Share

116. Usaha Berdamai

Author: Anindya Alfarizi
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

**

“Mau apa Mami ke sini lagi?”

Riani terpaku di tempatnya berdiri. Ia bahkan tidak berani menggerakkan kakinya sedikitpun dan hanya termangu di samping mobil yang barusan menurunkannya.

“Ada perlu apa Mami ke sini lagi?” ulang Gavin, yang membuat Riani justru kian tersudut.

Bagaimana? Riani ragu-ragu melangkah. Haruskah berbalik dan pulang saja? Tapi Inara tadi berkata tidak masalah jika ia datang. Ah, lebih dari itu, di mana Inara saat ini?

“Ga-Gavin ….”

“Aku tanya, Ada perlu apa lagi Mami ke sini?”

“Papa, ada siapa di luar?”

Ketegangan dua orang dewasa itu seketika terinterupsi saat suara kecil menyeruak di antara mereka. Aylin muncul di ambang pintu untuk memeriksa dengan siapa ayahnya bersitegang. Gadis cilik itu lantas menggulirkan pandangan kedua mata polosnya, menuju satu-satunya objek lain selain sang ayah yang berada di halaman petang hari itu.

“Papa, ada tamu, ya?”

“Aylin ….”

“Papa, kenapa tamunya diam saja di sana? Kenapa nggak disuruh masuk?”

Meski bocah kecil itu bertan
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   117. Dessert

    **(Mengandung konten 21+)“Sayang?”Inara mendorong pintu ruang kerja suaminya yang tidak terkunci. Ia masuk perlahan, mendapati sang suami yang sedang berdiam diri di hadapan layar laptop, di atas kursi kerjanya.“Apa aku mengganggu? Kamu sibuk?”Gavin mendengus. “Aku akan dengan senang hati menerima gangguanmu, Inara. Sini, masuklah.”Inara tersenyum lebar. Dengan agak terlalu antusias ia masuk dan menutup kembali pintunya. Melangkah ke arah Gavin, kemudian mendudukkan diri di atas pangkuan pria itu.“Sudah malam, kenapa kerja terus?”“Aku harus cari uang buat menghidupi kamu dan Aylin, istriku.”“Kamu nggak akan mendadak jatuh miskin hanya karena satu hari saja nggak lembur. Tutup laptopnya dan ayo kita ke kamar.”Gavin tertawa pelan. Istrinya ini memang paling pintar mengalihkan suasana hati ketika ia sedang badmood.“Memangnya kenapa harus ke kamar, Inara? Nggak bisakah di sini saja?”“Kalau kamu mau di sini, ya aku nggak keberatan.”Gavin kali ini benar-benar tertawa, melupakan

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   118. Kelakuan Aldo

    **“Permisi, Pak. Investor yang dari Australia sudah datang. Ada di ruang meeting utama, sekarang. Apakah Bapak yang ke sana, atau mereka yang ke sini saja?”“Sebentar, tahan dulu di sana sebentar.”“Oh, juga dokumen yang kemarin itu. Sudah direvisi dan tinggal menunggu acc juga tanda tangan Bapak saja. Saya taruh di meja Bapak, ya?”Gavin mengangkat tangannya kepada sang sekretaris, tanda setuju. Ia kemudian beralih kembali kepada ponsel yang tadi sempat ia tinggalkan sejenak.“Ya, halo? Jadi sampai di mana kita tadi?”Sementara pria itu berjalan kembali ke sudut sofa, mendatangi laptopnya yang terbuka di sana dengan pundak dan dagu mengapit ponsel sementara kesepuluh jemari menekan tombol keyboard laptop, di seberangnya Aldo duduk santai. Hanya sibuk dengan misi-misi tidak jelas dalam game Minecraft yang sedang ia mainkan dalam ponsel. Sesekali meneguk Americano Ice yang tinggal separuh cup.“Demi Tuhan, Al! Bisa lo pelanin dikit suara game lo nggak, sih? Atau gue banting itu ponsel

