SEASON 2**Lima Tahun Kemudian“Aylin mau berangkat sama Papa aja. Nggak mau sama Mama. Kalau sama Mama, nanti diledekin terus, kan Aylin malu.”Gavin yang sedang menyuap sepotong pancake saat itu, tanpa sadar menghentikan kunyahan dan segera menoleh kepada sang istri yang hanya menanggapi dengan tawa kecil.“Mama, Aylin kamu ledekin apaan, memangnya?” Inara tidak bagaimana-bagaimana. Hanya mengangkat alis, meneruskan sarapan tanpa ambil pusing.“Mama, ih!”“Apa, sih? Mama nggak pernah ngeledekin Aylin, lho.”Tidak puas dengan jawaban itu, Gavin beralih kepada putri kecilnya yang sudah besar. “Aylin, apa, sih? Papa nggak mau anterin sekolah kalau kamu nggak cerita, nih.”Cemberut berat, Aylin menceritakan sepotong-sepotong dengan wajah merah padam, sementara Inara tidak bisa menahan tawa. “Mama ledekin Aylin sama Bian. Padahal Bian cuma suka nyapa Aylin aja, kok. Dan kasih permen kadang-kadang.”Meledak sudah tawa Inara. Membuat si putri kecil yang saat ini nyaris berusia sebelas t
**“Selamat pagi ….”Sapaan bernada ramah itu terdengar seiring dengan suara derap pelan langkah sepatu yang memasuki ruangan meeting di dalam kediaman Bagaskara.Benar, mereka terbiasa menerima tamu di rumah jika untuk tender skala kecil.Inara menoleh, dan seketika kedua alisnya terangkat saat mendapati sosok yang mendekat. Tipe pria matang kaya raya yang tampan rupawan. Meski menurut Inara sendiri tidak ada yang bisa menandingi tampannya Gavin sampai sejauh ini.“Selamat pagi.” Perempuan itu berdiri dari tempat duduknya dan tersenyum formal, menyalami si klien yang baru saja masuk.“Halo, Nyonya Sanjaya, Saya Marvel Pradipta.”“Ah, panggil Inara saja.”“Nona Inara, senang bertemu dengan anda.”Inara melepaskan jabat tangannya yang agak lama tak dilepas-lepas juga. Ia kemudian mempersilahkan tamunya duduk.“Mom– maksud saya Ibu Eliza akan datang sebentar lagi, jadi mohon tunggu sebentar, ya.”Pria itu berujar tidak masalah. Ia duduk tenang di tempatnya sementara memperhatikan sekali
**“Anda nggak perlu datang kalau hanya untuk mengecek pekerjaan kok, Pak Marvel. Anda bisa konsultasi apa saja, dan saya bisa kirimkan foto-foto progres kerjanya lewat email. Apakah ini nggak mengganggu pekerjaan anda? Saya jadi nggak enak sendiri.” Inara berujar dengan senyum lebar mengembang siang itu, setelah meeting untuk kesekian kalinya bersama Marvel Pradipta.“Benarkah? Wah, padahal saya senang lho bisa mengobrol sama Nona Inara.”“Maksudnya, daripada mengganggu pekerjaan anda, begitu. Lebih efisien hubungi saya lewat telepon atau email saja. Tapi kalau anda sedang senggang, ya nggak masalah.”Pria tampan seusia Gavin itu mengulas senyum. “Saya sih banyak senggangnya daripada sibuknya. Paling hanya satu atau dua minggu sekali ngecek tambang. Dan tolong, apakah kita bisa ngobrol dengan santai mulai sekarang? Kita sudah beberapa kali bertemu, kan? Nggak perlu yang segitunya formal lho.”Inara mengangkat alis. Kedua kalinya pernyataan Marvel ini terdengar aneh. Ah, tapi ya tidak
**“Inara, Mami nggak apa-apa. Kamu bisa tinggal aja kalau memang lagi sibuk.”Inara yang sedang menuangkan teh dalam teko ke cangkir, menoleh dan mengulas senyum kecil. “Kalau aku nggak lagi sibuk, Mam?”“Ya sudah, berarti kamu di sini saja. Kebetulan banget, Mami sudah lama nggak ngobrol sama manusia.”Perempuan yang kini berusia tiga puluh dua tahun itu tertawa kecil. Ia meletakkan cangkir teh di atas tatakan dan mendekatkannya kepada sang mertua, sebelum duduk di tepi ranjang wanita itu.“Masih ada jadwal check up satu kali lagi minggu depan. Kalau pas aku senggang, biar aku saja yang antar ke rumah sakit, ya?”“Kamu yakin?” Riani menyipitkan mata.“Kenapa? Aku memang baru banget dapet SIM, tapi aku udah lihai nyetir di jalan raya tahu, Mam. Mami sama kayak Gavin, sukanya meragukan aku.”“Memang harus diragukan kalau masalah hidup dan mati, Inara.”“Ishh!”Riani tertawa. Topik favoritnya belakangan ini adalah meledek sang menantu yang baru saja lulus ujian SIM dan kini sudah boleh
**“Papa!”Gavin terkesiap. Mendadak sadar bahwa sesaat tadi dirinya sempat melamun, setelah suara panggilan agak keras dari sang putri membuatnya tersentak.