"Astaghfirullahaladzim, Tiara. Aku itu pergi sama Maura dan Mas Aldo juga. Lagian Alina itu perempuan baik-baik, dia itu tidak akan mau diajak begituan oleh laki-laki yang sudah tidak memiliki ikatan. Dia bukan wanita gampangan, yang baru kenal langsung mau diajak tidur!" jawabku sekenanya, kesal dengan tuduhan yang dia lontarkan.
"Maksud kamu apa? Kamu nyindir aku, Mas?""Loh, kenapa kamu malah tersinggung? Memangnya kamu merasa seperti itu? Kalau kamu nggak merasa ya nggak usah marah!""Aku melakukan itu juga karena kamu merayu. Kalau kamu nggak merayu aku juga nggak bakalan mau, sampai harus digerebek warga juga!""Sudahlah, Ra. Sudah jam satu pagi. Aku capek, lebih baik istirahat. Jangan ngajakin ribut terus!" Melenggang masuk meninggalkan perempuan berambut sebahu itu lalu lekas mengganti pakaian dan berangkat tidur."Mas, mana uang penjualan rumah Ibu? Kamu nggak mau ngasih bagian ke aku?" Tiba-tiba dia mengSambil menyeringai puas Tiara melenggang masuk ke dalam mobil, dan aku mengikutinya dari belakang.Sepanjang perjalanan perempuan culas itu terus saja mendekap erat tas yang ada di pangkuannya, seolah takut kalau aku akan merebut uang milk Ibu darinya."Kita ke rumah sakit sekarang, Ra. Kita lunasi biaya pengobatan Ibu," ucapku sambil melirik ke arah Tiara yang sedang sibuk memainkan ponsel, dan sesekali dia terlihat tersenyum kepada benda mati di tangannya."Ra, kamu denger nggak sih aku ngomong?" Meninggikan nada bicara satu oktaf, karena perempuan di sebelahku terus saja mengabaikan diriku.Lagi, Tiara hanya tersenyum-senyum sendiri tanpa memperdulikan aku, membuat kesabaranku yang sudah menipis akhirnya habis.Aku lekas menepikan mobil di pinggir jalan yang sepi, merebut tas yang ada dipangkuan Tiara hingga terjadi adegan saling tarik menarik antara aku dan perempuan itu.Tiara menjerit histeris meminta pertolongan, akan teta
Ah, sepertinya tidak mungkin. Ibu kan memang suka meracau tidak karuan. Mungkin hanya halusinasinya dia saja, karena biar bagaimanapun Tiara tidak mungkin berbuat sekejam itu kepada ibu mertuanya."Kasihan Ibu. Kok dia jadi seperti itu ya, Mas?" Alina menatap prihatin ke arah Ibu."Iya, mungkin itu karmanya dia karena selama sehat selalu menyakiti perasaan orang lain, termasuk perasaan kamu."Alina terdengar menghela napas dalam-dalam. "Aku sudah memaafkan Ibu, Mas!""Iya, aku tahu. Terima kasih. Kamu memang perempuan terbaik yang pernah aku temui di dunia ini. Aku juga minta maaf karena sudah menghancurkan perasaan kamu, Lin. Aku harap kita bisa kembali menjalin hubungan seperti dulu!"Dahi lawan biacaku berkerut-kerut, menatapku dengan mimik kurang nyaman."Maksud aku sebagai teman, Lin. Aku mau kamu menjadi teman aku. Itu pun jika kamu tidak keberatan!" ralatku kemudian.Bibir perempuan yang pernah membersamaiku selam
"Saya permisi pulang dulu, Sus. Titip Ibu ya. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya," ucapku kepada suster Sarah yang selalu aku percaya untuk menjaga Ibu."Iya, Pak. Hati-hati di jalan!" sahutnya kemudian, sembari tersenyum manis kepadaku."Terima kasih!"Aku segera menyambar kunci mobil, melajukan kendaraan roda empat milikku dengan kecepatan rata-rata sambil menahan api amarah yang kian membara di dalam dada.Tiara. Aku tidak menyangka kalau kamu bisa sekejam itu terhadap Ibu. Kalau hanya menyakiti dengan ucapan mungkin aku masih bisa memaklumi juga memaafkan, tetapi kalau sudah menyakiti fisik seperti itu aku tidak akan terima. Biar bagaimanapun, Ibu itu orangtuaku, wanita yang telah melahirkan juga membesarkan aku dengan susah payah.Lagian, keadaan Ibu sekarang ini sedang sakit. Tega sekali dia menyakiti orang yang sedang dalam keadaan tidak berdaya, bahkan sampai meninggalkan banyak luka lebam di kulitnya.Arghh!!
Malam kian merangkak larut, Ibu juga sudah terlelap walaupun sekali-kali dia mengigau, menyebut nama almarhum Bapak juga menyebut-nyebut nama orang yang sudah meninggal.Jujur aku begitu takut melihat keadaannya saat ini. Khawatir jika tiba-tiba Allah memanggil Ibu, sedangkan dirinya belum bertaubat dan meminta maaf kepada orang-orang yang sudah dia zalimi. Semoga saja Sang Maha Kuasa masih memberi kesempatan sekali lagi, dan Ibu mendapat keajaiban juga kesembuhan.***[Lin, aku boleh mampir ke toko? Ada yang mau aku bicara sama kamu. Penting.]Mengirimkan pesan kepada Alina, berniat menyerahkan mobil yang sedang aku pakai untuk Muara, supaya hati ini sedikit lega serta tidak selalu merasa zalim kepada malaikat kecilku itu.[Bisa, Mas. Aku sudah di toko. Memangnya ada apa?] Balasnya.[Aku otewe sekarang.][👍👍]Lekas menutup rolling door toko, bergegas ke kios milik mantan istri dan sesampainya di san
"Kamu nggak marah kan, kalau aku membawa Tiara ke kantor polisi?" Alina menatapku."Nggak apa-apa, Lin. Sekali-sekali dia juga harus diberi pelajaran, biar kapok dan nggak gampang nyakitin orang. Niatnya aku juga ingin melapor karena dia sudah menyakiti fisik ibu, tetapi kamu sudah mewakilinya.""Semoga saja setelah kejadian ini dia berubah. Aku pengen hidup tenang tanpa diganggu oleh orang-orang nggak jelas kaya dia!""Aku minta maaf, semua terjadi gara-gara aku.""Sudahlah, Mas. Lupakan saja!" "Yasudah kalau begitu aku permisi pulang dulu. Nanti kalau mobilnya sudah laku uangnya langsung aku transfer ke kamu.""Iya!" Aku menatap Alina sekali lagi sebelum pergi, kemudian mengayunkan kaki perlahan menuju kendaraan, kembali ke rumah sakit untuk menemani Ibu."Kebetulan Bapak datang. Ibu tadi pingsan dan sekarang badannya demam!" Baru saja sampai di lobby rumah sakit, suster Sarah sudah menghampiri dan memberi k
Alina beranjak dari duduknya sambil menggandeng tangan Maura lalu pamit kepadaku juga Ibu.Sementara Rani, dia terus saja menatap tidak suka ke arah mantan istri, terlihat sekali raut kebencian masih terpancar di kedua sorot netranya."Semoga Allah segera memberikan hidayah ke kamu ya, Ran. Biar kamu lekas berubah. Insyaallah masih ada kesempatan untuk kamu berubah, kok, selagi nyawa masih dikandung badan!" nasihat Alina seraya mengusap punggung adikku, akan tetapi dengan kasar perempuan berusia dua puluh empat tahun itu malah menyingkirkan tangan Alina."Jaga sikap kamu, Ran. Apa yang dikatakan Alina itu benar. Kamu memang harus berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Mumpung belum terlambat!" timpalku ikut menasihati.Lagi, Rani mencebik bibir. Terlihat tidak terima mendengar nasihat dari kami berdua."Yasudah, Mas. Nanti kalau ada apa-apa hubungi aku saja. Nggak usah sungkan. Aku standby dua puluh empat jam kok!" Alina berujar sa
"Sebaiknya kamu minta maaf sama Ibu, Ran!" perintahku sambil menahan amarah yang kian membuncah."Memangnya aku punya salah?" Dia memutar bola mata malas.Aku mengambil napas dalam-dalam, melonggarkan dada yang terasa sesak sambil terus menahan emosi agar tidak meledak-ledak di tempat ini. Malu sama orang-orang di depan, juga kepada para perawat yang ada. Lagian jika sampai ada percekcokan, pasti akan mengganggu ketenangan pasien lainnya.Daripada terus berbicara dengan Rani yang mata hatinya sudah tertutup rasa benci, lebih baik keluar dan meninggalkan mereka berdua di dalam kamar. Aku harus menenangkan diri juga meredam emosi."Kok aku ditinggal sendirian, Mas?" protes Rani sambil beranjak dari kursi.Aku terus mengayunkan kaki, berjalan ke luar meninggalkan kamar rawat inap Ibu tanpa menghiraukan perempuan keras kepala itu.Tujuanku kali ini adalah kantin, ingin sekedar menikmati teh hangat juga mengganjal perut yang sejak pag
