"Kok ekspresi kamu begitu, Mas. Kaya orang nggak seneng denger kabar aku hamil? Jangan-jangan kamu memang nggak mau punya anak dari aku ya?" tanyanya sambil mengerucutkan bibir manja.
Aku menghela napas dalam-dalam lalu membuangnya secara kasar. Menarik kursi yang ada di sebelah ranjang, mengenyakkan bokong sambil menatap wajah pucat Tiara yang terus saja dihiasi senyum merekah.Ah, bagaimana ini. Aku ingin lepas dari dia, tetapi malah Tuhan menitipkan amanah berupa buah hati untuk kami. Apa ini tandanya agar aku kembali merujuk Tiara?"Mas, kamu ini kenapa sih? Denger aku hamil nggak ada respon blas. Malah melamun terus begitu. Kamu nggak seneng ya, kalau aku hamil anak kamu?" Dia menarik kasar lenganku, hingga aku yang sedang melamun langsung berjengit kaget karenanya.Tuh, kan. Sikapnya saja masih kasar seperti ini, bagaimana aku masih bisa bertahan?"Bisa nggak halus sedikit, Ra. Menghormati aku sedikit saja gitu. Aku ini bukan anak kPukul sepuluh malam, aku lihat Tiara sudah terlelap di atas ranjang rumah sakit. Buru-buru aku keluar dari kamar tersebut, mendatangi bagian informasi menanyakan tentang ruangan dokter yang sedang menangani Tiara."Oh, dokter Indah sudah pulang, Pak. Soalnya jam kerja beliau hanya sampai jam delapan saja. Kalau bapak mau bertemu bu dokter, silakan temui beliau besok di jam kerjanya," terang petugas membuat diri ini mendesah kecewa.Padahal, aku ingin sekali menggali informasi tentang Tiara. Ingin menanyakan apakah benar dia sedang mengandung, ataukah ada penyakit lain yang sedang dia derita.Meraup wajah kasar, mengayunkan kaki lebar-lebar menuju parkiran, menaiki kuda besi meninggalkan rumah sakit dan kembali ke ruko karena malam kian merangkak larut. Aku juga tidak mungkin terus menerus ada di rumah sakit, sebab masih ada pekerjaan di toko yang harus segera aku selesai.Untuk menghindari telepon dari Tiara, aku memutuskan untuk menonaktifkan pon
"Baik, Dokter. Terima kasih. Kalau begitu saya permisi dulu!" Menyalami tangan perempuan beralmamater putih yang sedang duduk di depanku, membalikkan badan kemudian keluar dari ruangannya dan kembali ke kamar Tiara.Wanita pembohong itu masih terlelap karena pengaruh obat penenang di atas brankar. Wajahnya terlihat begitu pucat pasi, sedang bibirnya pecah-pecah mungkin karena kurang cairan.Ada sedikit rasa kasihan menelusup ke dalam kalbu, akan tetapi rasa kesal lebih mendominasi jika mengingat apa yang sudah dia lakukan selama ini. Menyakiti fisik almarhumah ibu, Alina, bahkan tidak jarang dia berbuat kasar kepadaku juga.Andai saja dia seorang perempuan baik-baik. Jika saja kelakuannya tidak bar-bar juga serakah, mungkin aku masih bisa mempertahankan dia, menjadi sandaran hati untuknya serta tempat berbagi kala duka sedang melanda seperti ini.Namun, tekadku untuk mengakhiri hubungan ini sudah bulat. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan dari dia juga pernikahan kami yang baru seu
Terdengar suara azan di ponsel mulai berkumandang. Segera aku pamit kepada Tiara untuk melaksanakan ibadah shalat dzuhur, sekaligus ingin kembali ke toko sebab masih banyak pesanan yang belum dibungkus dan diambil oleh pihak ekspedisi.Aku tidak mau membuat pelanggan yang dicari dengan susah payah menghilang begitu saja karena aku tidak profesional."Ngapain sih, Mas, pake shalat segala. Mendingan nemenin aku di sini, kita ngobrol-ngobrol berdua, membiarkan masa depan juga calon anak kita!" katanya membuat dahi ini berkerut-kerut. Orang mau shalat kok dilarang. Tadi mengaku perempuan salehah."Shalat itu wajib, Tiara. Katanya kamu perempuan salehah, harusnya tahu dong, hukumnya shalat itu seperti apa?" Menatap wajah datarnya."Yasudah. Kalau begitu kamu shalat di sini saja. Aku nggak ngizinin kamu pergi, Mas. Kamu harus standby di sini nemenin aku terus!""Aku nggak mungkin shalat di sini, Tiara. Di sini lantainya kotor. Diinjak-injak banyak orang. Aku mau ke mushalla sebentar, sama m