“Papa nggak dengar, Kakak. Jangan marah-marah.”Aylin mendadak menutup mulut dengan kedua telapak tangan saat sang adik menegur.“Sorry, Papa. Apa Aylin bikin Papa kaget?”“Ah, Papa yang sorry, Sayang. Papa memang melamun tadi. Sampai nggak sadar kalau anak Papa sudah keluar.”Segera Gavin menekan tombol kunci pada mobilnya, hingga putra dan putrinya bisa masuk. Aylin dan Alaric memang berada dalam satu yayasan sekolah. Maka keduanya bisa saling menunggu untuk berangkat dan pulang bersama.“Bagaimana sekolah hari ini?” Gavin bertanya sementara melajukan kembali mobilnya, menjauhi parkiran ruang tunggu sekolah.“Capek banget,” jawab Aylin yang sudah memejamkan mata sembari menyandarkan kepala.“Adik nggak capek, tadi Adik mewarna banyak, loh.”“Mewarna doang mana ada capeknya, sih?”Gavin tersenyum sementara memandang sekilas-seki
**Seperti halnya anak-anak lain yang selalu excited saat berkunjung ke rumah kakek dan nenek, demikian pula Aylin dan Alaric. Dua bocah yang berbeda usia lebih dari enam tahun itu berlari-lari keluar dengan riang gembira begitu mobil sang papa merapat ke halaman luas mansion empat lantai milik oma dan opa mereka.“Ho! Rakyat-rakyatku yang lucu!” Dan segera disambut oleh paman mereka yang random. Aldo baru saja sampai di pintu depan entah hendak ke mana. Namun ia segera membatalkan langkah begitu melihat kedatangan dua keponakan tercinta.“Om Aldo, main game, yuk!” Aylin berseru dengan gembira. Seperti diketahui, Aldo adalah partner sejati Aylin dalam bermain game digital.“Emang boleh sama papamu? Nanti Om yang digebukin, nggak mau, ah!” Aylin menoleh ke arah Gavin yang berjalan menyusul di belakangnya. Gadis cilik itu memamerkan cengiran penuh permohonan kepada sang papa ketika Gavin sudah mendekat.“Papa, boleh ya main game? Satu jam saja, nggak lama-lama, kok.”Gavin berdecih. “M
**Satu bulan sebelumnya.Sebuah sedan berwarna hitam meluncur mulus, memasuki sebuah restoran mewah yang tampak berkilauan malam itu. Pengemudinya memarkirkan kendaraan di halaman parkir yang sepi, berjajar dengan beberapa mobil-mobil premium yang lain. Ia mengecek sekali lagi penampilannya sebelum turun dari mobil dan melangkah masuk.Marvel Pradipta, berjalan menuju lobby utama restoran. Mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan itu, sebelum arah pandangnya jatuh pada satu meja yang dihuni oleh seorang perempuan cantik. Gegas Marvel mengayun langkah menuju meja tersebut. “Sudah lama menunggu?”“Ah!” Si perempuan tersentak kala menyadari ada yang datang. Sebelumnya ia sedang sibuk bermain ponsel. “Nggak juga, aku baru datang, kok.”Setelah menarik kursi dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan si perempuan, Marvel berujar, “Oke, langsung sajalah. Aku nggak datang ke sini buat sekedar makan malam atau seperti itu. Banyak yang harus aku selesaikan.”“Ck!”“Serius, Sal.”Salsa Kam
**Inara sedang berada di depan meja rias ketika ia mendengar dering suara ponsel dari atas ranjang. Sebab ponselnya sendiri sedang berada persis di hadapannya, maka sudah bisa ditebak benda yang tengah berbunyi itu adalah milik sang suami.Menengok ke sana kemari, sepertinya Gavin masih berada di kamar mandi. Inara berdiri dan menengok ponsel tersebut untuk mengecek siapa yang menelepon. Kalau itu adalah panggilan dari orang yang ia kenal, ia akan mengangkatnya.“Nggak ada namanya?” Dahi Inara berkerut saat akhirnya melihat siapa yang menelepon. Sebaris nomor tanpa nama tertera di layar ponsel milik Gavin. Inara jadi ragu-ragu untuk mengangkat.“Sebaiknya nggak usah sajalah. Biarin aja.” Perempuan itu mengangkat bahu, berbalik hendak meninggalkan ponsel Gavin. Namun ternyata benda itu tak diam-diam juga. Mendesak sekali rupanya orang yang menelepon ini.“Apa ini penting? Takutnya kalau begitu. Apa aku angkat saja?”Inara menengok ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Tidak a