"Kalau ibu saya dimandikan dan disholatkan di rumah sakit bisa kan, ya? Biar nanti langsung dikebumikan!" ucapku kepada petugas, tanpa menghiraukan gagasan dari Rani. Sudah pasti dia akan marah jika tahu aku sudah menjual rumah Ibu tanpa persetujuan darinya, dan aku tidak mau ada keributan di saat sedang berbelasungkawa seperti ini."Bisa, Pak. Yasudah kalau begitu biar jenazah Bu Esti kami urus sekarang," jawab petugas membuat diri ini sementara bisa bernapas lega.Aku kemudian mengirimkan pesan kepada Alina, meminta bantuan sekali lagi untuk mencarikan tempat pemakaman umum, karena aku tidak mungkin turun tangan sendiri untuk hal yang satu itu.[Memangnya Ibu benar-benar udah gak ada, Mas?] Balasnya kemudian.[Iya, Lin. Maafin semua kesalahan Ibu ya.][Inalillahi... Aku turut berdukacita ya, Mas. Kamu yang sabar. Mungkin ini sudah takdir. Kita juga semua pasti akan mengalami yang namanya kematian. Semoga Ibu husnul khatimah.][Aamiin.][Yasudah nanti aku ke situ sama Mas Aldo. Kebet
Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar
"Memangnya kamu mau minta apa, Daf?" tanyaku sambil menatap curiga, takut dia meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa aku berikan sebelum kami dihalalkan.Bibir plum calon suami melekuk senyum. "Aku mau kamu mengenakan hijab, karena jika nanti kita sudah menikah, dosa kamu itu menjadi tanggung jawab aku juga. Aku pernah melihat kamu berjilbab dan maa syaa Allah ... Cantik luar biasa, Alina. Jujur aku lebih suka penampilan kamu yang tertutup, biar cuma aku saja yang melihat aurat kamu," ungkapnya kemudian, membuat diri ini sedikit bernafas lega. Aku pikir dia ingin meminta apa.Duh, otak. Kenapa mendadak jadi ngeres kaya lantai belum disapuin sih?"Tapi aku tidak memaksa Alina. Itu hanya keinginan aku saja. Sebagai calon suami kamu, aku wajib mengingatkan, apalagi jika nanti kamu sudah menjadi pendamping hidup aku.""Insyaallah, Daf. Tapi pelan-pelan aja, ya? Mungkin nggak langsung tertutup kaya tante Farhana ataupun Tante Melinda. Tapi aku janji,
"Daf, apakah aku harus mengumbar kata-kata cinta seperti anak remaja yang sedang kasmaran? Bukan kah cinta itu hanya perlu dirasakan, tanpa perlu diungkapkan apalagi diumbar-umbar?Jujur, aku sudah merasa nyaman sama kamu, merasakan rindu kalau kamu tidak menghubungi aku, apalagi jika seharian tidak melihat wajah kamu. Entahlah, semua itu termasuk rasa cinta atau apa aku tidak tahu. Aku juga sudah mantap dan merasa yakin kalau kamu adalah lelaki terbaik yang dikirimkan oleh Allah untuk mendampingi hidup aku, menjadi sandaran hati aku kelak, tempat berbagi suka maupun duka juga menjadi ayah sambungnya MauraTolong jangan hanya gara-gara aku menatap mas Umar membuat apa yang sudah kita bina bersama menjadi berantakan. Percayalah. Kalau hati aku ini mulai tertambat sama kamu, Daf. Tapi kalau kamu nggak percaya aku nggak maksa!" Beranjak dari kursi, hendak meninggalkan calon suami akan tetapi dengan sigap ia mencekal lengan ini, membalikkan tubuhku hingga kami berdiri
"Saya terima nikah dan kawinnya Hilda Humaira binti Ibrahim, dengan mas kawin tersebut tunai." Dengan sekali tarikan napas Mas Aldo mengucapkan janji suci di depan penghulu juga para saksi, memindahkan tanggung jawab dokter Ibrahim serta dosa-dosa Kak Humaira di pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap kata 'sah', diiringi lelehan air mata yang memburai di pipi pak dokter serta Ning Ranara juga mama.Pun dengan diriku yang merasa terharu karena akhirnya kakak satu-satunya yang kumiliki bisa mempersunting pujaan hatinya, mengakhiri kesendirian, mendapatkan pendamping yang begitu baik serta salihah seperti Kak Humaira."Aku jadi pengen segera menghalalkan kamu, Lin," bisik Dafa yang saat ini duduk memangku Maura di sebelahku.Aku menoleh dan tersenyum, hingga tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok, menghadirkan gelenyar aneh dalam dada yang belum pernah aku rasa selama dekat dengan pria tersebut.Apakah ini yang dinamakan getaran asmara?"Insyaallah kita juga segera menyu