Sebuah mobil menepi di depan pintu pagar rumah mama. Tante Farhana keluar dari dalam kendaraan roda empat tersebut, disusul oleh Mas Umar putranya yang sudah lama kukagumi lalu melekuk senyum ketika melihat aku duduk di teras bersama Maura."Assalamualaikum, Lin!" ucapannya dengan intonasi suara lembut seperti biasanya."Waalaikumussalam, Tante." Berjalan menuju pintu garasi, membukakannya untuk ibu empat orang anak itu kemudian menyalami serta mencium punggung tangannya dengan takzim."Mari, silakan masuk!" Mempersilakan wanita dengan hijab panjang menjuntai itu masuk dan menyuruh tamuku untuk duduk."Kamu lagi sibuk ya?" tanyanya kemudian."Oh, enggak, Tan. Memangnya ada apa?""Tante mau minta tolong sama kamu, tapi takut merepotkan.""Memangnya mau minta tolong apa, Tan?""Anterin Tante belanja buat seserahan?""Seserahan?" Mengerutkan kening, melirik ke arah Mas Umar yang sejak tadi hanya diam tanpa
Alarm di pagi hari terdengar menjerit-jerit memaksaku untuk segera membuka mata. Entah mengapa malam cepat sekali berubah menjadi pagi, bahkan sinar keemasan mentari sudah menerobos masuk melewati celah-celah tirai yang sedikit terbuka.Menyibak selimut yang membungkus tubuh, mematikan air conditioner kemudian mengayunkan kaki menuju bilik mandi untuk membasuh tubuh yang terasa lengket lalu segera bergabung bersama keluarga setelah selesai berganti pakaian.Maura sudah duduk di kursi meja makan sambil menyantap sereal ketika aku menghampiri. Sudah beberapa hari ini dia memang lebih memilih tidur di kamarnya sendiri, karena katanya dia sudah besar dan sudah sekolah."Baru bangun, Lin?" tegur Mas Aldo sambil memindai wajahku."Iya, Mas. Kesiangan!" Menyeringai."Kebiasaan. Sudah berapa kali Mas bilang, biasain bangun pagi, salat subuh, jangan ketinggalan mulu waktu subuhnya. Biar jodoh kamu nggak dipatok ayam. Supaya nanti dapet suami
Hampir satu jam aku duduk sambil berbincang tidak jelas dengan Dafa di kursi pengunjung, sementara Kak Humaira dan Mas Aldo sedang sibuk mengepas pakaian pengantinnya, sambil sesekali saling melempar senyum bahagia, membuat diri ini merasa iri jadinya.Kak Humaira terlihat begitu cantik memesona dengan balutan gaun pengantin berwarna putih tulang, senada dengan baju yang sedang dikenakan oleh Mas Aldo, membuat kakak satu-satunya yang aku miliki terlihat begitu gagah juga manglingi.Teringat dulu ketika hendak menikah dengan Mas Alex, aku hanya mengenakan kebaya biasa yang disewa kepada perias pengantin, karena saat itu Mas Alex memang tidak memiliki cukup banyak uang untuk membelikan baju yang aku idamkan. Terlebih lagi, baik dari pihak keluarga aku maupun keluarga Mas Alex tidak ada yang menyetujui hubungan kami. Papa dan Mas Aldo selalu mengatakan kalau mantan suamiku itu bukan laki-laki yang baik dan hanya ingin memanfaatkan diriku juga apa yang aku pu
Aku diam sambil menelan saliva. Ya Tuhan... Apa aku harus menerima Dafa yang sudah jelas-jelas mencintai aku dan mulai melupakan mas Umar. Bukan kah, lebih baik dicintai daripada mencintai, sebab perempuan itu mudah sekali jatuh cinta asalkan mendapatkan perhatian juga kasih sayang dari pasangannya."Kenapa diam, Lin? Apa kamu mau menerima cinta aku?" Lagi, dia bertanya dengan senyum tersungging di bibir."Kita coba jalani aja dulu ya, Daf. Jujur aku belum memiliki perasaan apa-apa sama kamu, tetapi bukankah cinta itu bisa datang kapan saja. Apa kamu mau menunggu sampai aku mencintai kamu?" Menatap netra dengan iris legam milik lelaki berusia tiga puluh tahun itu, berkata dengan jujur tanpa ada yang ditutupi."Berarti kita pacaran, Lin?" "Ish, mana ada pacaran-pacaran. Kaya abege aja. Inget, kita itu udah berumur!" Memonyongkan bibir beberapa centimeter."Biar kata kita sudah tua, tapi kan jiwanya masih menggelora kaya anak remaja. Sekar
"Daf, Pak Anjas itu...?" tanyaku dengan mimik wajah bingung."Dia ayah aku, Lin!" Hah? Mulutku menganga dibuatnya. Jadi, selama ini dia menyembunyikan identitasnya. Berpura-pura menjadi karyawan biasa, padahal ia anak pemilik perusahaan tersebut?"Tidak ada yang tahu kalau Pak Anjas itu ayah aku, karena di kantor kami selalu profesional. Aku seorang karyawan, dan dia seorang bos yang harus aku hormati. Aku itu lagi belajar sama ayah, dan nggak mau semua orang tahu aku bekerja di perusahaan milik orang tua aku sendiri, agar mereka tidak meremehkan kemampuan aku."Aku semakin salut dibuatnya. Selama ini Dafa itu terlihat begitu profesional, sampai-sampai tidak menyadari kalau dia calon pewaris perusahaan Pak Anjas. Dan papanya juga tidak segan menegur dia saat salah, tanpa pandang bulu dan selalu memperlakukan Dafa seperti karyawan lainnya."Jangan bengong terus, apa kamu sedang terpesona dengan ketampanan pria yang ada di samping Bunda?"
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu