mungkin dia malu juga sama kamu karena kekurangannya. Tolong terima adik aku juga ya, Lin. Walaupun dia tidak sempurna."Aku melekuk senyum menatapnya, juga merasa tidak enak karena sudah menanyakan hal itu kepada Dafa.***Selepas ashar mobil yang dikemudikan Dafa menepi di depan pagar rumah Mama. Aku segera turun, menyuruh laki-laki
Aku mendengkus kesal sambil menatap punggung lebar Mas Aldo yang semakin menjauh.Apa-apaan ini, melarang aku dekat dengan Dafa, menyuruhku meninggalkan toko yang sudah aku kelola sejak nol hingga sebesar sekarang ini hanya karena rasa bencinya kepada pria yang saat ini sedang dekat dengan diriku."Lin, sebaiknya jangan kamu dengarkan omongan kakak kamu. Dia itu lagi pusing mikirin pernikahannya yang sudah tinggal menghitung hari, jadi kelakuannya seperti itu," ucap mama seraya mengusap lembut bahuku."Pusing? Orang semuanya sudah siap, kok. Kecuali masih belum siap seratus persen, kekurangan uang buat modal dan ada masalah besar lainnya yang menghalangi acara pernikahan dia dan kak Umay. Dasarnya saja Mas Aldo itu sensi banget sama Dafa. Sejak dulu kan dia memang benci sama temen aku!" sungutku kesal."Nah, kamu sudah tahu sifat kakak kamu seperti itu. Jadi tidak usah diambil hati ucapannya kalau begitu!""Yasudah, untuk sementara aku pergi dulu dari rumah ini, supaya Mas Aldo tidak
Aku menghela napas mendengar jawaban dari Dafa. Apa iya harus menceritakan semuanya kepada dia?Sepeda motor yang aku tumpangi menepi di sebuah warung soto. Dafa mengajakku untuk sarapan, sebab katanya dia belum makan apa-apa karena terus memikirkan keadaanku."Aku pesen teh anget saja, Daf. Sudah sarapan tadi sama Maura," ucapku sambil mengenyakkan bokong di atas bangku panjang di dalam kedai."Padahal aku pengen traktir kamu loh, Lin." Dia duduk di sebelahku."Lain kali saja. Aku udah kenyang. Nanti gendut kalau makan terus.""Memangnya kenapa kalau kamu jadi gendut?""Nanti kamu nggak suka lagi sama aku."Dafa terkekeh dan mengusap rambut ini hingga berantakan. "Aku tidak pandang fisik, Lin. Mau kamu gendut, ramping, aku itu mencintai kamu apa adanya.""Gombal!""Makanya ayo buruan ke penghulu. Biar kamu percaya kalau aku ini serius sama kamu."
"Aku pikir kamu sudah berubah, Mas. Tapi ternyata tidak. Kamu masih sama seperti Alex yang dulu. Egois dan menghalalkan segala cara agar mendapatkan apa yang diinginkan!""Aku tidak bermaksud seperti itu, Lin. Tapi ....""Tapi apa, Mas?" potongku. " Aku tidak pernah mempermasalahkan saat kamu menikah lagi. Aku juga tidak marah waktu denger kabar kamu sering tidur sama Tiara, karena aku pikir jalan kita sudah berbeda. Kita bukan lagi pasangan jadi apa yang kamu lakukan tidak lagi menjadi urusan aku.""Tapi kamu dulu sangat marah dan sampai mencelakai aku dan Siti, mengolesi kemaluan kami berdua sambal sampai aku hampir mati saking sakitnya, Lin. Apa kamu lupa itu?""Waktu itu status kamu masih suami aku. Jadi sangat wajar jika aku marah saat tahu suami aku selingkuh. Tapi sekarang ceritanya beda, kita sudah tidak memiliki hubungan apa-apa, dan aku mengizinkan kamu datang juga hanya karena Maura. Bukan karena masih cinta sama kamu!""L
