All Chapters of Pembantuku di Atas Ranjang Suamiku: Chapter 71 - Chapter 80

134 Chapters

Part 71

"Apa? Mau nampar? Berani main kasar sekarang kamu sama aku, Mas?" tantangnya kemudian, sambil menepis kasar tanganku.Dia lalu mengayunkan kaki lebar-lebar ke halaman, mengejar ibu dan menarik tas wanita yang telah melahirkanku itu kemudian mengambil uang yang sudah diikat rapi oleh Ibu."Sudah bau tanah, masih saja mau jadi maling!" sungutnya muntap."Heh, kembalikan uang saya, atau saya suruh Alex menceraikan kamu!" ancam Ibu."Lakukan saja, saya tidak takut karena saya yakin Mas Alex tidak akan berani melakukan itu!""Tiara! Kamu jangan begitu sama Ibu. Dia itu mertua kamu. Masa kamu berani melawan mertua seperti itu?" timpalku mencoba memberi pengertian kepada istri."Dia memang mertua aku, tetapi apa aku juga harus diam saja ketika dia mencuri uang milikku?""Ibu nggak mencuri. Dia hanya minta. Harusnya kamu mengikhlaskan saja dan tidak usah diperbesar masalah ini. Semuanya bisa dibicarakan secara baik-baik. Ng
Read more

Part 72

"Kan sama saja, Mas. Surat-surat izin usaha juga semua atas nama aku, kok. Pokoknya kamu tenang saja. Jangan lupa nanti ATM kamu kasih ke aku dulu, biar aku bisa cepat-cepat belanja perlengkapan toko.""Nanti belanjanya sama aku, Ra. Biar sama-sama enak. Sebaiknya kamu tanya-tanya sama Alina juga di mana dia belanja barang-barang yang biasa dia jual dan bagaimana trik marketingnya biar toko kita bisa ramai kaya tokonya.""Nggak usah nanya-nanya ke Alina. Nanti dia besar kepala. Aku juga tahu kok distributor baju murah dan berkualitas.""Yasudah terserah kamu."Kami pun segera pergi ke Tanah Abang untuk membeli gawangan, gantungan belalai, hanger body juga manekin dan perlengkapan toko lainnya. Sedangkan untuk urusan pakaian yang akan dijual, biar Tiara yang menangani. Aku tinggal terima beres.Ah, tidak sabar rasanya menerima orderan setiap hari dan menjadi pengusaha sukses.***"Mas, bagaimana kalau kita endorse sa
Read more

Part 73

Operasi? Pasti biayanya tidak sedikit. Walaupun di dalam tabungan masih ada lumayan banyak uang, tetapi apa iya aku harus mengeluarkannya secara cuma-cuma.Ya Tuhan... Apa yang harus aku lakukan?"Apa tidak ada jalan lain selain operasi, Dokter?""Luka benturan di kepala Ibu lumayan cukup parah, Pak. Dan jalan satu-satunya ya harus segera dilakukan tindakan operasi, untuk mencegah segala komplikasi yang dapat terjadi akibat darah yang tidak mengalir dengan baik di kepala, sebab pembekuan darah di kepala Ibu dapat menjadi situasi yang berbahaya dan mengancam nyawa."Aku mengusap wajah dengan gusar. Di satu sisi ingin sekali menyelamatkan nyawa Ibu, tetapi di sini lain takut uang tabunganku terkuras habis untuk biaya pengobatannya.Ah, mendadak hati ini menjadi dilema."Emm..., Dok, untuk biaya perawatan juga operasi, apakah kami bisa menggunakan asuransi kesehatan yang dari pemerintah?" tanyaku sedikit ragu juga malu."Bi
Read more

