**“Papa!”Gavin terkesiap. Mendadak sadar bahwa sesaat tadi dirinya sempat melamun, setelah suara panggilan agak keras dari sang putri membuatnya tersentak.“Papa nggak dengar, Kakak. Jangan marah-marah.”Aylin mendadak menutup mulut dengan kedua telapak tangan saat sang adik menegur.“Sorry, Papa. Apa Aylin bikin Papa kaget?”“Ah, Papa yang sorry, Sayang. Papa memang melamun tadi. Sampai nggak sadar kalau anak Papa sudah keluar.”Segera Gavin menekan tombol kunci pada mobilnya, hingga putra dan putrinya bisa masuk. Aylin dan Alaric memang berada dalam satu yayasan sekolah. Maka keduanya bisa saling menunggu untuk berangkat dan pulang bersama.“Bagaimana sekolah hari ini?” Gavin bertanya sementara melajukan kembali mobilnya, menjauhi parkiran ruang tunggu sekolah.“Capek banget,” jawab Aylin yang sudah memejamkan mata sembari menyandarkan kepala.“Adik nggak capek, tadi Adik mewarna banyak, loh.”“Mewarna doang mana ada capeknya, sih?”Gavin tersenyum sementara memandang sekilas-seki
**Seperti halnya anak-anak lain yang selalu excited saat berkunjung ke rumah kakek dan nenek, demikian pula Aylin dan Alaric. Dua bocah yang berbeda usia lebih dari enam tahun itu berlari-lari keluar dengan riang gembira begitu mobil sang papa merapat ke halaman luas mansion empat lantai milik oma dan opa mereka.“Ho! Rakyat-rakyatku yang lucu!” Dan segera disambut oleh paman mereka yang random. Aldo baru saja sampai di pintu depan entah hendak ke mana. Namun ia segera membatalkan langkah begitu melihat kedatangan dua keponakan tercinta.“Om Aldo, main game, yuk!” Aylin berseru dengan gembira. Seperti diketahui, Aldo adalah partner sejati Aylin dalam bermain game digital.“Emang boleh sama papamu? Nanti Om yang digebukin, nggak mau, ah!” Aylin menoleh ke arah Gavin yang berjalan menyusul di belakangnya. Gadis cilik itu memamerkan cengiran penuh permohonan kepada sang papa ketika Gavin sudah mendekat.“Papa, boleh ya main game? Satu jam saja, nggak lama-lama, kok.”Gavin berdecih. “M
**Satu bulan sebelumnya.Sebuah sedan berwarna hitam meluncur mulus, memasuki sebuah restoran mewah yang tampak berkilauan malam itu. Pengemudinya memarkirkan kendaraan di halaman parkir yang sepi, berjajar dengan beberapa mobil-mobil premium yang lain. Ia mengecek sekali lagi penampilannya sebelum turun dari mobil dan melangkah masuk.Marvel Pradipta, berjalan menuju lobby utama restoran. Mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan itu, sebelum arah pandangnya jatuh pada satu meja yang dihuni oleh seorang perempuan cantik. Gegas Marvel mengayun langkah menuju meja tersebut. “Sudah lama menunggu?”“Ah!” Si perempuan tersentak kala menyadari ada yang datang. Sebelumnya ia sedang sibuk bermain ponsel. “Nggak juga, aku baru datang, kok.”Setelah menarik kursi dan mengambil tempat duduk berhadapan dengan si perempuan, Marvel berujar, “Oke, langsung sajalah. Aku nggak datang ke sini buat sekedar makan malam atau seperti itu. Banyak yang harus aku selesaikan.”“Ck!”“Serius, Sal.”Salsa Kam
**Inara sedang berada di depan meja rias ketika ia mendengar dering suara ponsel dari atas ranjang. Sebab ponselnya sendiri sedang berada persis di hadapannya, maka sudah bisa ditebak benda yang tengah berbunyi itu adalah milik sang suami.Menengok ke sana kemari, sepertinya Gavin masih berada di kamar mandi. Inara berdiri dan menengok ponsel tersebut untuk mengecek siapa yang menelepon. Kalau itu adalah panggilan dari orang yang ia kenal, ia akan mengangkatnya.“Nggak ada namanya?” Dahi Inara berkerut saat akhirnya melihat siapa yang menelepon. Sebaris nomor tanpa nama tertera di layar ponsel milik Gavin. Inara jadi ragu-ragu untuk mengangkat.“Sebaiknya nggak usah sajalah. Biarin aja.” Perempuan itu mengangkat bahu, berbalik hendak meninggalkan ponsel Gavin. Namun ternyata benda itu tak diam-diam juga. Mendesak sekali rupanya orang yang menelepon ini.“Apa ini penting? Takutnya kalau begitu. Apa aku angkat saja?”Inara menengok ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Tidak a
**“Mikirin apa sih, Inara?”Inara mengangkat wajah. Ia tersentak sedikit, sebenarnya. Sadar bahwa dirinya terlalu lama mengaduk-aduk pasta dalam mangkuk tanpa minat.“Mikirin apa?” Eliza mengulangi sembari tersenyum lembut. “Jangan bilang kamu mikirin apa yang dibilang Marvel tentang Gavin tadi.”Inara meletakkan garpu dan sendok yang ia pegang. Meneguk air mineral dalam gelas, sebelum menjatuhkan pandang kepada ibunya yang sabar sekali.“Mom sudah lama kah kenal sama Marvel dan keluarganya?”“Hm? Dibilang kenal lama juga nggak, tapi dibilang baru kenal juga udah lumayan lama, sih. Sebelum kamu gabung, Mom dua kali ada projek sama Ferdi.”“Ferdinand Pradipta?”Kedua alis Eliza terangkat naik setelah mendengar itu. “Kok kamu tahu Ferdinand segala?”“Maminya Gavin yang cerita. Tempo hari waktu aku ke sana. Mami juga cerita kalau Ferdinand Pradipta ada skandal sama orang pemerintahan atau seperti itu. Aku malah diledekin sama Gavin karena nggak tahu.”Eliza mengangguk sementara menyuap
**“Ah! Dia bilang hari ini nggak bisa ketemu? Sialan banget!”Marvel melemparkan ponselnya yang baru saja ia gunakan untuk bertukar pesan dengan Inara. Pria itu melayangkan tatapan kesal kepada pemandangan kota yang menghampar di balik dinding kaca apartemen.“Nggak bisa, apapun yang terjadi, aku harus ketemu sama dia. Nggak bisa.” Pria itu mendesis sembari mondar-mandir di dalam unit apartemen miliknya. Memikirkan alasan apa yang bisa ia gunakan untuk menemui istri CEO SR Corp itu hari ini.“Biasanya dia nggak pernah bilang nggak bisa, kenapa hari ini mendadak nggak mau ketemu sama aku?”Setelah berpikir dengan benak yang kacau, Marvel mendadak saja teringat sesuatu. “Ah, kenapa bisa lupa? Bukankah undangan reuni itu nanti malam? Mungkin saja Inara datang sama Gavin, kan? Apa aku telepon dia lagi aja buat mastiin?”Pria itu mencari ponsel yang tadi sudah dilemparnya entah ke mana. Namun seketika itu juga pikirannya kembali berubah. “Ah, jangan lah. Nanti dia pikir aku yang terlalu b
**Gavin dan Aldo saling bertukar pandang begitu memasuki gedung tersebut. Memang tidak seperti bar sungguhan, namun aura dunia malam seketika tercium kala tampak suasana temaram lampu, asap rokok dan orang-orang yang berpakaian glamor. Bahkan di beberapa meja, tampak jelas-jelas botol minuman keras mahal.“Lo dulu sekolah di mana?” celetuk Aldo refleks, yang segera saja mendapat balasan delikan galak dari Gavin.“Serius, Vin, kita nggak salah tempat kan? Ya meskipun kalo lo tanya gue, tentu saja gue akan jawab ini bagus.” Sembari terkekeh senang, Aldo merapikan setelan jas hitam yang ia kenakan. Kemeja berwarna navy yang terbuka hingga atas garis dada tampak serasi sekali melekat di tubuh jenjang pria itu. Aldo tampak jauh-jauh lebih muda malam ini.“Balik aja nggak sih, Al?” Sementara Gavin yang sangat moody jika menyangkut hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, sudah siap-siap hendak berbalik. “Gue pikir bakal acara semiformal di ballroom hotel atau semacam itu. Mana gue kira kalau
**Kendati Aldo sudah tahu bahwa suara di seberang sana bercampur isak tangis, namun ia masih bisa mengendalikan diri untuk tidak terlampau panik dan bertanya pelan-pelan.“Inara, apakah kamu sedang menangis?”“Gavin ada di mana?”Pria itu tanpa sadar menelan saliva yang terasa pahit. Sang adik kembali melayangkan pertanyaan, alih-alih menjawab pertanyaannya.“I-Inara–”“Apakah kamu lagi sama Gavin? Bisa aku bicara sama dia?”Matilah. Apa yang harus Aldo katakan?“Kenapa kamu diam, Om? Aku tanya apakah kamu lagi sama Gavin? Kasih teleponnya sama dia, aku mau ngomong!”“Hold on!” Akhirnya Aldo menjawab dengan buru-buru. “Sebentar saja. Aku akan segera sampai di rumah bersama Gavin. Kasih waktu setengah jam, aku akan cepat.”Setelah itu Aldo matikan ponselnya tanpa menunggu sanggahan lain dari sang adik. Dengan alis menukik turun, ia memasangkan seatbelt Gavin dan miliknya sendiri, sebelum menghidupkan mesin mobil lalu tancap gas meninggalkan halaman gedung terkutuk itu. Sekali-sekali i
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be