Semua Bab Pembantuku di Atas Ranjang Suamiku: Bab 91 - Bab 100

134 Bab

Part 90

Alina beranjak dari duduknya sambil menggandeng tangan Maura lalu pamit kepadaku juga Ibu.Sementara Rani, dia terus saja menatap tidak suka ke arah mantan istri, terlihat sekali raut kebencian masih terpancar di kedua sorot netranya."Semoga Allah segera memberikan hidayah ke kamu ya, Ran. Biar kamu lekas berubah. Insyaallah masih ada kesempatan untuk kamu berubah, kok, selagi nyawa masih dikandung badan!" nasihat Alina seraya mengusap punggung adikku, akan tetapi dengan kasar perempuan berusia dua puluh empat tahun itu malah menyingkirkan tangan Alina."Jaga sikap kamu, Ran. Apa yang dikatakan Alina itu benar. Kamu memang harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mumpung belum terlambat!" timpalku ikut menasihati.Lagi, Rani mencebik bibir. Terlihat tidak terima mendengar nasihat dari kami berdua."Yasudah, Mas. Nanti kalau ada apa-apa hubungi aku saja. Nggak usah sungkan. Aku standby dua puluh empat jam kok!" Alina berujar sa
Baca selengkapnya

Part 91

"Sebaiknya kamu minta maaf sama Ibu, Ran!" perintahku sambil menahan amarah yang kian membuncah."Memangnya aku punya salah?" Dia memutar bola mata malas.Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak sambil terus menahan emosi agar tidak meledak-ledak di tempat ini. Malu sama orang-orang di depan, juga kepada para perawat yang ada. Lagian jika sampai ada percekcokan, pasti akan mengganggu ketenangan pasien lainnya.Daripada terus berbicara dengan Rani yang mata hatinya sudah tertutup rasa benci, lebih baik keluar dan meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Aku harus menenangkan diri juga meredam emosi."Kok aku ditinggal sendirian, Mas?" protes Rani sambil beranjak dari kursi.Aku terus mengayunkan kaki, berjalan ke luar meninggalkan kamar rawat inap Ibu tanpa menghiraukan perempuan keras kepala itu.Tujuanku kali ini adalah kantin, ingin sekedar menikmati teh hangat juga mengganjal perut yang sejak pag
Baca selengkapnya

Parrt 92

"Kalau ibu saya dimandikan dan disholatkan di rumah sakit bisa kan, ya? Biar nanti langsung dikebumikan!" ucapku kepada petugas, tanpa menghiraukan gagasan dari Rani. Sudah pasti dia akan marah jika tahu aku sudah menjual rumah Ibu tanpa persetujuan darinya, dan aku tidak mau ada keributan di saat sedang berbelasungkawa seperti ini."Bisa, Pak. Yasudah kalau begitu biar jenazah Bu Esti kami urus sekarang," jawab petugas membuat diri ini sementara bisa bernapas lega.Aku kemudian mengirimkan pesan kepada Alina, meminta bantuan sekali lagi untuk mencarikan tempat pemakaman umum, karena aku tidak mungkin turun tangan sendiri untuk hal yang satu itu.[Memangnya Ibu benar-benar udah gak ada, Mas?] Balasnya kemudian.[Iya, Lin. Maafin semua kesalahan Ibu ya.][Inalillahi... Aku turut berdukacita ya, Mas. Kamu yang sabar. Mungkin ini sudah takdir. Kita juga semua pasti akan mengalami yang namanya kematian. Semoga Ibu husnul khatimah.][Aamiin.][Yasudah nanti aku ke situ sama Mas Aldo. Kebet
Baca selengkapnya

Part 93

"Astaghfirullahaladzim, Rani. Makam Ibu saja masih basah. Kamu sudah berani membahas masalah uang penjualan rumah. Sebenarnya kamu itu punya hati nggak sih? Kamu juga kayaknya nggak merasa sedih sama sekali ditinggal oleh Ibu!""Sudahlah, Mas. Nggak usah berbelit-belit. Bilang saja kamu nggak mau bagi uang itu. Iya kan?""Rani, ya Allah...""Rumahnya laku berapa? Pokoknya aku minta sembilan puluh persen uang penjualan rumah itu. Pasti laku satu milyar ya? Rumah Ibu kan paling bagus di kampung kita!""Rumah itu laku tujuh ratus dua puluh juta, Ran. Dan sudah buat bayar utang sama Alina seratus delapan puluh juta, sementara sisanya Mas pake buat biaya pengobatan Ibu. Sekarang masih sisa tiga ratus lima puluh jutaan, dan rencananya buat bayar biaya pemakaman, buat tahlilan dan kebutuhan lainnya. Nanti sisanya Mas kasih ke kamu.""Nggak mau. Pokoknya aku mau uang itu utuh. Aku nggak perduli Mas harus nyari dari mana, yang pasti aku nggak ikhl
Baca selengkapnya

Part 94

"Mau minum apa?" tanyanya lagi."Nggak usah repot-repot, Lin. Mas datang ke sini cuma mau nanyain masalah uang kamu yang kepakai untuk biaya pemakaman Ibu kemarin. Habis berapa? Biar Mas ganti.""Mas Alex kaya sama siapa saja. Aku ikhlas kok ngeluarin uang buat biaya pemakaman Ibu, karena biar bagaimanapun, Ibu itu tetap ibu aku. Ada bekas istri atau bekas suami, tetapi tidak ada bekas mertua, Mas. Karena mertua sama dengan orang tua kita!""Tapi, Lin. Mas kan kemarin cuma minta tolong. Mas jadi nggak enak kalau malah akhirnya kamu yang membiayai pemakaman Ibu.""Santai saja kali, Mas. Anggap saja itu sebagai bakti terakhir aku terhadap beliau.""Tapi, Lin?"."Nggak ada tapi-tapian, ah. Udah, uang kamu buat acara tujuh harian sama empat puluh harian ibu saja. Nggak usah mikirin uang yang sudah aku keluarkan. Aku tersinggung loh, kalau kamu malah menggantinya."Aku menghela napas berat, malah merasa tidak enak kepadanya.
Baca selengkapnya

Part 95

Aku terus menatap dari kejauhan, dan terlihat sekali wajah keduanya terlihat bersemu merah. Aku sakit sekali melihatnya. Hati ini bagai sedang diremas-remas, nyeri hingga meresap ke dalam pori-pori."Alina, Mas Umar, Koko Raka, Bu Farhana, ayo kita foto dulu buat kenang-kenangan," ajak perempuan berhijab panjang menjuntai yang sepertinya ibu dokter Humaira.Mereka lekas beranjak dari kursi, berjalan menghampiri calon pengantin dan berswafoto bersama.Bibir ini mendadak tertarik ke atas dengan sendirinya ketika membayangkan aku lah yang sedang ada di sana, berfoto dengan Alina dan keluarga, bukan Mas Umar."Ayo, Lex ikut foto juga!" Tiba-tiba bapak mertua menghampiri, mengajakku ikut bergabung, memberikan secercah harapan kalau beliau masih mau menerima diri ini sebagai menantu. Semoga saja.Dengan langkah ragu berjalan menuju sekumpulan orang-orang yang sudah bersiap, ikut berdiri di sebelah ayah dari Mas Umar sambil sesekali melirik wajah Alina yang terlihat begitu bahagia.Dan setel
Baca selengkapnya

Part 96

[Mas, nggak usah ke toko. Barang-barang sudah saya taruh di kantor, karena saya ada keperluan mendadak.] Segera mengirimkan pesan kepada kurir yang biasa mengambil barang, memberitahu kalau aku sudah membawa barang-barang tersebut ke kantor ekspedisi. Kasihan kalau mereka datang ke toko dan aku tidak ada.Seusai mengurus barang dagangan, gegas melajukan kendaraan roda empat milikku ke rumah mantan mertua, dan segera memarkirkan kendaraan tersebut di depan pagar rumah orang tua Alina lalu menekan bel istana tersebut."Silakan masuk, Lex!" ucap Mas Aldo sambil membuka pintu pagar."Terima kasih, Mas. Bagaimana keadaan Maura?" tanyaku kemudian."Dia ada di kamar sama Mama dan Alina. Badannya panas banget, semalam juga sudah kami bawa berobat ke dokter."Kaki ini terayun cepat menuju kamar bernuansa merah muda serta penuh gambar unicorn di tembok, menghampiri permata hatiku yang sedang terbaring di atas ranjang lalu mencium pipinya.
Baca selengkapnya

Part 97

"Kamu nggak lagi bercanda 'kan, Mas?" tanya mantan istri seraya mengerutkan dahi."Aku serius, Lin. Selama ini aku perhatikan juga kita semakin dekat. Kamu sering melibatkan aku dalam segala hal, dan aku yakin kalau sebenarnya kamu juga masih memiliki perasaan yang sama seperti aku. Tolong jangan tolak dan hancurkan hati aku, Alina. Aku mohon." Mata ini tidak lepas dari wajahnya."Maaf, Mas. Selama ini aku baik dan selalu melibatkan kamu, karena kamu itu ayah dari anakku. Kalau anak kita sakit ya wajar aku memberitahu, sebab kamu juga memiliki hak atas anak kita, dan aku tidak mau disalahkan jika terjadi apa-apa kepada Maura!" jawabnya sambil membuang pandang menghindari tatapanku."Sudah tidak adakah rasa cinta di hati kamu untuk aku, Lin?""Bisa nggak, kita nggak usah membahas masalah perasaan, Mas? Kita berdua menjadi teman baik, mengurus Maura bersama-sama tanpa ada ikatan apa-apa.""Aku masih mencintai kamu, Alina.""Kamu pa
Baca selengkapnya

Part 98

"Kenapa Ibu menyerahkan anak-anak ke orang lain tanpa izin dari saya? Saya ini bapaknya mereka loh, Bu. Saya yang paling berhak atas diri mereka berdua!" protesku tidak terima."Bapak tidak bertanggung jawab saja kok bangga. Anak-anak itu butuh biaya. Mereka butuh sandang pangan yang layak, dan saya tidak bisa memberikannya kepada mereka berdua. Makanya ketika ada yang berniat mengadopsi, kenapa tidak saya serahkan? Toh, sudah pasti orang tua baru cucu-cucu saya lebih baik dan lebih mapan dari kamu, dan yang lebih penting mereka mau memberikan saya uang!" cicit perempuan tua itu panjang lebar."Saya juga masih mampu memberi mereka makan, Bu? Harusnya kalau Ibu tidak sanggup mengurus mereka, Ibu tinggal menghubungi saya dan saya akan mengambil anak-anak. Bukan main kasih ke orang lain? Lagian bukannya dulu Ibu dan Mbak Dewi yang ngotot ingin mengurus mereka?!" berangku berapi-api."Halah, nggak usah sok-sokkan menjadi orang paling terzolimi juga tersakiti.
Baca selengkapnya

Part 99

***Setelah beberapa hari mengunggah foto di aplikasi jual beli kendaraan, mobil milikku yang uang penjualannya akan diberikan kepada Maura akhirnya mendapatkan pembeli juga. Aku juga sengaja membeli sebuah sepeda motor bekas, untuk transportasiku kemana-mana, sebab terasa boros jika menggunakan transportasi online, maupun angkutan umum yang biasa melintas di depan toko.Pokoknya aku harus menjadi orang tua yang baik serta bertanggung jawab, bisa dipegang ucapannya sebab takut akhirnya Maura merasa tidak nyaman, menjauh dariku hingga nanti memilih mencintai ayah barunya jika Alina sudah menemukan jodoh.Ah, mengapa mendadak jantung ini berkedut nyeri membayangkan mantan istri bersanding di pelaminan bersama pria lain, tersenyum simpul saling mencuri pandang selayaknya pengantin baru.[Assalamualaikum, Lin. Aku sudah transfer sejumlah uang ke rekening kamu. Buat Maura. Maaf ya, baru ngasih segitu. Nanti kalau aku ada rezeki aku kasih lagi
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
89101112
...
14
DMCA.com Protection Status