"Mas, ayo kita ke toko. Kemarin seharian aku udah gak buka toko soalnya badan rasanya capek dan lemes, perut juga mual. Kayaknya aku masuk angin deh!" ajak Tiara sambil menyisir rambutnya yang masih basah.
"Iya, Ra. Bagaimana pendapatan toko selama aku nggak ada?" tanyaku seraya memindai wajah istri dari pantulan cermin."Ya begitulah, Mas! Masih seperti kemarin-kemarin. Pusing aku. Masa pendapatannya cuma sejuta selama sepekan, dan itu pun masih pendapatan kotor. Kapan kita bisa kaya kalau begini terus!" sungutnya kemudian.Aku menghela napas, berusaha sabar mendengar kabar kurang menyenangkan itu.Heran, kenapa giliran aku yang membuka toko pakaian omsetnya tidak seperti kios milik Alina yang pendapatannya bisa sampai dua hingga tiga juta lebih dalam satu hari. Aku merasa begitu sulit mendapatkan pelanggan dan rezekiku terasa begitu sempit saat ini."Kok malah melamun? Pasti lagi mikirin Ibu ya?" tanya Tiara sembari melipat tangan di deAku pikir-pikir dulu ya, Ra. Soalnya nggak bisa langsung ambil keputusan mendadak seperti ini," ucapku karena masih merasa ragu."Jangan kelamaan mikirnya, Mas. Nanti kalau udah setuju aku bantu carikan pembeli yang mau bayar mahal rumah Ibu," desaknya lagi.Aku hanya mengangguk mengiyakan, kemudian segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan milikku dan melajukannya menuju toko.Bismillah... Semoga hari ini banyak orderan masuk supaya pendapatan juga bertambah. Bisa bangkrut usahaku jika omsetnya terus saja seperti ini.***Baru saja menjajakkan kaki di teras toko dan membuka rolling door, ponsel dalam tas terdengar menjerit-jerit. Aku segera mengambil benda pipih persegi berukuran tujuh inci itu, dan ternyata dari pihak rumah sakit yang menghubungi."Siapa, Mas?" tanya Tiara dengan mimik tidak suka."Dari rumah sakit!" jawabku sambil berjalan sedikit menjauh, lekas menggeser tombol hijau, lalu men
"Sabar, ya, Mas. Kamu pasti bisa melalui semua ini," ucap Tiara sambil mengusap lembut bahuku, dan segera kusambut tangang tersebut lalu menggenggamnya."Terima kasih, Sayang," ujarku kemudian."Kembali kasih, Mas.""Yasudah. Mas ke bagian administrasi dulu. Kamu tunggu di sini ya? Mas titip Ibu!""Memangnya kamu ada uang?""Masih ada sepuluh juta di ATM. Sisanya biar nanti Mas cari lagi!""Yasudah!"Aku mengayunkan kaki gontai keluar dari kamar Ibu, menghampiri bagian administrasi lalu menyerahkan sejumlah uang sebagai down payment biaya operasi Ibu."Sisanya nanti saya bayar setelah operasinya selesai ya, Mbak. Bisa kan?""Bisa, Pak. Saya buat nota pembayarannya dulu ya, Pak?" "Baik, Mbak."Aku berdiri sambil terus menatap lurus ke tembok, benar-benar bingung harus mencari uang dari mana untuk biaya pengobatan Ibu. Mau meminjam ke Tiara sepertinya tidak mungkin, karena dia pasti tid
"Jangan egois lah, Lin. Mas ini lagi kesusahan. Masa kamu nggak ada pengertiannya sama sekali. Mas pasti melunasi uang kamu yang dipakai untuk membayar utang aku ke Pak Anjas, tetapi untuk soal uang yang dipakai untuk merenovasi, dulu kan aku memakainya saat kita masih hidup bersama, masa iya masih kamu ungkit-ungkit setelah kita bercerai? Tolong pakai perasaan sedikit... saja Alina."Aku tersenyum sumbang mendengar sanggahannya, memang dia menggunakan uang untuk renovasi ketika kami masih bersama, tetapi dia mencuri, tidak pernah meminta. Masih untung aku tidak memperkarakan kasus pencurian itu ke ranah hukum juga."Tapi kamu mencuri uang aku, Mas?" pungkasku."Bahasa kamu kok kasar banget, Lin. Aku tidak pernah mencuri uang kamu!" Dia masih terus berusaha mengelak."Mengambil tanpa izin, apa itu bukan disebut mencuri? Aku berbicara kasar begini juga belajar dari kamu. Aku bisa lebih baik kepada orang yang bersikap baik, dan b
"Lin, tolong hubungi Alex, soalnya ada yang mau beli rumah ibunya. Siapa tahu harganya cocok!" perintah Mas Aldo sambil melongok ke dalam kamar. Aku yang sedang berbaring malas-malasan di atas kasur segera beranjak, menyambar benda pipih persegi berukuran tujuh inci milikku lalu mengirimkan pesan kepada mantan suami dan menyuruh dia untuk datang ke rumah."Memangnya siapa yang mau beli, Mas?" tanyaku kemudian, karena penasaran baru sehari promosi tapi langsung mendapatkan calon pembeli."Temen Mas Aldo. Dia memang lagi nyari rumah di daerah situ dan kemarin sudah lihat-lihat lokasinya. Kata dia cocok karena lingkungannya asri dan tetangganya ramah-ramah!" Mas Aldo menjawab sambil terus memainkan ponselnya dan sesekali tersenyum kepada benda mati tersebut."Oh... Mudah-mudahan langsung deal deh, biar duit aku juga bisa cepet balik lagi!""Dasar mata duitan!""Lha, wajar kali aku pengen duitnya cepet balik. Orang itu tabungan
