**Gavin dan Aldo saling bertukar pandang begitu memasuki gedung tersebut. Memang tidak seperti bar sungguhan, namun aura dunia malam seketika tercium kala tampak suasana temaram lampu, asap rokok dan orang-orang yang berpakaian glamor. Bahkan di beberapa meja, tampak jelas-jelas botol minuman keras mahal.“Lo dulu sekolah di mana?” celetuk Aldo refleks, yang segera saja mendapat balasan delikan galak dari Gavin.“Serius, Vin, kita nggak salah tempat kan? Ya meskipun kalo lo tanya gue, tentu saja gue akan jawab ini bagus.” Sembari terkekeh senang, Aldo merapikan setelan jas hitam yang ia kenakan. Kemeja berwarna navy yang terbuka hingga atas garis dada tampak serasi sekali melekat di tubuh jenjang pria itu. Aldo tampak jauh-jauh lebih muda malam ini.“Balik aja nggak sih, Al?” Sementara Gavin yang sangat moody jika menyangkut hal-hal yang membuatnya tidak nyaman, sudah siap-siap hendak berbalik. “Gue pikir bakal acara semiformal di ballroom hotel atau semacam itu. Mana gue kira kalau
**Kendati Aldo sudah tahu bahwa suara di seberang sana bercampur isak tangis, namun ia masih bisa mengendalikan diri untuk tidak terlampau panik dan bertanya pelan-pelan.“Inara, apakah kamu sedang menangis?”“Gavin ada di mana?”Pria itu tanpa sadar menelan saliva yang terasa pahit. Sang adik kembali melayangkan pertanyaan, alih-alih menjawab pertanyaannya.“I-Inara–”“Apakah kamu lagi sama Gavin? Bisa aku bicara sama dia?”Matilah. Apa yang harus Aldo katakan?“Kenapa kamu diam, Om? Aku tanya apakah kamu lagi sama Gavin? Kasih teleponnya sama dia, aku mau ngomong!”“Hold on!” Akhirnya Aldo menjawab dengan buru-buru. “Sebentar saja. Aku akan segera sampai di rumah bersama Gavin. Kasih waktu setengah jam, aku akan cepat.”Setelah itu Aldo matikan ponselnya tanpa menunggu sanggahan lain dari sang adik. Dengan alis menukik turun, ia memasangkan seatbelt Gavin dan miliknya sendiri, sebelum menghidupkan mesin mobil lalu tancap gas meninggalkan halaman gedung terkutuk itu. Sekali-sekali i
**Aldo bertukar pandang dengan sang adik selama beberapa saat, sebelum akhirnya sadar mengapa Inara berkata mereka membutuhkan dokter.Kondisi Gavin buruk. Bahkan keduanya yang sama sekali buta masalah ilmu kesehatan, sepakat bahwa keadaan Gavin saat itu tidak seperti mabuk biasa dan jelas lebih buruk dari itu. Pria itu lebih seperti pingsan daripada mabuk.“Aku akan menelepon dokter keluarga!” Inara berlari melintasi kamar, menuju ponsel miliknya yang berada di atas nakas untuk menelepon dokter.Tak membutuhkan waktu lama untuk menunggu, dokter akhirnya datang untuk melakukan pemeriksaan. Apa yang dikatakan pria separuh baya itu kemudian, membuat Inara dan Aldo hanya bisa ternganga tidak percaya.“Kita memerlukan cek lab untuk meninjau secara pasti apa yang menyebabkan Tuan Sanjaya seperti ini. Hanya saja melalui gejala yang tampak, sepertinya Tuan sudah menelan sejumlah besar zat sedatif. Benar, dia bukan mabuk karena alkohol.”“Zat sedatif?” Inara mengulangi dalam hantaman rasa sh
**Jarum jam sudah hampir menyentuh angka tengah malam ketika Inara mendengar suara deru kendaraan yang sepertinya dekat. Siapa yang datang pada hari selarut ini?Perempuan itu menengok ke arah samping, di mana suaminya masih tertidur dengan tenang. Tadinya ia tidak berniat tidur dan akan menjaga Gavin semalaman. Namun rasa lelah membuatnya tanpa sadar terlelap dalam posisi duduk.“Siapa yang datang?” Ia mengerutkan alis. Sekuriti yang menjaga di pintu gerbang depan biasanya akan mengatakan kepada para tamu untuk kembali besok saja jika ada yang datang terlalu malam, maka Inara sama sekali tidak berniat turun dan mengecek.Nah, namun kemudian ponselnya berdering. Itu telepon dari pos sekuriti di depan. Dan karena Inara belum benar-benar tidur, maka ia tidak menemukan alasan untuk mengabaikan ponselnya.“Halo?”“Maaf, Bu. Maaf sekali, saya mengganggu istirahat anda semalam ini. Tapi ada seseorang yang memaksa masuk dan bertemu dengan anda.”Tanpa sadar Inara menggigiti kuku jemarinya.
**“Inara, ada apa? Aku nggak melakukan kesalahan, kan? Please, Sayang, bisa tolong jelaskan ini sama aku?”Inara melepas pelukan. Sudah susah payah ia tahan air mata dan berkali-kali menghela napas agar dirinya tenang. Namun tak urung isak tangisnya pecah juga. Ia menggeleng keras-keras sementara suaminya yang baru bangun menjadi sangat panik.Inara sudah menahan semuanya sendiri sejak semalam, maka ia biarkan dirinya tenggelam dalam tangis pagi ini.“I-Inara, jangan begini, aku nggak tahu apapun yang terjadi. Bisa tolong kamu katakan ada apa? Please, jangan menangis ….”Perempuan itu rasa dirinya tidak akan sanggup jika harus sekali lagi mengulangi menceritakan segalanya secara gamblang. Maka ia meraih ponsel dari atas nakas dan menunjukkan video yang menggemparkan itu kepada yang bersangkutan.“Sudah tersebar di semua media sosial,” katanya parau. “Orang-orang ada di luar. Menunggu kamu bangun.”Gavin yang awalnya sama sekali tidak tahu video apakah itu, mendadak mematung dengan wa
**Tiga hari berselang sejak kejadian tersebarnya video bodoh itu, ternyata media masih tetap ramai memberitakan dengan menambah-nambahi berbagai argumen aneh yang entah mereka dapatkan dari mana. Judul-judul artikel yang sangat clickbait tersebar di berbagai media massa. Dan dampak yang paling besar tentu saja adalah anjloknya saham SR. Gavin yang awalnya agak masa bodoh dengan hal ini, lama-lama jadi terganggu. Masalahnya, ada ratusan karyawan yang bergantung hidup dengan SR. Jika stabilitas perusahaan terganggu, maka ia juga dikepung rasa berdosa sebab jadi mengombang-ambing hidup para karyawan yang bergantung sepenuhnya kepada perusahaannya.“Kita harus adakan perbaikan image segera. Dan usaha pertama yang bisa kamu lakukan adalah menunjukkan kepada publik bahwa hubunganmu dengan istrimu sama sekali tidak terganggu dengan rumor yang terakhir itu.” Penasihat hukum Gavin yang memberikan saran. Pria yang sudah bekerja sejak masih ada Joseph Sanjaya itu menatap sang CEO dengan penuh
**“Dia berada di Golden Imperial Hotel?”Salsa menyeringai di balik ponselnya, berbicara dengan seseorang di seberang sana. Setengahnya ia merasa geli sebab seseorang ini memberikan informasi dengan nada suara yang kedengaran jengkel dan terpaksa sekali.“Datang sekarang, atau kamu akan keduluan istrinya. Dia tadinya bersama Revaldo. Aku barusan lihat mobil Revaldo keluar dari hotel dan dia sendirian. So, besar kemungkinan Gavin ditinggalkan di hotel, kan?”“Apa hubungannya Gavin dengan Renaldo?” Salsa bertanya dengan kedua alis terangkat naik. “Anggap saja sahabat lama. Sekarang terserahmu mau datang apa tidak. Yang penting aku sudah memberikanmu informasi yang kamu inginkan.”“Jangan nggak ikhlas begitu, dong. Ingat Marvel, tujuh setengah miliar itu bukan jumlah yang sedikit.”Salsa kemudian terbahak saat ponsel dimatikan dengan sepihak dari seberang. Sementara bersiul dengan riang, ia kemudian meraih kunci mobil dan bergegas menuju hotel bintang lima yang tadi disebutkan oleh Mar
**Esok paginya, Gavin terbangun di dalam kamar hotel mewah itu dengan kepala linglung. Selama sepuluh menit penuh ia berdiam diri dan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Mencoba mencerna keadaan dengan kapasitas otak yang jauh lebih berkurang daripada biasanya.“Inara?” Adalah kata pertama yang lolos dari bibirnya. Pria itu menemukan ponselnya yang tergeletak di atas nakas dalam keadaan mati kehabisan baterai. “Jam berapa ini? Sepertinya aku sudah tidur dalam waktu yang sangat lama.”Ia menoleh ke sana sekali untuk mencari keberadaan jam dinding, lalu akhirnya menemukan benda penunjuk waktu itu tergeletak di atas nakas di sisi lain ranjang. Kedua mata Gavin terbelalak penuh saat melihatnya.“Jam delapan pagi?” Ia berseru panik. “Ya Tuhan! Aku nggak pulang semalaman? Astaga, di mana Aldo keparat itu? Inara pasti bingung cari aku. Aku harus pulang sekarang!”Gavin menyibak bedcover yang menutupi tubuhnya dan segera berlari ke kamar mandi. Sedikitnya ia bersyukur ketika mem
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be