**“Mau apa Mami ke sini lagi?”Riani terpaku di tempatnya berdiri. Ia bahkan tidak berani menggerakkan kakinya sedikitpun dan hanya termangu di samping mobil yang barusan menurunkannya.“Ada perlu apa Mami ke sini lagi?” ulang Gavin, yang membuat Riani justru kian tersudut.Bagaimana? Riani ragu-ragu melangkah. Haruskah berbalik dan pulang saja? Tapi Inara tadi berkata tidak masalah jika ia datang. Ah, lebih dari itu, di mana Inara saat ini?“Ga-Gavin ….”“Aku tanya, Ada perlu apa lagi Mami ke sini?”“Papa, ada siapa di luar?”Ketegangan dua orang dewasa itu seketika terinterupsi saat suara kecil menyeruak di antara mereka. Aylin muncul di ambang pintu untuk memeriksa dengan siapa ayahnya bersitegang. Gadis cilik itu lantas menggulirkan pandangan kedua mata polosnya, menuju satu-satunya objek lain selain sang ayah yang berada di halaman petang hari itu.“Papa, ada tamu, ya?”“Aylin ….”“Papa, kenapa tamunya diam saja di sana? Kenapa nggak disuruh masuk?” Meski bocah kecil itu bertan
**(Mengandung konten 21+)“Sayang?”Inara mendorong pintu ruang kerja suaminya yang tidak terkunci. Ia masuk perlahan, mendapati sang suami yang sedang berdiam diri di hadapan layar laptop, di atas kursi kerjanya.“Apa aku mengganggu? Kamu sibuk?”Gavin mendengus. “Aku akan dengan senang hati menerima gangguanmu, Inara. Sini, masuklah.”Inara tersenyum lebar. Dengan agak terlalu antusias ia masuk dan menutup kembali pintunya. Melangkah ke arah Gavin, kemudian mendudukkan diri di atas pangkuan pria itu.“Sudah malam, kenapa kerja terus?”“Aku harus cari uang buat menghidupi kamu dan Aylin, istriku.”“Kamu nggak akan mendadak jatuh miskin hanya karena satu hari saja nggak lembur. Tutup laptopnya dan ayo kita ke kamar.”Gavin tertawa pelan. Istrinya ini memang paling pintar mengalihkan suasana hati ketika ia sedang badmood.“Memangnya kenapa harus ke kamar, Inara? Nggak bisakah di sini saja?”“Kalau kamu mau di sini, ya aku nggak keberatan.”Gavin kali ini benar-benar tertawa, melupakan
**“Permisi, Pak. Investor yang dari Australia sudah datang. Ada di ruang meeting utama, sekarang. Apakah Bapak yang ke sana, atau mereka yang ke sini saja?”“Sebentar, tahan dulu di sana sebentar.”“Oh, juga dokumen yang kemarin itu. Sudah direvisi dan tinggal menunggu acc juga tanda tangan Bapak saja. Saya taruh di meja Bapak, ya?”Gavin mengangkat tangannya kepada sang sekretaris, tanda setuju. Ia kemudian beralih kembali kepada ponsel yang tadi sempat ia tinggalkan sejenak.“Ya, halo? Jadi sampai di mana kita tadi?”Sementara pria itu berjalan kembali ke sudut sofa, mendatangi laptopnya yang terbuka di sana dengan pundak dan dagu mengapit ponsel sementara kesepuluh jemari menekan tombol keyboard laptop, di seberangnya Aldo duduk santai. Hanya sibuk dengan misi-misi tidak jelas dalam game Minecraft yang sedang ia mainkan dalam ponsel. Sesekali meneguk Americano Ice yang tinggal separuh cup.“Demi Tuhan, Al! Bisa lo pelanin dikit suara game lo nggak, sih? Atau gue banting itu ponsel
**Inara tegang sekali. Ia berkali-kali memeluk Aylin yang justru tidak sabar turun di kediaman Oma dan Opanya. Rasanya Inara tidak ingin meninggalkan putrinya itu sendirian, terbang sejauh hampir sebelas ribu kilometer jauhnya menuju belahan bumi yang lain.“Mama, Aylin nggak apa-apa. Jangan dipeluk terus, Aylin kan sudah besar,” protes sang putri, sebab dari tadi Inara tidak mengizinkan bocah itu menjauh.“Tapi Mama akan tinggalin kamu seminggu ke depan, Sayang. Apa nanti Aylin nggak kangen?”“Ah, sudah pernah. Waktu itu kan Aylin juga sama Opa Jo.”Inara hanya bisa bertukar pandang dengan Gavin yang duduk di kursi depan, di samping Rendra. Benar, sebelum ini Inara dan Gavin pernah meninggalkan Aylin bersama Joseph selama lima hari ke Jepang.“Aylin benar, Inara. Dia sudah besar, loh. Aylin ditinggal di tengah hutan tengah malam saja berani, apalagi hanya ditinggal bulan madu.” Gavin menimpali seraya terkekeh pelan. Tidak pro dengan Inara yang sedang cemberut.“Lagian kan dia sama M
SEASON 2**Lima Tahun Kemudian“Aylin mau berangkat sama Papa aja. Nggak mau sama Mama. Kalau sama Mama, nanti diledekin terus, kan Aylin malu.”Gavin yang sedang menyuap sepotong pancake saat itu, tanpa sadar menghentikan kunyahan dan segera menoleh kepada sang istri yang hanya menanggapi dengan tawa kecil.“Mama, Aylin kamu ledekin apaan, memangnya?” Inara tidak bagaimana-bagaimana. Hanya mengangkat alis, meneruskan sarapan tanpa ambil pusing.“Mama, ih!”“Apa, sih? Mama nggak pernah ngeledekin Aylin, lho.”Tidak puas dengan jawaban itu, Gavin beralih kepada putri kecilnya yang sudah besar. “Aylin, apa, sih? Papa nggak mau anterin sekolah kalau kamu nggak cerita, nih.”Cemberut berat, Aylin menceritakan sepotong-sepotong dengan wajah merah padam, sementara Inara tidak bisa menahan tawa. “Mama ledekin Aylin sama Bian. Padahal Bian cuma suka nyapa Aylin aja, kok. Dan kasih permen kadang-kadang.”Meledak sudah tawa Inara. Membuat si putri kecil yang saat ini nyaris berusia sebelas t
**“Selamat pagi ….”Sapaan bernada ramah itu terdengar seiring dengan suara derap pelan langkah sepatu yang memasuki ruangan meeting di dalam kediaman Bagaskara.Benar, mereka terbiasa menerima tamu di rumah jika untuk tender skala kecil.Inara menoleh, dan seketika kedua alisnya terangkat saat mendapati sosok yang mendekat. Tipe pria matang kaya raya yang tampan rupawan. Meski menurut Inara sendiri tidak ada yang bisa menandingi tampannya Gavin sampai sejauh ini.“Selamat pagi.” Perempuan itu berdiri dari tempat duduknya dan tersenyum formal, menyalami si klien yang baru saja masuk.“Halo, Nyonya Sanjaya, Saya Marvel Pradipta.”“Ah, panggil Inara saja.”“Nona Inara, senang bertemu dengan anda.”Inara melepaskan jabat tangannya yang agak lama tak dilepas-lepas juga. Ia kemudian mempersilahkan tamunya duduk.“Mom– maksud saya Ibu Eliza akan datang sebentar lagi, jadi mohon tunggu sebentar, ya.”Pria itu berujar tidak masalah. Ia duduk tenang di tempatnya sementara memperhatikan sekali
**“Anda nggak perlu datang kalau hanya untuk mengecek pekerjaan kok, Pak Marvel. Anda bisa konsultasi apa saja, dan saya bisa kirimkan foto-foto progres kerjanya lewat email. Apakah ini nggak mengganggu pekerjaan anda? Saya jadi nggak enak sendiri.” Inara berujar dengan senyum lebar mengembang siang itu, setelah meeting untuk kesekian kalinya bersama Marvel Pradipta.“Benarkah? Wah, padahal saya senang lho bisa mengobrol sama Nona Inara.”“Maksudnya, daripada mengganggu pekerjaan anda, begitu. Lebih efisien hubungi saya lewat telepon atau email saja. Tapi kalau anda sedang senggang, ya nggak masalah.”Pria tampan seusia Gavin itu mengulas senyum. “Saya sih banyak senggangnya daripada sibuknya. Paling hanya satu atau dua minggu sekali ngecek tambang. Dan tolong, apakah kita bisa ngobrol dengan santai mulai sekarang? Kita sudah beberapa kali bertemu, kan? Nggak perlu yang segitunya formal lho.”Inara mengangkat alis. Kedua kalinya pernyataan Marvel ini terdengar aneh. Ah, tapi ya tidak
**“Inara, Mami nggak apa-apa. Kamu bisa tinggal aja kalau memang lagi sibuk.”Inara yang sedang menuangkan teh dalam teko ke cangkir, menoleh dan mengulas senyum kecil. “Kalau aku nggak lagi sibuk, Mam?”“Ya sudah, berarti kamu di sini saja. Kebetulan banget, Mami sudah lama nggak ngobrol sama manusia.”Perempuan yang kini berusia tiga puluh dua tahun itu tertawa kecil. Ia meletakkan cangkir teh di atas tatakan dan mendekatkannya kepada sang mertua, sebelum duduk di tepi ranjang wanita itu.“Masih ada jadwal check up satu kali lagi minggu depan. Kalau pas aku senggang, biar aku saja yang antar ke rumah sakit, ya?”“Kamu yakin?” Riani menyipitkan mata.“Kenapa? Aku memang baru banget dapet SIM, tapi aku udah lihai nyetir di jalan raya tahu, Mam. Mami sama kayak Gavin, sukanya meragukan aku.”“Memang harus diragukan kalau masalah hidup dan mati, Inara.”“Ishh!”Riani tertawa. Topik favoritnya belakangan ini adalah meledek sang menantu yang baru saja lulus ujian SIM dan kini sudah boleh