**“Inara, ada apa? Aku nggak melakukan kesalahan, kan? Please, Sayang, bisa tolong jelaskan ini sama aku?”Inara melepas pelukan. Sudah susah payah ia tahan air mata dan berkali-kali menghela napas agar dirinya tenang. Namun tak urung isak tangisnya pecah juga. Ia menggeleng keras-keras sementara suaminya yang baru bangun menjadi sangat panik.Inara sudah menahan semuanya sendiri sejak semalam, maka ia biarkan dirinya tenggelam dalam tangis pagi ini.“I-Inara, jangan begini, aku nggak tahu apapun yang terjadi. Bisa tolong kamu katakan ada apa? Please, jangan menangis ….”Perempuan itu rasa dirinya tidak akan sanggup jika harus sekali lagi mengulangi menceritakan segalanya secara gamblang. Maka ia meraih ponsel dari atas nakas dan menunjukkan video yang menggemparkan itu kepada yang bersangkutan.“Sudah tersebar di semua media sosial,” katanya parau. “Orang-orang ada di luar. Menunggu kamu bangun.”Gavin yang awalnya sama sekali tidak tahu video apakah itu, mendadak mematung dengan wa
**Tiga hari berselang sejak kejadian tersebarnya video bodoh itu, ternyata media masih tetap ramai memberitakan dengan menambah-nambahi berbagai argumen aneh yang entah mereka dapatkan dari mana. Judul-judul artikel yang sangat clickbait tersebar di berbagai media massa. Dan dampak yang paling besar tentu saja adalah anjloknya saham SR. Gavin yang awalnya agak masa bodoh dengan hal ini, lama-lama jadi terganggu. Masalahnya, ada ratusan karyawan yang bergantung hidup dengan SR. Jika stabilitas perusahaan terganggu, maka ia juga dikepung rasa berdosa sebab jadi mengombang-ambing hidup para karyawan yang bergantung sepenuhnya kepada perusahaannya.“Kita harus adakan perbaikan image segera. Dan usaha pertama yang bisa kamu lakukan adalah menunjukkan kepada publik bahwa hubunganmu dengan istrimu sama sekali tidak terganggu dengan rumor yang terakhir itu.” Penasihat hukum Gavin yang memberikan saran. Pria yang sudah bekerja sejak masih ada Joseph Sanjaya itu menatap sang CEO dengan penuh
**“Dia berada di Golden Imperial Hotel?”Salsa menyeringai di balik ponselnya, berbicara dengan seseorang di seberang sana. Setengahnya ia merasa geli sebab seseorang ini memberikan informasi dengan nada suara yang kedengaran jengkel dan terpaksa sekali.“Datang sekarang, atau kamu akan keduluan istrinya. Dia tadinya bersama Revaldo. Aku barusan lihat mobil Revaldo keluar dari hotel dan dia sendirian. So, besar kemungkinan Gavin ditinggalkan di hotel, kan?”“Apa hubungannya Gavin dengan Renaldo?” Salsa bertanya dengan kedua alis terangkat naik. “Anggap saja sahabat lama. Sekarang terserahmu mau datang apa tidak. Yang penting aku sudah memberikanmu informasi yang kamu inginkan.”“Jangan nggak ikhlas begitu, dong. Ingat Marvel, tujuh setengah miliar itu bukan jumlah yang sedikit.”Salsa kemudian terbahak saat ponsel dimatikan dengan sepihak dari seberang. Sementara bersiul dengan riang, ia kemudian meraih kunci mobil dan bergegas menuju hotel bintang lima yang tadi disebutkan oleh Mar
**Esok paginya, Gavin terbangun di dalam kamar hotel mewah itu dengan kepala linglung. Selama sepuluh menit penuh ia berdiam diri dan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Mencoba mencerna keadaan dengan kapasitas otak yang jauh lebih berkurang daripada biasanya.“Inara?” Adalah kata pertama yang lolos dari bibirnya. Pria itu menemukan ponselnya yang tergeletak di atas nakas dalam keadaan mati kehabisan baterai. “Jam berapa ini? Sepertinya aku sudah tidur dalam waktu yang sangat lama.”Ia menoleh ke sana sekali untuk mencari keberadaan jam dinding, lalu akhirnya menemukan benda penunjuk waktu itu tergeletak di atas nakas di sisi lain ranjang. Kedua mata Gavin terbelalak penuh saat melihatnya.