Suasana di dalam mobil kembali hening pasca membahas kematian Siti. Maura yang mendominasi suara sudah terlelap di pangkuan sang ayah, sementara Mas Aldo juga tidak lagi mengulik masa lalu mantan suamiku.Sementara aku, lebih memilih memejamkan mata, menjemput lelap hingga saat membuka mata ternyata kami sudah sampai kembali di Jakarta."Silakan masuk dulu, Lex. Biar kita hitung-hitungan dulu supaya masalah antar kamu dan Alina benar-benar clear. Aku capek musuhin kamu terus kaya anak kecil!" kelakar Mas Aldo sambil menepuk pundak mantan adik iparnya."Iya, Mas. Tapi aku angkat Maura dulu dan bawa dia masuk ke dalam kamar ya, Mas!"Mas Aldo hanya menjawab dengan anggukan kepala.Lagi, ponsel Mas Alex terdengar berdering nyaring. Lagi-lagi pria itu terlihat mengomel dan mengatakan untuk sabar dan menunggu di rumah, juga menyinggung masalah cemburu juga menyebut namaku."Aturan tadi kamu ajak Tiara sekalian, Mas. Jadi dia nggak cem
"Astaghfirullahaladzim, Tiara. Aku itu pergi sama Maura dan Mas Aldo juga. Lagian Alina itu perempuan baik-baik, dia itu tidak akan mau diajak begituan oleh laki-laki yang sudah tidak memiliki ikatan. Dia bukan wanita gampangan, yang baru kenal langsung mau diajak tidur!" jawabku sekenanya, kesal dengan tuduhan yang dia lontarkan."Maksud kamu apa? Kamu nyindir aku, Mas?""Loh, kenapa kamu malah tersinggung? Memangnya kamu merasa seperti itu? Kalau kamu nggak merasa ya nggak usah marah!""Aku melakukan itu juga karena kamu merayu. Kalau kamu nggak merayu aku juga nggak bakalan mau, sampai harus digerebek warga juga!""Sudahlah, Ra. Sudah jam satu pagi. Aku capek, lebih baik istirahat. Jangan ngajakin ribut terus!" Melenggang masuk meninggalkan perempuan berambut sebahu itu lalu lekas mengganti pakaian dan berangkat tidur."Mas, mana uang penjualan rumah Ibu? Kamu nggak mau ngasih bagian ke aku?" Tiba-tiba dia meng
Sambil menyeringai puas Tiara melenggang masuk ke dalam mobil, dan aku mengikutinya dari belakang.Sepanjang perjalanan perempuan culas itu terus saja mendekap erat tas yang ada di pangkuannya, seolah takut kalau aku akan merebut uang milk Ibu darinya."Kita ke rumah sakit sekarang, Ra. Kita lunasi biaya pengobatan Ibu," ucapku sambil melirik ke arah Tiara yang sedang sibuk memainkan ponsel, dan sesekali dia terlihat tersenyum kepada benda mati di tangannya."Ra, kamu denger nggak sih aku ngomong?" Meninggikan nada bicara satu oktaf, karena perempuan di sebelahku terus saja mengabaikan diriku.Lagi, Tiara hanya tersenyum-senyum sendiri tanpa memperdulikan aku, membuat kesabaranku yang sudah menipis akhirnya habis.Aku lekas menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi, merebut tas yang ada dipangkuan Tiara hingga terjadi adegan saling tarik menarik antara aku dan perempuan itu.Tiara menjerit histeris meminta pertolongan, akan teta
Ah, sepertinya tidak mungkin. Ibu kan memang suka meracau tidak karuan. Mungkin hanya halusinasinya dia saja, karena biar bagaimanapun Tiara tidak mungkin berbuat sekejam itu kepada ibu mertuanya."Kasihan Ibu. Kok dia jadi seperti itu ya, Mas?" Alina menatap prihatin ke arah Ibu."Iya, mungkin itu karmanya dia karena selama sehat selalu menyakiti perasaan orang lain, termasuk perasaan kamu."Alina terdengar menghela napas dalam-dalam. "Aku sudah memaafkan Ibu, Mas!""Iya, aku tahu. Terima kasih. Kamu memang perempuan terbaik yang pernah aku temui di dunia ini. Aku juga minta maaf karena sudah menghancurkan perasaan kamu, Lin. Aku harap kita bisa kembali menjalin hubungan seperti dulu!"Dahi lawan biacaku berkerut-kerut, menatapku dengan mimik kurang nyaman."Maksud aku sebagai teman, Lin. Aku mau kamu menjadi teman aku. Itu pun jika kamu tidak keberatan!" ralatku kemudian.Bibir perempuan yang pernah membersamaiku selam
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu