All Chapters of Pembantuku di Atas Ranjang Suamiku: Chapter 61 - Chapter 70

134 Chapters

Part 61

"Bagaimana, Lin?" tanyanya lagi sambil menatap wajahku dengan ekspresi penuh harapan.Duh, mau menerima tidak mungkin sebab tidak mencintai dia, mau menolak juga rasanya tidak tega. Bagaimana ini? Aku juga tidak mungkin menyuruh dia kembali menunggu setelah bertahun-tahun lamanya ia menanti. Dia berhak bahagia dengan perempuan yang lainnya, yang lebih pantas menerima cinta darinya.Menghela napas dalam-dalam, aku memejamkan mata sebelum mengeluarkan kata lalu membukanya secara perlahan."Maaf, Daf. Untuk saat ini aku belum bisa membuka hati untuk cinta yang baru," ucapku pelan, tapi sangat yakin masih bisa tertangkap di indra pendengaran."Apa kamu masih cinta sama Alex, Lin?" "Cinta untuk dia sepertinya sudah mati.""Lantas, kenapa kamu tidak mau memberi aku kesempatan untuk menjadi pengobat luka di hati kamu? Apa karena aku tidak setampan Alex, atau, karena aku hanya seorang karyawan biasa yang gajinya hanya cuk
Read more

Part 62

"Inggih, Pak Ustadz," jawabku sambil menyeringai."Dinasehati malah meledek!" sungutnya kemudian."Iya, maaf. Mas juga sedang berusaha jadi orang soleh, supaya berjodoh dengan Kak Umay yang sholehah itu, kan? Ibadah juga nggak boleh pamrih. Harus diniatkan dengan lillahi ta'ala."Mas Aldo mendelik mendengar jawaban dariku. Ia lalu mengambil roti yang ada di tangan, memakannya tanpa permisi. Dasar Kakak nggak ada akhlaq. Main rebut saja makanan adiknya.Pria berusia tiga lima tahun itu lalu pergi begitu saja.***Robert sudah menunggu di dekat mobil ketika aku keluar bersama Maura. Senyum ramah terkembang di bibirnya, memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi."Selamat pagi, Mbak Alin, Dek Maura?" sapanya kemudian.Ia lalu membukakan mobil untukku, menutupnya kembali saat aku serta Maura sudah duduk manis di dalam.Jujur sebenarnya aku merasa kurang nyaman diperlakukan secara berlebihan seperti ini
Read more

Part 63

Aku lekas pergi meninggalkan Tiara yang masih berdiri memaku setelah selesai membayar semua barang belanjaan, sambil menggandeng tangan Maura dan langsung masuk ke dalam mobil."Mbak Alin tidak apa-apa kan?" Robert bertanya seraya menatap wajahku melalui kaca spion depan."Seperti yang Mas Robert lihat. Saya tidak apa-apa. Sudah biasa ketemu antek-anteknya Mas Alex dan mendengar kata-kata pedas dari mulut mereka. Sudah kebal!" jawabku."Syukurlah kalau begitu. Yasudah, sekarang kita mau langsung ke toko apa mau ke mana lagi?""Ke toko saja.""Siap Mbak Bos!"Pria berambut cepak itu segera menyalakan mesin mobil dan melesakkan kendaraan roda empat tersebut meninggalkan parkiran swalayan.***#Alex.Mendengkus kesal, menendang botol yang tergeletak sembarangan di jalanan sambil mengumpat Dafa serta Alina.Belagu banget itu anak. Baru punya motor butut saja sudah sombong. Awas saja nanti kalau aku
Read more

Part 64

"Mau apa kamu datang ke sini, Mas?" tanya Tiara dengan suara bergetar. Gurat ketakutan terpancar jelas di wajah perempuan berwajah cantik meski tidak bisa mengalahkan kecantikan Alina itu."Mau menemui kamu, Tiara? Memangnya kamu nggak kangen sama aku? Apa kamu sudah lupa dengan apa yang selalu kita lakukan jika kamu pulang ke kampung halaman?" jawab si pria seraya menyeringai."Minggir kamu, Mas. Aku nggak mau sampai ada orang tahu kalau kamu ada di sini. Apa kamu nggak lihat di rumah ini sedang berduka?""Yang berduka itu Ibu, bukan kamu maupun aku. Ayolah...aku sudah kangen sama kamu. Apa kamu tidak kangen sama aku? Sudah lama pisau milikku tidak diasah, takut tumpul!"Aku mengepalkan tangan erat di samping tubuh. Apa maksud dari obrolan mereka? Apa jangan-jangan pria itu malah teman kencannya Tiara, dan dia bukan dirudapaksa tapi melakukannya suka sama suka.Daripada terus penasaran, aku lekas mengayunkan kaki menghampiri mereka, akan
Read more

Part 65

Pagi-pagi sekali, seluruh anggota keluarga juga kerabat terdekat sudah siap untuk memakamkan Siti di tempat pemakaman umum tidak jauh dari rumah mertua. Aku terus memeluk anak-anak ketika jasad ibunya dimasukkan ke liang lahat, mencoba menenangkan mereka yang selalu saja menangisi ibunya. Apalagi baik ibu maupun kakak Siti tidak ada yang perduli. Mereka seolah tidak mengenal aku juga kedua buah hati Siti, bahkan selama aku di rumah mertua tidak ada satu orang pun yang menyapaku, apalagi mengucapkan bela sungkawa.Tetapi biarlah. Nggak penting juga. Justru kalau begitu aku bisa langsung pamit pulang setelah selesai pemakaman nanti, tanpa harus menunggu acara tujuh harian atau ritual lainnya.Ah, akhirnya aku bebas dari belenggu Siti. Kini tinggal menyusun rencana untuk ke depannya, hidup bersama Tiara walaupun tidak ada ikatan cinta, juga akan membangun bisnis bersama hingga bisa menjadi kaya dan kembali menaklukkan hati Alina.Satu per
Read more

Part 66

"Jadi begini kelakuan asli kalian? Suasana lagi berduka, malah berbuat mesum seperti ini? Dasar murahan!" teriak Mbak Dewi sambil menampar wajah Tiara untuk yang kedua kalinya. Dia kemudian menyuruh warga untuk mengarak kami berdua keluar, akan tetapi aku menolak dan berdalih kalau kami sudah menikah secara siri di Jakarta."Mana buktinya kalau kalian sudah menikah?" teriak Mas Gazali muntap. Gurat cemburu tergambar jelas di wajah sangar pria itu."Ada di Jakarta. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu atas permintaan Siti. Dia meminta saya untuk menjaga Tiara karena tidak ada orang perduli dengan Tiara!" dustaku."Bohong. Siti bukan perempuan bodoh yang rela menyerahkan suaminya kepada orang lain. Kalian jangan coba-coba membohongi kami. Dan kamu Tiara, apa belum puas menghancurkan rumah tangga aku? Sekarang, kamu malah menggoda suami Siti. Kamu rela menyerahkan raga hanya demi obsesi kamu memiliki lelaki yang sudah mempunyai istri. Du
Read more

Part 67

Aku menyeka sudut bibir yang terasa perih serta mengeluarkan sedikit darah, juga meraba beberapa bagian wajah yang sudah lebam-lebam karena terkena pukulan serta lemparan. Pun dengan Tiara yang terus saja meringis kesakitan karena ternyata pelipisnya mengalami luka lumayan cukup parah.Melihat keadaanku dan Tiara, Pak lurah menyuruh kami untuk segera berpakaian dan membawa kami ke puskesmas untuk diobati, sekaligus meminta maaf atas sikap warganya yang sudah main hakim sendiri.Ah, untung saja dia percaya dengan ucapanku. Kalau tidak, sudah habis diri ini dianiaya warga kampung dan bisa mati konyol di sini. Huh! Ini semua gara-gara aku tidak bisa menahan hasrat walau hanya sebentar saja. Padahal niatnya sore ini akan kembali ke Jakarta dan bisa menghabiskan waktu bersama dengan Tiara berdua di sana tanpa ada pengganggu karena anak-anak juga sudah diambil neneknya.Setelah selesai diobati, Tiara meminta salah se
Read more

Part 68

"Kamu itu kenapa sih, Mas? Kok malah bengong terus. Niat nggak sih, nikah sama aku?" sungut Tiara lagi."Ra, kenapa kita tidak menikah secara siri saja. Nanti kita resmikan kalau aku sudah punya uang. Aku malu kalau nikah tapi kamu yang membiayai.""Aku nggak mau nikah siri, soalnya nanti kalau punya anak malah ribet dan nggak bisa urus akta kelahiran. Aku maunya nikah secara resmi."Aku hanya bisa menghela napas pasrah. Ternyata Tiara begitu keras kepala, tidak seperti bayanganku yang selalu berpikir kalau dia itu mudah ditaklukkan juga dikendalikan.Kayaknya bakal ribet kalau aku memiliki pasangan seperti dia. Bisa-bisa malah aku yang selalu kalah berdebat jika bertengkar atau berbeda pendapat nanti. Tetapi mau bagaimana lagi, lagi-lagi keadaan memaksaku harus pasrah dan menerima apa pun keputusannya."Yasudah, terserah kamu lah, Ra. Yang pasti untuk saat ini aku sedang tidak punya uang buat ngurusin masalah ini," ucapku kemudian.
Read more

Part 69

Alina terus saja menatap dengan pindaian yang sulit sekali bisa diartikan. Entah merasa cemburu, atau merasa lega karena akhirnya aku kembali mendapatkan pendamping hidup dan dia benar-benar bisa terlepas dariku.Hingga akhirnya pak penghulu memulai acara sakral itu, akan tetapi aku masih belum bisa konsentrasi. Keringat dingin terus saja membanjiri sekujur tubuh, karena jujur belum ada kesiapan sama sekali dalam hati."Sudah siang, Mas, kita mulai ijab qobulnya sekarang," bisik salah seorang tetangga yang ditunjuk sebagai saksi oleh Tiara.Aku menatap perempuan yang tengah duduk anggun di antara keluarganya. Tidak ada senyum terkembang sama sekali di bibirnya, malah terlihat sekali raut kebencian terpancar di kedua netranya.Sementara Tiara, perempuan yang sudah duduk dengan kebaya pengantin dengan ronce melati menghiasi kerudungnya itu terus saja memperhatikan diriku, seolah mengerti apa yang sedang kurasakan saat ini.
Read more

Part 70

Suara cericip burung di pagi hari bagai alarm yang mengusikku dari lelapnya tidur. Aku lekas menyibak selimut yang menutupi tubuh, turun dari ranjang lalu segera keluar dari kamar dan membasuh tubuh di kamar mandi.Ibu sedang duduk di ruang tengah sambil menghitung uang yang entah itu milik siapa, tetapi jumlahnya lumayan cukup banyak.Dengan cepat kaki ini terayun menuju ke arahnya, kemudian menanyakan dari mana dia mendapatkan uang tersebut."Dari kotak amplop lah. Lumayan. Ibu sudah buka dua-duanya dan jumlahnya ada sekitar sebelas juta. Di sini ternyata pelit-pelit orangnya ya, Lex. Masa isi amplopnya banyak yang dua ribu perak, bahkan ada beberapa juga yang kosong. Paling besar itu isi amplopnya seratus ribu, lima puluh ribu, kebanyakan isinya dua puluh sama tiga puluh ribu. Tapi nggak apa-apa lah, lumayan bisa buat tambah-tambah!" jawab Ibu sambil memilah antara uang recehan dengan pecahan lima puluh serta ratusan ribuan.
Read more
PREV
1
...
56789
...
14
DMCA.com Protection Status