"Astaghfirullahaladzim, Rani. Makam Ibu saja masih basah. Kamu sudah berani membahas masalah uang penjualan rumah. Sebenarnya kamu itu punya hati nggak sih? Kamu juga kayaknya nggak merasa sedih sama sekali ditinggal oleh Ibu!"
"Sudahlah, Mas. Nggak usah berbelit-belit. Bilang saja kamu nggak mau bagi uang itu. Iya kan?""Rani, ya Allah...""Rumahnya laku berapa? Pokoknya aku minta sembilan puluh persen uang penjualan rumah itu. Pasti laku satu milyar ya? Rumah Ibu kan paling bagus di kampung kita!""Rumah itu laku tujuh ratus dua puluh juta, Ran. Dan sudah buat bayar utang sama Alina seratus delapan puluh juta, sementara sisanya Mas pake buat biaya pengobatan Ibu. Sekarang masih sisa tiga ratus lima puluh jutaan, dan rencananya buat bayar biaya pemakaman, buat tahlilan dan kebutuhan lainnya. Nanti sisanya Mas kasih ke kamu.""Nggak mau. Pokoknya aku mau uang itu utuh. Aku nggak perduli Mas harus nyari dari mana, yang pasti aku nggak ikhl"Mau minum apa?" tanyanya lagi."Nggak usah repot-repot, Lin. Mas datang ke sini cuma mau nanyain masalah uang kamu yang kepakai untuk biaya pemakaman Ibu kemarin. Habis berapa? Biar Mas ganti.""Mas Alex kaya sama siapa saja. Aku ikhlas kok ngeluarin uang buat biaya pemakaman Ibu, karena biar bagaimanapun, Ibu itu tetap ibu aku. Ada bekas istri atau bekas suami, tetapi tidak ada bekas mertua, Mas. Karena mertua sama dengan orang tua kita!""Tapi, Lin. Mas kan kemarin cuma minta tolong. Mas jadi nggak enak kalau malah akhirnya kamu yang membiayai pemakaman Ibu.""Santai saja kali, Mas. Anggap saja itu sebagai bakti terakhir aku terhadap beliau.""Tapi, Lin?"."Nggak ada tapi-tapian, ah. Udah, uang kamu buat acara tujuh harian sama empat puluh harian ibu saja. Nggak usah mikirin uang yang sudah aku keluarkan. Aku tersinggung loh, kalau kamu malah menggantinya."Aku menghela napas berat, malah merasa tidak enak kepadanya.
Aku terus menatap dari kejauhan, dan terlihat sekali wajah keduanya terlihat bersemu merah. Aku sakit sekali melihatnya. Hati ini bagai sedang diremas-remas, nyeri hingga meresap ke dalam pori-pori."Alina, Mas Umar, Koko Raka, Bu Farhana, ayo kita foto dulu buat kenang-kenangan," ajak perempuan berhijab panjang menjuntai yang sepertinya ibu dokter Humaira.Mereka lekas beranjak dari kursi, berjalan menghampiri calon pengantin dan berswafoto bersama.Bibir ini mendadak tertarik ke atas dengan sendirinya ketika membayangkan aku lah yang sedang ada di sana, berfoto dengan Alina dan keluarga, bukan Mas Umar."Ayo, Lex ikut foto juga!" Tiba-tiba bapak mertua menghampiri, mengajakku ikut bergabung, memberikan secercah harapan kalau beliau masih mau menerima diri ini sebagai menantu. Semoga saja.Dengan langkah ragu berjalan menuju sekumpulan orang-orang yang sudah bersiap, ikut berdiri di sebelah ayah dari Mas Umar sambil sesekali melirik wajah Alina yang terlihat begitu bahagia.Dan setel
[Mas, nggak usah ke toko. Barang-barang sudah saya taruh di kantor, karena saya ada keperluan mendadak.] Segera mengirimkan pesan kepada kurir yang biasa mengambil barang, memberitahu kalau aku sudah membawa barang-barang tersebut ke kantor ekspedisi. Kasihan kalau mereka datang ke toko dan aku tidak ada.Seusai mengurus barang dagangan, gegas melajukan kendaraan roda empat milikku ke rumah mantan mertua, dan segera memarkirkan kendaraan tersebut di depan pagar rumah orang tua Alina lalu menekan bel istana tersebut."Silakan masuk, Lex!" ucap Mas Aldo sambil membuka pintu pagar."Terima kasih, Mas. Bagaimana keadaan Maura?" tanyaku kemudian."Dia ada di kamar sama Mama dan Alina. Badannya panas banget, semalam juga sudah kami bawa berobat ke dokter."Kaki ini terayun cepat menuju kamar bernuansa merah muda serta penuh gambar unicorn di tembok, menghampiri permata hatiku yang sedang terbaring di atas ranjang lalu mencium pipinya.