"Aku lagi nyari kontrakan tapi belum dapat, Mas. Dan Mas tenang saja, aku pasti bakalan pergi dari sini. Aku akan hidup mandiri tanpa merepotkan siapa pun!" jawabku tidak gentar sama sekali. Mungkin jika memang harus meninggalkan toko yang sudah aku bangun dari nol hingga sebenar ini membuat dia merasa puas aku akan melakukannya."Itu alasan kamu saja, Alina. Kamu minta tolong lah sama laki-laki pujaan kamu. Aku pengen lihat, apakah setelah kamu tidak memiliki apa-apa dia masih mau menerima kamu!" sungut Mas Aldo masih terus saja meragukan cinta Dafa."Aldo, kamu jangan terlalu keras sama adik kamu. Tolong jangan bikin dia susah. Mama lihat dia tinggal di tempat sumpek seperti ini saja sudah sedih rasanya, apalagi jika Alina sampai terlunta-lunta dan harus mencari pekerjaan di luaran sana. Kan kamu tahu sendiri kalau adik kamu itu tidak memiliki pengalaman kerja. Sebaiknya kamu terima saja semua keputusan Alin. Toh, dia ini sudah besar. Bukan lagi anak kecil yang h
"Kamu serius, Lin?""Iya. Bismillah. Mungkin kamu memang jodoh yang dikirimkan Tuhan untuk aku.""Alhamdulillah, ya Allah. Aku mimpi apa, Alina. Akhirnya penantian panjang aku tidak berakhir sia-sia. Secepatnya aku akan datang melamar kamu secara resmi. Kamu tunggu saja ya, Calon istriku."Bibir ini melekuk senyum mendengar dia menyebutku calon istri.Entahlah, walaupun belum ada cinta dalam dada, namun timbul secercah keyakinan kalau Dafa memang laki-laki yang mampu menjagaku serta Maura, juga bisa menjadi imam yang baik untuk aku juga anak-anak nanti."Yasudah, kamu ada di rumah jam berapa, Daf. Nanti biar aku ke rumah kamu. Aku mau lihat-lihat kontrakan yang kamu bilang tadi, biar secepatnya bisa pindah dari sini.""Nanti pulang nganter Bunda aku jemput kamu, Sayang.""Oke kalau begitu. Terima kasih.""Sama-sama, Sayang. Aku matiin dulu teleponnya ya? Sampai jumpa nanti sore. Assalamualaikum Bidadari."
Tanpa ragu mengayunkan kaki lebar-lebar menghampiri dua orang tersebut, ingin melihat reaksi Pak Anjas juga Mas Aldo ketika menyadari kehadiranku.Namun entahlah. Ekspresi keduanya terlihat biasa-biasa saja, tidak salah tingkah seperti yang aku bayangkan, sebab Mas Aldo begitu membenci Dafa tetapi sangat akrab dengan ayahnya."Mbak Alin, apa kabar? Tumben baru kelihatan?" sapa Pak Anjas dengan ramah, menerbitkan senyuman manis kepadaku seperti saat pertama kali bertemu.Apa jangan-jangan Dafa belum menceritakan hubungan kami berdua kepada dia?"Alhamdulillah saya baik-baik saja, Pak. Pak Anjas tumben ada di kantor kakak saya?" tanyaku kemudian."Iya, Mbak. Ada sedikit keperluan dengan Pak Aldo. Yasudah, saya permisi dulu, sudah siang!" pamit laki-laki ber-tuksedo hitam itu seraya menepuk pundak kakak lelakiku dan segera masuk ke dalam mobilnya.Sementara Mas Aldo, seperti hari-hari sebelumnya dia masih saja bersikap dingin, tidak menunjukkan keramahan sama sekali kepadaku seperti dulu
"Apa, Mbak? Anak saya mengalami perdarahan? Sekarang dia dirawat di rumah sakit mana?""Di rumah sakit Kasih Bunda, Bu. Sebaiknya Ibu segera datang karena takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap pasien.""I--iya, Mbak!"Tanpa lagi mengucapkan salam kututup sambungan telepon, masuk ke dalam mobil dengan perasaan kacau serta air mata yang tak kunjung jua berhenti mengalir dari kedua sudut netra.Dengan kecepatan rata-rata kukemudikan kendaraan roda empat milikku menembus ramainya jalanan kota, hingga perputaran keempat roda mobil yang aku bawa berhenti tepat di depan sebuah bangunan berlantai lima tidak jauh dari kompleks perumahan tempat tinggalku.Hera sedang menangis di depan unit gawat darurat ketika aku sampai, dan terlihat gurat ketakutan di wajah ayunya."Ada apa, Ra? Kenapa Maura bisa sampai mengalami perdarahan seperti ini?" berondongku seraya mengguncang tubuh ramping perempuan itu."Maaf, Bu. Saya l
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu