**Esok paginya, Gavin terbangun di dalam kamar hotel mewah itu dengan kepala linglung. Selama sepuluh menit penuh ia berdiam diri dan memegangi kepalanya yang terasa berdenyut nyeri. Mencoba mencerna keadaan dengan kapasitas otak yang jauh lebih berkurang daripada biasanya.“Inara?” Adalah kata pertama yang lolos dari bibirnya. Pria itu menemukan ponselnya yang tergeletak di atas nakas dalam keadaan mati kehabisan baterai. “Jam berapa ini? Sepertinya aku sudah tidur dalam waktu yang sangat lama.”Ia menoleh ke sana sekali untuk mencari keberadaan jam dinding, lalu akhirnya menemukan benda penunjuk waktu itu tergeletak di atas nakas di sisi lain ranjang. Kedua mata Gavin terbelalak penuh saat melihatnya.“Jam delapan pagi?” Ia berseru panik. “Ya Tuhan! Aku nggak pulang semalaman? Astaga, di mana Aldo keparat itu? Inara pasti bingung cari aku. Aku harus pulang sekarang!”Gavin menyibak bedcover yang menutupi tubuhnya dan segera berlari ke kamar mandi. Sedikitnya ia bersyukur ketika mem
**Inara jelas masih belum bisa mengalihkan pikiran dari apa yang terjadi kepada rumah tangganya belakangan ini. Ia masih tetap sedikit bicara kepada Gavin juga. Inara benar-benar tidak bermaksud bersikap kekanakan dengan terus merajuk seperti itu, namun kala ingatan tentang Salsa kembali menyapa benaknya, ia menjadi kesal lagi.Nah, kendati demikian, Inara tetap pergi bekerja. Ia bertekad tetap profesional dengan berusaha merampungkan pekerjaan yang sudah menjadi tanggung jawabnya sejauh ini. Ia tidak ingin masalah intern rumah tangga sampai mengganggu kinerjanya. Lagipula, projek yang ia kerjakan untuk Marvel sudah hampir selesai.“Apa kamu baik-baik saja, Inara? Kamu banyak melamun dan jadi nggak fokus.” Marvel bertanya penuh simpati. Siang ini pria itu seperti biasa, mendatangi Inara di kediaman Bagaskara dengan sejumlah alasan yang bisa ia gunakan untuk bertemu dengan perempuan itu. Marvel benar-benar setengah gila belakangan ini, sebab semakin jarang bertemu dengan Inara.“Aku
**Salsa mengalihkan perhatian dari gambar-gambar nail art saat ponselnya berdering singkat karena sebuah pesan masuk. Wanita itu mengetuk layar ponsel untuk memeriksa pesan masuk tersebut, dan segera saja senyum lebar terpampang jelas pada wajahnya.“Finally!” desisnya kesenangan. “Aku tahu cepat atau lambat kamu akan melakukan ini. Aku buat kamu membutuhkan aku, dan ternyata berhasil, kan?”Perempuan itu mengangkat bahu. Masih menatap layar ponselnya yang menyala tanpa berniat membalas pesan yang ia dapatkan. “Menurutmu aku harus membuat ini mudah atau sulit, Gavin Sanjaya? Ah, tapi aku senang melihatmu menderita.”Salsa terkekeh lagi. Mengabaikan pesan tersebut dan berniat akan membalasnya kira-kira satu atau dua jam lagi. “Aku lagi sibuk sekarang, jadi karena kamu yang butuh, maka kamu harus sabar menunggu.”Perempuan itu kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi sementara memejamkan mata sembari menikmati perawatan yang diberikan pegawai salon pada kuku tangannya.“In
**“Mama? Kenapa Mama tidur di sini?”Inara mengerjapkan mata dan terbangun dengan kaget saat sentuhan halus terasa menerpa lengannya. Ia bangun dan bangkit perlahan, mendapati si bungsu yang sedang duduk di sampingnya dengan wajah polos dan sedikit sedih.“Maaf membangunkan, tapi kenapa Mama tidur di sini, nggak di kamar?” “Oh, Sayang? Mama hanya ketiduran, kok. Nanti Mama balik ke kamar.”Inara mengucek mata. Ia berusaha bangun dan tersenyum kepada putri kecilnya yang sudah besar.“Jam berapa ini? Kenapa kamu masih belum tidur, Kak? Seharusnya jam segini kamu sudah di kamar. Besok terlambat bangun, lho.”“Aku ambil air ke dapur dan lihat Mama tidur di sini. Mama bawa selimut? Sepertinya nggak ketiduran.”Inara terdiam. Aylin sekarang sudah cukup besar untuk mengerti jika sesuatu terjadi dengan kedua orang tuanya. Gadis sebelas tahun itu mencebik cemberut, bahkan terlihat hampir menangis.“Apa Mama sama Papa berantem?”“Apa? Ah, nggak, kok. Nggak seperti itu, Mama dan Papa baik-baik
**Sepasang manik gelap Marvel menyorot tajam saat melihat dari balik kaca mobilnya, Inara dan Gavin yang baru saja keluar dari sebuah restoran. Pria itu mengerutkan dahi dengan wajah sangat terganggu.“Bukannya Inara kemarin bilang kalau dia sedang ribut sama Gavin? Kenapa hari ini mereka bareng lagi dan kelihatannya nggak ada yang terjadi? Sial, aku kalah langkah lagi! Lama-lama aku bisa pakai jalan pintas buat dapatkan Inara kalau terus seperti ini!”Pria itu masih mengerutkan alis menahan murka kala mematai mobil milik Gavin yang melintas pelan di depan mobilnya sendiri. Cemburu membakar hati saat terlihat Inara sedang menyeka kening prianya dengan tisu, tepat di depan mata Marvel.“Sial, mereka kelihatan baik-baik saja. Harus dengan cara apa lagi aku menjauhkan orang-orang ini? Bagaimana dengan tujuh setengah miliar yang dijanjikan sama Salsa?”Teringat Salsa, akhirnya Marvel mencoba menelepon perempuan itu untuk bertanya.“Kamu kan bilang kalau kemarin Inara berantem sama Gavin
**“Silahkan masuk. Tuan menunggu anda di dalam.”Setelah beberapa saat menunggu di depan gerbang kokoh yang tertutup rapat, akhirnya Gavin menerima konfirmasi dari petugas berjas hitam yang tadi menyambutnya.Pria itu menekan remote control hingga kedua bilah pintu di hadapannya tertarik ke dalam dan memungkinkan Gavin memasukkan mobilnya.Halaman rumah itu bahkan lebih indah dari yang tampak dari kejauhan. Tertata rapi dengan kolam air mancur dan berbagai tanaman hias yang terstruktur. Tempat parkir terletak di sisi lain halaman, yang mana penuh terisi dengan mobil-mobil premium limited yang mungkin hanya ada beberapa unit saja di seluruh dunia.“Gue akan tunggu di gazebo yang itu, Vin. Gue mendadak pengen ngerokok,” tutur Aldo sembari menunjuk sebuah pondok kecil di tepi kolam ikan yang sepertinya memang diperuntukkan bagi smoking area. “Mana ponsel lo, sini.”“Buat apaan ponsel segala?”“Sini!”Meski tidak mengerti, Gavin tetap memberikan benda pipih di dalam saku jas yang ia kena
**Aldo tersentak saat melihat dari kejauhan, Gavin akhirnya berjalan keluar dari pintu kediaman Dirga Prawira yang seperti istana Victoria. Pria itu buru-buru membuang puntung rokoknya dan menyipitkan mata dengan curiga kala tampak olehnya raut sang adik ipar yang setengah linglung. Aldo menunggu hingga Gavin cukup dekat sebelum meraih lengan yang lebih muda dan memasukkannya ke dalam mobil dengan sedikit tergesa.“Lo nggak nelepon gue, berarti nggak ada yang terjadi? Semuanya baik-baik aja, kan?”“Apa?”Aldo mendadak melemparkan pandangan separuh ngeri, setengah heran kepada satu yang lain. “Vin, lo nggak diapa-apain kan di dalam? Kok lo jadi bego mendadak begini? Lo nggak disetrum atau sesuatu, kan?”“Apa-apaan?” Gavin berujar seraya mendorong Aldo hingga keluar dari pintu mobil di sampingnya dan dirinya bisa bergeser ke kursi penumpang. “Lo yang nyetir, Al. Kepala gue sakit rasanya.”“Lo beneran disetrum?”“Keluar dari sini dulu, nanti gue cerita. Please.”Meski sangat penasaran d
**Mobil Gavin merapat di garasi rumah dan berhenti di sana sekembalinya dari kediaman Bagaskara. Seharusnya Gavin merasa lega setelah menyelesaikan masalah dengan Salsa, namun ternyata tidak. Masih ada ganjalan besar, terlebih lagi ketika melihat raut wajah sang istri yang terlihat begitu keruh. Entah hanya perasaannya saja, atau Inara memang kembali dingin setelah memastikan Gavin baik-baik saja tadi.“Inara, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?”“Apa?”“Kamu kelihatannya masih memikirkan sesuatu. Padahal aku bilang semua masalahnya sudah selesai.”“Ah, nggak apa-apa.” Perempuan itu tersenyum sekilas sebelum melepas sabuk pengaman dan bersiap membuka pintu mobil di sampingnya. “Ayo kita keluar. Mandi dan istirahat. Kamu capek, kan?”Bahkan Inara tidak menunggu Gavin dulu. Ia melenggang begitu saja sekeluarnya dari mobil. Meninggalkan prianya dalam kesendirian. Kedua buah hati mereka tidak ingin pulang dari rumah kakek nenek Bagaskara, sehingga Inara meninggalkan keduanya di