“Jam delapan pagi?” Ia berseru panik. “Ya Tuhan! Aku nggak pulang semalaman? Astaga, di mana Aldo keparat itu? Inara pasti bingung cari aku. Aku harus pulang sekarang!”Gavin menyibak bedcover yang menutupi tubuhnya dan segera berlari ke kamar mandi. Sedikitnya ia bersyukur ketika mem
**Inara jelas masih belum bisa mengalihkan pikiran dari apa yang terjadi kepada rumah tangganya belakangan ini. Ia masih tetap sedikit bicara kepada Gavin juga. Inara benar-benar tidak bermaksud bersikap kekanakan dengan terus merajuk seperti itu, namun kala ingatan tentang Salsa kembali menyapa benaknya, ia menjadi kesal lagi.Nah, kendati demikian, Inara tetap pergi bekerja. Ia bertekad tetap profesional dengan berusaha merampungkan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya sejauh ini. Ia tidak ingin masalah intern rumah tangga sampai mengganggu kinerjanya. Lagipula, projek yang ia kerjakan untuk Marvel sudah hampir selesai.“Apa kamu baik-baik saja, Inara? Kamu banyak melamun dan jadi nggak fokus.” Marvel bertanya penuh simpati. Siang ini pria itu seperti biasa, mendatangi Inara di kediaman Bagaskara dengan sejumlah alasan yang bisa ia gunakan untuk bertemu dengan perempuan itu. Marvel benar-benar setengah gila belakangan ini, sebab semakin jarang bertemu dengan Inara.“Aku
**Salsa mengalihkan perhatian dari gambar-gambar nail art saat ponselnya berdering singkat karena sebuah pesan masuk. Wanita itu mengetuk layar ponsel untuk memeriksa pesan masuk tersebut, dan segera saja senyum lebar terpampang jelas pada wajahnya.“Finally!” desisnya kesenangan. “Aku tahu cepat atau lambat kamu akan melakukan ini. Aku buat kamu membutuhkan aku, dan ternyata berhasil, kan?”Perempuan itu mengangkat bahu. Masih menatap layar ponselnya yang menyala tanpa berniat membalas pesan yang ia dapatkan. “Menurutmu aku harus membuat ini mudah atau sulit, Gavin Sanjaya? Ah, tapi aku senang melihatmu menderita.”Salsa terkekeh lagi. Mengabaikan pesan tersebut dan berniat akan membalasnya kira-kira satu atau dua jam lagi. “Aku lagi sibuk sekarang, jadi karena kamu yang butuh, maka kamu harus sabar menunggu.”Perempuan itu kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sementara memejamkan mata sembari menikmati perawatan yang diberikan pegawai salon pada kuku tangannya.“In
**“Mama? Kenapa Mama tidur di sini?”Inara mengerjapkan mata dan terbangun dengan kaget saat sentuhan halus terasa menerpa lengannya. Ia bangun dan bangkit perlahan, mendapati si bungsu yang sedang duduk di sampingnya dengan wajah polos dan sedikit sedih.“Maaf membangunkan, tapi kenapa Mama tidur di sini, nggak di kamar?” “Oh, Sayang? Mama hanya ketiduran, kok. Nanti Mama balik ke kamar.”Inara mengucek mata. Ia berusaha bangun dan tersenyum kepada putri kecilnya yang sudah besar.“Jam berapa ini? Kenapa kamu masih belum tidur, Kak? Seharusnya jam segini kamu sudah di kamar. Besok terlambat bangun, lho.”“Aku ambil air ke dapur dan lihat Mama tidur di sini. Mama bawa selimut? Sepertinya nggak ketiduran.”Inara terdiam. Aylin sekarang sudah cukup besar untuk mengerti jika sesuatu terjadi dengan kedua orang tuanya. Gadis sebelas tahun itu mencebik cemberut, bahkan terlihat hampir menangis.“Apa Mama sama Papa berantem?”“Apa? Ah, nggak, kok. Nggak seperti itu, Mama dan Papa baik-baik
**Sepasang manik gelap Marvel menyorot tajam saat melihat dari balik kaca mobilnya, Inara dan Gavin yang baru saja keluar dari sebuah restoran. Pria itu mengerutkan dahi dengan wajah sangat terganggu.“Bukannya Inara kemarin bilang kalau dia sedang ribut sama Gavin? Kenapa hari ini mereka bareng lagi dan kelihatannya nggak ada yang terjadi? Sial, aku kalah langkah lagi! Lama-lama aku bisa pakai jalan pintas buat dapatkan Inara kalau terus seperti ini!”Pria itu masih mengerutkan alis menahan murka kala mematai mobil milik Gavin yang melintas pelan di depan mobilnya sendiri. Cemburu membakar hati saat terlihat Inara sedang menyeka kening prianya dengan tisu, tepat di depan mata Marvel.“Sial, mereka kelihatan baik-baik saja. Harus dengan cara apa lagi aku menjauhkan orang-orang ini? Bagaimana dengan tujuh setengah miliar yang dijanjikan sama Salsa?”Teringat Salsa, akhirnya Marvel mencoba menelepon perempuan itu untuk bertanya.“Kamu kan bilang kalau kemarin Inara berantem sama Gavin