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   119. Norway

    **Inara tegang sekali. Ia berkali-kali memeluk Aylin yang justru tidak sabar turun di kediaman Oma dan Opanya. Rasanya Inara tidak ingin meninggalkan putrinya itu sendirian, terbang sejauh hampir sebelas ribu kilometer jauhnya menuju belahan bumi yang lain.“Mama, Aylin nggak apa-apa. Jangan dipeluk terus, Aylin kan sudah besar,” protes sang putri, sebab dari tadi Inara tidak mengizinkan bocah itu menjauh.“Tapi Mama akan tinggalin kamu seminggu ke depan, Sayang. Apa nanti Aylin nggak kangen?”“Ah, sudah pernah. Waktu itu kan Aylin juga sama Opa Jo.”Inara hanya bisa bertukar pandang dengan Gavin yang duduk di kursi depan, di samping Rendra. Benar, sebelum ini Inara dan Gavin pernah meninggalkan Aylin bersama Joseph selama lima hari ke Jepang.“Aylin benar, Inara. Dia sudah besar, loh. Aylin ditinggal di tengah hutan tengah malam saja berani, apalagi hanya ditinggal bulan madu.” Gavin menimpali seraya terkekeh pelan. Tidak pro dengan Inara yang sedang cemberut.“Lagian kan dia sama M

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   120. Awal Lagi

    SEASON 2**Lima Tahun Kemudian“Aylin mau berangkat sama Papa aja. Nggak mau sama Mama. Kalau sama Mama, nanti diledekin terus, kan Aylin malu.”Gavin yang sedang menyuap sepotong pancake saat itu, tanpa sadar menghentikan kunyahan dan segera menoleh kepada sang istri yang hanya menanggapi dengan tawa kecil.“Mama, Aylin kamu ledekin apaan, memangnya?” Inara tidak bagaimana-bagaimana. Hanya mengangkat alis, meneruskan sarapan tanpa ambil pusing.“Mama, ih!”“Apa, sih? Mama nggak pernah ngeledekin Aylin, lho.”Tidak puas dengan jawaban itu, Gavin beralih kepada putri kecilnya yang sudah besar. “Aylin, apa, sih? Papa nggak mau anterin sekolah kalau kamu nggak cerita, nih.”Cemberut berat, Aylin menceritakan sepotong-sepotong dengan wajah merah padam, sementara Inara tidak bisa menahan tawa. “Mama ledekin Aylin sama Bian. Padahal Bian cuma suka nyapa Aylin aja, kok. Dan kasih permen kadang-kadang.”Meledak sudah tawa Inara. Membuat si putri kecil yang saat ini nyaris berusia sebelas t

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   121. Marvel

    **“Selamat pagi ….”Sapaan bernada ramah itu terdengar seiring dengan suara derap pelan langkah sepatu yang memasuki ruangan meeting di dalam kediaman Bagaskara.Benar, mereka terbiasa menerima tamu di rumah jika untuk tender skala kecil.Inara menoleh, dan seketika kedua alisnya terangkat saat mendapati sosok yang mendekat. Tipe pria matang kaya raya yang tampan rupawan. Meski menurut Inara sendiri tidak ada yang bisa menandingi tampannya Gavin sampai sejauh ini.“Selamat pagi.” Perempuan itu berdiri dari tempat duduknya dan tersenyum formal, menyalami si klien yang baru saja masuk.“Halo, Nyonya Sanjaya, Saya Marvel Pradipta.”“Ah, panggil Inara saja.”“Nona Inara, senang bertemu dengan anda.”Inara melepaskan jabat tangannya yang agak lama tak dilepas-lepas juga. Ia kemudian mempersilahkan tamunya duduk.“Mom– maksud saya Ibu Eliza akan datang sebentar lagi, jadi mohon tunggu sebentar, ya.”Pria itu berujar tidak masalah. Ia duduk tenang di tempatnya sementara memperhatikan sekali

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   122. Tidak Seharusnya

    **“Anda nggak perlu datang kalau hanya untuk mengecek pekerjaan kok, Pak Marvel. Anda bisa konsultasi apa saja, dan saya bisa kirimkan foto-foto progres kerjanya lewat email. Apakah ini nggak mengganggu pekerjaan anda? Saya jadi nggak enak sendiri.” Inara berujar dengan senyum lebar mengembang siang itu, setelah meeting untuk kesekian kalinya bersama Marvel Pradipta.“Benarkah? Wah, padahal saya senang lho bisa mengobrol sama Nona Inara.”“Maksudnya, daripada mengganggu pekerjaan anda, begitu. Lebih efisien hubungi saya lewat telepon atau email saja. Tapi kalau anda sedang senggang, ya nggak masalah.”Pria tampan seusia Gavin itu mengulas senyum. “Saya sih banyak senggangnya daripada sibuknya. Paling hanya satu atau dua minggu sekali ngecek tambang. Dan tolong, apakah kita bisa ngobrol dengan santai mulai sekarang? Kita sudah beberapa kali bertemu, kan? Nggak perlu yang segitunya formal lho.”Inara mengangkat alis. Kedua kalinya pernyataan Marvel ini terdengar aneh. Ah, tapi ya tidak

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   123. Sebuah Fakta

    **“Inara, Mami nggak apa-apa. Kamu bisa tinggal aja kalau memang lagi sibuk.”Inara yang sedang menuangkan teh dalam teko ke cangkir, menoleh dan mengulas senyum kecil. “Kalau aku nggak lagi sibuk, Mam?”“Ya sudah, berarti kamu di sini saja. Kebetulan banget, Mami sudah lama nggak ngobrol sama manusia.”Perempuan yang kini berusia tiga puluh dua tahun itu tertawa kecil. Ia meletakkan cangkir teh di atas tatakan dan mendekatkannya kepada sang mertua, sebelum duduk di tepi ranjang wanita itu.“Masih ada jadwal check up satu kali lagi minggu depan. Kalau pas aku senggang, biar aku saja yang antar ke rumah sakit, ya?”“Kamu yakin?” Riani menyipitkan mata.“Kenapa? Aku memang baru banget dapet SIM, tapi aku udah lihai nyetir di jalan raya tahu, Mam. Mami sama kayak Gavin, sukanya meragukan aku.”“Memang harus diragukan kalau masalah hidup dan mati, Inara.”“Ishh!”Riani tertawa. Topik favoritnya belakangan ini adalah meledek sang menantu yang baru saja lulus ujian SIM dan kini sudah boleh

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   124. Melamun

    **“Papa!”Gavin terkesiap. Mendadak sadar bahwa sesaat tadi dirinya sempat melamun, setelah suara panggilan agak keras dari sang putri membuatnya tersentak.“Papa nggak dengar, Kakak. Jangan marah-marah.”Aylin mendadak menutup mulut dengan kedua telapak tangan saat sang adik menegur.“Sorry, Papa. Apa Aylin bikin Papa kaget?”“Ah, Papa yang sorry, Sayang. Papa memang melamun tadi. Sampai nggak sadar kalau anak Papa sudah keluar.”Segera Gavin menekan tombol kunci pada mobilnya, hingga putra dan putrinya bisa masuk. Aylin dan Alaric memang berada dalam satu yayasan sekolah. Maka keduanya bisa saling menunggu untuk berangkat dan pulang bersama.“Bagaimana sekolah hari ini?” Gavin bertanya sementara melajukan kembali mobilnya, menjauhi parkiran ruang tunggu sekolah.“Capek banget,” jawab Aylin yang sudah memejamkan mata sembari menyandarkan kepala.“Adik nggak capek, tadi Adik mewarna banyak, loh.”“Mewarna doang mana ada capeknya, sih?”Gavin tersenyum sementara memandang sekilas-seki

Latest chapter

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   163. Semuanya Baik-Baik Saja

    **Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   162. Dia Sudah Berubah

    **Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   161. She's Back?

    **“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   160. Usaha Menyatukan

    **Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   159. Memang Lucu

    **“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   158. Rencana Bertemu

    **Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   157. Permintaan Maaf Salsa

    **“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   156. Rasa Bersalah

    **Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   155. Penutup Hari

    **(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be

DMCA.com Protection Status