Part 74

"Apa kamu sadar dengan apa yang kamu ucapkan barusan, Rani? Kamu menyumpahi ibu?" Mataku tidak lepas dari wajahnya yang sudah terlihat begitu berantakan."Sudah, sebaiknya Mas pulang. Nggak ada gunanya juga Mas di sini. Bikin aku tambah pusing. Nanti datang ke sini lagi kalau sudah menyiapkan uang untuk menebus aku dari rutan ini!" usirnya sambil mengibaskan tangan.Aku mengambil napas secara rakus, berusaha tetap tenang juga sabar menghadapi perempuan itu. Mungkin saja saat ini emosinya sedang meninggi karena kecewa sebab kami tidak bisa mengeluarkan dia dari bui.Bukannya kami tidak mau usaha. Sudah berkali-kali Ibu mencoba untuk menyogok petugas, akan tetapi mereka menolak suapan dari Ibu. Mungkin karena bapak Alina itu seorang mantan kepala polisi sehingga mereka takut jika sampai menerima uang pelicin dari kami, atau karena alasan apa aku juga tidak tahu.Beranjak dari kursi, mengayunkan kaki gontai menuju parkiran dan lekas kembali ke rumah sakit untuk menemani Ibu.Iseng-iseng
Read more

Part 75

Pukul satu dini hari, Ibu membuka mata perlahan lalu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Tatapan perempuan itu terlihat kosong. Bahkan dia terus mengabaikan diriku yang sedang duduk di kursi sebelah ranjang tempat dia tengah berbaring."Bu, Ibu sudah siuman?" tanyaku sambil menyentuh punggung tangannya.Dia hanya menatapku tanpa menjawab apa-apa. Raut kebingungan terpancar jelas di wajahnya, persis seperti anak kecil yang baru saja terjaga dari tidurnya."Bu..." Sekali lagi memanggil namanya, akan tetapi tetap tidak ada respon."Kamu siapa? Mana A Mansyur?" tanyanya setelah sekian lama terdiam sambil terus mengedarkan pandangan.A Mansyur? Kenapa malah mendiang Bapak yang ditanyakan?"Kamu ke sini mau nagih utang kan? Saya lagi nggak punya duit. Sebaiknya kamu pergi dari tempat ini! Dasar rentenir!" ucapnya dengan nada lemah namun tatapan mata Ibu terlihat kurang suka dengan kehadiran d
Read more

Part 76

"Lihat, perhiasan saya yang baru dibeli. Cakep-cakep kan?" cerocos ibu sambil tersenyum-senyum sendiri, seolah sedang berbicara dengan seseorang di depannya.Aku mengusap wajah gusar melihat keadaan dia yang semakin terlihat mengkhawatirkan. Takut menjadi kebablasan dan harus dirawat di rumah sakit jiwa."Bu, kenapa sih, Ibu malah jadi seperti ini? Jangan bikin aku khawatir dan juga repot dong, Bu. Ibu kan tahu, Rani masih dibui, sementara aku baru merintis usaha di Jakarta. Kalau Ibu terus menerus seperti ini otomatis aku juga harus nemenin Ibu, meninggalkan toko dalam jangka waktu lama. Tiara pasti akan mengomel. Belum lagi uang penghasilan toko pasti akan dikuasai sama dia juga!" ucapku panjang lebar, berharap Ibu mengerti juga sadar.Dan tanpa diduga, perempuan berambut mulai memutih itu menoleh menatapku dalam-dalam, tidak lagi mengatakan sesuatu malah menatap nanar wajah ini.Ha... Ha... Ha...Aku menelan ludah dengan susah payah me
Read more

Part 77

Ponsel yang tergeletak di atas kasur terdengar berdering nyaring. Aku segera membuka mata, mengerjap-ngerjap sambil menatap sekeliling ruangan yang sudah terlihat gelap.Buru-buru menyambar benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu, melihat jam di pojok kiri layar ternyata sudah pukul delapan belas lebih tujuh sore. Pantas saja ruangan ini terasa gelap, karena ternyata hari sudah mulai petang.Aku mengabaikan panggilan dari Tiara dan segera turun dari tempat tidur, mengayunkan kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan badan yang terasa lengket juga sudah tidak nyaman karena sudah sejak kemarin tidak terkena air. Paling-paling perempuan itu hanya akan mengomel karena aku belum kembali ke Jakarta hingga saat ini. Selesai membersihkan badan aku berjalan menuju ke dapur, membuka lemari es dan ternyata tidak ada bahan makanan apa pun di dalam sana, padahal perutku sudah keroncongan karena sejak siang belum diisi makanan apa pun selain air mineral.
Read more

Part 78

Dua hari kemudian. Dokter memberikan surat rujukan ke sebuah rumah sakit yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalku. Setidaknya kalau dia dirawat di Jakarta, aku masih bisa bekerja sambil mengurusnya supaya Tiara tidak terus menerus mengomel karena aku dianggap mengabaikan dirinya.Dan karena kondisi Ibu yang tidak bisa berjalan, akhirnya mau tidak mau harus menyewa ambulans untuk mengantar dia ke rumah sakit tujuan, sementara aku mengendarai mobilku sendiri dan mengikuti mobil ambulans tersebut dari belakang.Setelah menempuh perjalanan yang lumayan terasa singkat mobil yang membawa Ibu akhirnya menepi di depan sebuah rumah sakit. Aku segera ikut memarkirkan mobil, turun dari kendaraan serta mengurus biaya administrasi agar orang yang sudah melahirkan aku tiga puluh tiga tahun yang lalu itu lekas mendapatkan penanganan.Lagi, ponsel dalam genggaman tiba-tiba berdering nyaring. Ada panggilan masuk dari Tiara yang sepertinya tidak ada bosannya menghubun
Read more

Part 79

"Mas, ayo kita ke toko. Kemarin seharian aku udah gak buka toko soalnya badan rasanya capek dan lemes, perut juga mual. Kayaknya aku masuk angin deh!" ajak Tiara sambil menyisir rambutnya yang masih basah."Iya, Ra. Bagaimana pendapatan toko selama aku nggak ada?" tanyaku seraya memindai wajah istri dari pantulan cermin."Ya begitulah, Mas! Masih seperti kemarin-kemarin. Pusing aku. Masa pendapatannya cuma sejuta selama sepekan, dan itu pun masih pendapatan kotor. Kapan kita bisa kaya kalau begini terus!" sungutnya kemudian.Aku menghela napas, berusaha sabar mendengar kabar kurang menyenangkan itu.Heran, kenapa giliran aku yang membuka toko pakaian omsetnya tidak seperti kios milik Alina yang pendapatannya bisa sampai dua hingga tiga juta lebih dalam satu hari. Aku merasa begitu sulit mendapatkan pelanggan dan rezekiku terasa begitu sempit saat ini."Kok malah melamun? Pasti lagi mikirin Ibu ya?" tanya Tiara sembari melipat tangan di de
Read more

Part 80

Aku pikir-pikir dulu ya, Ra. Soalnya nggak bisa langsung ambil keputusan mendadak seperti ini," ucapku karena masih merasa ragu."Jangan kelamaan mikirnya, Mas. Nanti kalau udah setuju aku bantu carikan pembeli yang mau bayar mahal rumah Ibu," desaknya lagi.Aku hanya mengangguk mengiyakan, kemudian segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan milikku dan melajukannya menuju toko.Bismillah... Semoga hari ini banyak orderan masuk supaya pendapatan juga bertambah. Bisa bangkrut usahaku jika omsetnya terus saja seperti ini.***Baru saja menjajakkan kaki di teras toko dan membuka rolling door, ponsel dalam tas terdengar menjerit-jerit. Aku segera mengambil benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu, dan ternyata dari pihak rumah sakit yang menghubungi."Siapa, Mas?" tanya Tiara dengan mimik tidak suka."Dari rumah sakit!" jawabku sambil berjalan sedikit menjauh, lekas menggeser tombol hijau, lalu men
Read more
PREV
1
...
678910
...
14
DMCA.com Protection Status