"Kamu nggak lagi bercanda 'kan, Mas?" tanya mantan istri seraya mengerutkan dahi."Aku serius, Lin. Selama ini aku perhatikan juga kita semakin dekat. Kamu sering melibatkan aku dalam segala hal, dan aku yakin kalau sebenarnya kamu juga masih memiliki perasaan yang sama seperti aku. Tolong jangan tolak dan hancurkan hati aku, Alina. Aku mohon." Mata ini tidak lepas dari wajahnya."Maaf, Mas. Selama ini aku baik dan selalu melibatkan kamu, karena kamu itu ayah dari anakku. Kalau anak kita sakit ya wajar aku memberitahu, sebab kamu juga memiliki hak atas anak kita, dan aku tidak mau disalahkan jika terjadi apa-apa kepada Maura!" jawabnya sambil membuang pandang menghindari tatapanku."Sudah tidak adakah rasa cinta di hati kamu untuk aku, Lin?""Bisa nggak, kita nggak usah membahas masalah perasaan, Mas? Kita berdua menjadi teman baik, mengurus Maura bersama-sama tanpa ada ikatan apa-apa.""Aku masih mencintai kamu, Alina.""Kamu pa
"Kenapa Ibu menyerahkan anak-anak ke orang lain tanpa izin dari saya? Saya ini bapaknya mereka loh, Bu. Saya yang paling berhak atas diri mereka berdua!" protesku tidak terima."Bapak tidak bertanggung jawab saja kok bangga. Anak-anak itu butuh biaya. Mereka butuh sandang pangan yang layak, dan saya tidak bisa memberikannya kepada mereka berdua. Makanya ketika ada yang berniat mengadopsi, kenapa tidak saya serahkan? Toh, sudah pasti orang tua baru cucu-cucu saya lebih baik dan lebih mapan dari kamu, dan yang lebih penting mereka mau memberikan saya uang!" cicit perempuan tua itu panjang lebar."Saya juga masih mampu memberi mereka makan, Bu? Harusnya kalau Ibu tidak sanggup mengurus mereka, Ibu tinggal menghubungi saya dan saya akan mengambil anak-anak. Bukan main kasih ke orang lain? Lagian bukannya dulu Ibu dan Mbak Dewi yang ngotot ingin mengurus mereka?!" berangku berapi-api."Halah, nggak usah sok-sokkan menjadi orang paling terzolimi juga tersakiti.
***Setelah beberapa hari mengunggah foto di aplikasi jual beli kendaraan, mobil milikku yang uang penjualannya akan diberikan kepada Maura akhirnya mendapatkan pembeli juga. Aku juga sengaja membeli sebuah sepeda motor bekas, untuk transportasiku kemana-mana, sebab terasa boros jika menggunakan transportasi online, maupun angkutan umum yang biasa melintas di depan toko.Pokoknya aku harus menjadi orang tua yang baik serta bertanggung jawab, bisa dipegang ucapannya sebab takut akhirnya Maura merasa tidak nyaman, menjauh dariku hingga nanti memilih mencintai ayah barunya jika Alina sudah menemukan jodoh.Ah, mengapa mendadak jantung ini berkedut nyeri membayangkan mantan istri bersanding di pelaminan bersama pria lain, tersenyum simpul saling mencuri pandang selayaknya pengantin baru.[Assalamualaikum, Lin. Aku sudah transfer sejumlah uang ke rekening kamu. Buat Maura. Maaf ya, baru ngasih segitu. Nanti kalau aku ada rezeki aku kasih lagi
"Kok ekspresi kamu begitu, Mas. Kaya orang nggak seneng denger kabar aku hamil? Jangan-jangan kamu memang nggak mau punya anak dari aku ya?" tanyanya sambil mengerucutkan bibir manja.Aku menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara kasar. Menarik kursi yang ada di sebelah ranjang, mengenyakkan bokong sambil menatap wajah pucat Tiara yang terus saja dihiasi senyum merekah.Ah, bagaimana ini. Aku ingin lepas dari dia, tetapi malah Tuhan menitipkan amanah berupa buah hati untuk kami. Apa ini tandanya agar aku kembali merujuk Tiara?"Mas, kamu ini kenapa sih? Denger aku hamil nggak ada respon blas. Malah melamun terus begitu. Kamu nggak seneng ya, kalau aku hamil anak kamu?" Dia menarik kasar lenganku, hingga aku yang sedang melamun langsung berjengit kaget karenanya.Tuh, kan. Sikapnya saja masih kasar seperti ini, bagaimana aku masih bisa bertahan?"Bisa nggak halus sedikit, Ra. Menghormati aku sedikit saja gitu. Aku ini bukan anak k
Pukul sepuluh malam, aku lihat Tiara sudah terlelap di atas ranjang rumah sakit. Buru-buru aku keluar dari kamar tersebut, mendatangi bagian informasi menanyakan tentang ruangan dokter yang sedang menangani Tiara."Oh, dokter Indah sudah pulang, Pak. Soalnya jam kerja beliau hanya sampai jam delapan saja. Kalau bapak mau bertemu bu dokter, silakan temui beliau besok di jam kerjanya," terang petugas membuat diri ini mendesah kecewa.Padahal, aku ingin sekali menggali informasi tentang Tiara. Ingin menanyakan apakah benar dia sedang mengandung, ataukah ada penyakit lain yang sedang dia derita.Meraup wajah kasar, mengayunkan kaki lebar-lebar menuju parkiran, menaiki kuda besi meninggalkan rumah sakit dan kembali ke ruko karena malam kian merangkak larut. Aku juga tidak mungkin terus menerus ada di rumah sakit, sebab masih ada pekerjaan di toko yang harus segera aku selesai.Untuk menghindari telepon dari Tiara, aku memutuskan untuk menonaktifkan pon
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu