Home / Romansa / Mengandung Pewaris Tuan CEO / Chapter 111 - Chapter 120

All Chapters of Mengandung Pewaris Tuan CEO: Chapter 111 - Chapter 120

163 Chapters

111. Satu Lagi Kenyataan Pahit

**Riani sama sekali tidak bisa mengingat apa yang terjadi dengan dirinya setelah melihat tubuh sang suami untuk yang terakhir kalinya di dalam peti. Ketika ia membuka mata berjam-jam sesudahnya, ia sudah menghadap langit-langit temaram yang asing. Ini jelas sekali bukan kamar tidurnya. Riani meraba tubuhnya, yang ternyata juga sudah tidak basah kuyup seperti sebelumnya. Seseorang sudah menukar baju basah yang ia kenakan dengan pakaian kering.Beberapa saat terdiam dan tenggelam dalam heningnya suasana, akhirnya suara derit pintu yang terbuka terdengar menusuk rungu.“Mami? Sudah bangun?”Itu adalah suara Inara. Riani enggan bergerak sekalipun hanya untuk mengalihkan pandang dan menengok Inara yang datang. Ia tetap pada posisi semula, diam memandang langit-langit kamar yang temaram.“Mam, aku bawakan sup hangat. Dimakan ya, biar nggak masuk angin. Sekarang sudah malam, dan aku yakin Mami belum makan apapun dari siang.”Inara meletakkan nampan berisi mangkuk sup dan cangkir minuman han
Read more

112. Rencana Memulai Lagi

**Kehilangan Joseph meninggalkan duka yang mendalam pada hati Gavin. Ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa akan setiba-tiba ini kehilangan ayah yang dicintainya. Terlebih lagi, Joseph tidak pernah mengeluhkan sakit apapun selama ini, apalagi gangguan jantung. Segalanya tampak baik-baik saja sejauh ini. Hal itu membuat Gavin masih merasa ini mimpi, sampai berhari-hari waktu berlalu.“Papa lagi sedih, ya?”Ketika pria itu sedang duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya yang luas, sang putri menghampiri dan bertanya.Gavin mengalihkan pandang kepada putri kecilnya yang jelita. Ia memaksakan mengulas senyum meski sulit ia lakukan.“Papa sedih, Nak.”“Karena Opa Jo sakit?”“Sebenarnya, karena Opa Jo sudah nggak sama-sama kita lagi.”“Hm?” Kedua manik doe milik Aylin berkedip polos. “Opa Jo dimasukkan ke dalam kotak ya, Papa? Kata orang-orang, Opa Jo meninggal? Meninggal itu apa?”Gavin hanya tersenyum sementara mengelus surai panjang sang putri. Lidahnya terasa kelu, tidak mampu
Read more

113. Di Atas Batu Nisan

**Inara berdebar-debar. Sudah lama bersuamikan seorang Gavin Devano Sanjaya, baru kali ini ia bertandang ke kediaman orang tua pria itu. Itu pun juga dalam suasana yang tidak cukup bagus. Berkali-kali ia menghela napas, menenangkan dirinya sendiri di kursi belakang. Tanpa ia tahu, Rendra sedang mengawasinya dari balik kaca spion.“Nona baik-baik saja?” Orang kepercayaan Gavin nomor satu itu bertanya dengan khawatir. Sekali-sekali ia membagi fokus mengemudinya dengan memandang sang Nona di kursi belakang. “Apakah kita batalkan saja? Atau kalau perlu, saya saja yang nanti bicara dengan Nyonya Besar.”“Nggak apa-apa, Pak Ren. Aku hanya gugup, kok. Ini kan pertama kalinya aku datang ke kediaman Mami.” Perempuan itu tersenyum dan balas memandang sekilas ke arah kaca spion. “Sepanjang jadi istrinya Gavin, aku sama sekali belum pernah datang ke rumah Mami, kan. Ke apartemen Gavin yang lama dulu saja juga cuma satu atau dua kali.”“Karena Tuan Muda mengkhawatirkan keselamatan anda, Nona. Man
Read more

114. Life Goes On

**Betapa aneh rasanya, saat kemudian waktu kembali berjalan seperti sedia kala namun dengan keadaan yang lebih damai. Kesedihan masih sesekali terasa saat Gavin mengenang Joseph sendirian, namun pria itu memilih mengalihkan kekosongan hati akibat ditinggal Papi tercinta dengan kembali aktif mengurus kantor SR. Sebab sang Nyonya Besar yang sempat menjabat seumur jagung, secara tidak resmi kembali mundur pelan-pelan.Riani dan Gavin mengunjungi makam Joseph setiap hari, namun mengambil waktu yang berbeda agar satu sama lain tidak bertemu muka di pemakaman. Sepertinya ibu dan anak ini memang tidak lagi bisa memperbaiki hubungan, maka keduanya memilih sama-sama calm down saja.Inara sebaliknya, yang sekarang secara rutin mendatangi mansion utama untuk memantau keadaan sang mertua. Bukan berarti Inara sudah berakrab-akrab ria, ia hanya memantau dari kejauhan. Malah terkadang tidak menampakkan diri dan hanya melihat Riani duduk sendirian di taman belakang mansion megahnya, kemudian pulang.
Read more

115. Maafkan Aku

**“Inara ….”Demi apapun, Inara terkesiap mendengar satu kata yang keluar dari bibir mertuanya itu. Selama nyaris dua tahun menjadi istri Gavin, ini adalah pertama kalinya Riani memanggil namanya. Pertama kali Riani menyebut namanya dengan sejelas itu.“Mam?” Inara menatap wanita itu dengan tidak yakin.“Kalau aku datang ke rumah kalian, apakah Gavin akan menerima? Ataukah akan membiarkan aku begitu saja seperti pertama dan terakhir kali aku datang ke sana?”Inara terkesima. Tidak percaya kata-kata seperti itu akan meluncur dari bibir wanita yang sepertinya telah menghabiskan separuh hidupnya untuk menciptakan musuh.“Aku … aku ingin datang dan melihat putrimu.”Inara sampai bertukar pandang dengan Aldo sebab sama-sama mengira salah dengar. Ah, atau mungkinkah Riani salah makan sesuatu tadi pagi sehingga sekarang merasa pusing?“Mam, serius bicara begitu?” Wanita itu menoleh kepada sang menantu yang terheran-heran. Wajahnya masih sama seperti kemarin-kemarin, hampa dan tidak ada war
Read more

116. Usaha Berdamai

**“Mau apa Mami ke sini lagi?”Riani terpaku di tempatnya berdiri. Ia bahkan tidak berani menggerakkan kakinya sedikitpun dan hanya termangu di samping mobil yang barusan menurunkannya.“Ada perlu apa Mami ke sini lagi?” ulang Gavin, yang membuat Riani justru kian tersudut.Bagaimana? Riani ragu-ragu melangkah. Haruskah berbalik dan pulang saja? Tapi Inara tadi berkata tidak masalah jika ia datang. Ah, lebih dari itu, di mana Inara saat ini?“Ga-Gavin ….”“Aku tanya, Ada perlu apa lagi Mami ke sini?”“Papa, ada siapa di luar?”Ketegangan dua orang dewasa itu seketika terinterupsi saat suara kecil menyeruak di antara mereka. Aylin muncul di ambang pintu untuk memeriksa dengan siapa ayahnya bersitegang. Gadis cilik itu lantas menggulirkan pandangan kedua mata polosnya, menuju satu-satunya objek lain selain sang ayah yang berada di halaman petang hari itu.“Papa, ada tamu, ya?”“Aylin ….”“Papa, kenapa tamunya diam saja di sana? Kenapa nggak disuruh masuk?” Meski bocah kecil itu bertan
Read more

117. Dessert

**(Mengandung konten 21+)“Sayang?”Inara mendorong pintu ruang kerja suaminya yang tidak terkunci. Ia masuk perlahan, mendapati sang suami yang sedang berdiam diri di hadapan layar laptop, di atas kursi kerjanya.“Apa aku mengganggu? Kamu sibuk?”Gavin mendengus. “Aku akan dengan senang hati menerima gangguanmu, Inara. Sini, masuklah.”Inara tersenyum lebar. Dengan agak terlalu antusias ia masuk dan menutup kembali pintunya. Melangkah ke arah Gavin, kemudian mendudukkan diri di atas pangkuan pria itu.“Sudah malam, kenapa kerja terus?”“Aku harus cari uang buat menghidupi kamu dan Aylin, istriku.”“Kamu nggak akan mendadak jatuh miskin hanya karena satu hari saja nggak lembur. Tutup laptopnya dan ayo kita ke kamar.”Gavin tertawa pelan. Istrinya ini memang paling pintar mengalihkan suasana hati ketika ia sedang badmood.“Memangnya kenapa harus ke kamar, Inara? Nggak bisakah di sini saja?”“Kalau kamu mau di sini, ya aku nggak keberatan.”Gavin kali ini benar-benar tertawa, melupakan
Read more

118. Kelakuan Aldo

**“Permisi, Pak. Investor yang dari Australia sudah datang. Ada di ruang meeting utama, sekarang. Apakah Bapak yang ke sana, atau mereka yang ke sini saja?”“Sebentar, tahan dulu di sana sebentar.”“Oh, juga dokumen yang kemarin itu. Sudah direvisi dan tinggal menunggu acc juga tanda tangan Bapak saja. Saya taruh di meja Bapak, ya?”Gavin mengangkat tangannya kepada sang sekretaris, tanda setuju. Ia kemudian beralih kembali kepada ponsel yang tadi sempat ia tinggalkan sejenak.“Ya, halo? Jadi sampai di mana kita tadi?”Sementara pria itu berjalan kembali ke sudut sofa, mendatangi laptopnya yang terbuka di sana dengan pundak dan dagu mengapit ponsel sementara kesepuluh jemari menekan tombol keyboard laptop, di seberangnya Aldo duduk santai. Hanya sibuk dengan misi-misi tidak jelas dalam game Minecraft yang sedang ia mainkan dalam ponsel. Sesekali meneguk Americano Ice yang tinggal separuh cup.“Demi Tuhan, Al! Bisa lo pelanin dikit suara game lo nggak, sih? Atau gue banting itu ponsel
Read more

119. Norway

**Inara tegang sekali. Ia berkali-kali memeluk Aylin yang justru tidak sabar turun di kediaman Oma dan Opanya. Rasanya Inara tidak ingin meninggalkan putrinya itu sendirian, terbang sejauh hampir sebelas ribu kilometer jauhnya menuju belahan bumi yang lain.“Mama, Aylin nggak apa-apa. Jangan dipeluk terus, Aylin kan sudah besar,” protes sang putri, sebab dari tadi Inara tidak mengizinkan bocah itu menjauh.“Tapi Mama akan tinggalin kamu seminggu ke depan, Sayang. Apa nanti Aylin nggak kangen?”“Ah, sudah pernah. Waktu itu kan Aylin juga sama Opa Jo.”Inara hanya bisa bertukar pandang dengan Gavin yang duduk di kursi depan, di samping Rendra. Benar, sebelum ini Inara dan Gavin pernah meninggalkan Aylin bersama Joseph selama lima hari ke Jepang.“Aylin benar, Inara. Dia sudah besar, loh. Aylin ditinggal di tengah hutan tengah malam saja berani, apalagi hanya ditinggal bulan madu.” Gavin menimpali seraya terkekeh pelan. Tidak pro dengan Inara yang sedang cemberut.“Lagian kan dia sama M
Read more

120. Awal Lagi

SEASON 2**Lima Tahun Kemudian“Aylin mau berangkat sama Papa aja. Nggak mau sama Mama. Kalau sama Mama, nanti diledekin terus, kan Aylin malu.”Gavin yang sedang menyuap sepotong pancake saat itu, tanpa sadar menghentikan kunyahan dan segera menoleh kepada sang istri yang hanya menanggapi dengan tawa kecil.“Mama, Aylin kamu ledekin apaan, memangnya?” Inara tidak bagaimana-bagaimana. Hanya mengangkat alis, meneruskan sarapan tanpa ambil pusing.“Mama, ih!”“Apa, sih? Mama nggak pernah ngeledekin Aylin, lho.”Tidak puas dengan jawaban itu, Gavin beralih kepada putri kecilnya yang sudah besar. “Aylin, apa, sih? Papa nggak mau anterin sekolah kalau kamu nggak cerita, nih.”Cemberut berat, Aylin menceritakan sepotong-sepotong dengan wajah merah padam, sementara Inara tidak bisa menahan tawa. “Mama ledekin Aylin sama Bian. Padahal Bian cuma suka nyapa Aylin aja, kok. Dan kasih permen kadang-kadang.”Meledak sudah tawa Inara. Membuat si putri kecil yang saat ini nyaris berusia sebelas t
Read more
PREV
1
...
1011121314
...
17
DMCA.com Protection Status