**“Mama? Kenapa Mama tidur di sini?”Inara mengerjapkan mata dan terbangun dengan kaget saat sentuhan halus terasa menerpa lengannya. Ia bangun dan bangkit perlahan, mendapati si bungsu yang sedang duduk di sampingnya dengan wajah polos dan sedikit sedih.“Maaf membangunkan, tapi kenapa Mama tidur di sini, nggak di kamar?” “Oh, Sayang? Mama hanya ketiduran, kok. Nanti Mama balik ke kamar.”Inara mengucek mata. Ia berusaha bangun dan tersenyum kepada putri kecilnya yang sudah besar.“Jam berapa ini? Kenapa kamu masih belum tidur, Kak? Seharusnya jam segini kamu sudah di kamar. Besok terlambat bangun, lho.”“Aku ambil air ke dapur dan lihat Mama tidur di sini. Mama bawa selimut? Sepertinya nggak ketiduran.”Inara terdiam. Aylin sekarang sudah cukup besar untuk mengerti jika sesuatu terjadi dengan kedua orang tuanya. Gadis sebelas tahun itu mencebik cemberut, bahkan terlihat hampir menangis.“Apa Mama sama Papa berantem?”“Apa? Ah, nggak, kok. Nggak seperti itu, Mama dan Papa baik-baik
**Sepasang manik gelap Marvel menyorot tajam saat melihat dari balik kaca mobilnya, Inara dan Gavin yang baru saja keluar dari sebuah restoran. Pria itu mengerutkan dahi dengan wajah sangat terganggu.“Bukannya Inara kemarin bilang kalau dia sedang ribut sama Gavin? Kenapa hari ini mereka bareng lagi dan kelihatannya nggak ada yang terjadi? Sial, aku kalah langkah lagi! Lama-lama aku bisa pakai jalan pintas buat dapatkan Inara kalau terus seperti ini!”Pria itu masih mengerutkan alis menahan murka kala mematai mobil milik Gavin yang melintas pelan di depan mobilnya sendiri. Cemburu membakar hati saat terlihat Inara sedang menyeka kening prianya dengan tisu, tepat di depan mata Marvel.“Sial, mereka kelihatan baik-baik saja. Harus dengan cara apa lagi aku menjauhkan orang-orang ini? Bagaimana dengan tujuh setengah miliar yang dijanjikan sama Salsa?”Teringat Salsa, akhirnya Marvel mencoba menelepon perempuan itu untuk bertanya.“Kamu kan bilang kalau kemarin Inara berantem sama Gavin
**“Silahkan masuk. Tuan menunggu anda di dalam.”Setelah beberapa saat menunggu di depan gerbang kokoh yang tertutup rapat, akhirnya Gavin menerima konfirmasi dari petugas berjas hitam yang tadi menyambutnya.Pria itu menekan remote control hingga kedua bilah pintu di hadapannya tertarik ke dalam dan memungkinkan Gavin memasukkan mobilnya.Halaman rumah itu bahkan lebih indah dari yang tampak dari kejauhan. Tertata rapi dengan kolam air mancur dan berbagai tanaman hias yang terstruktur. Tempat parkir terletak di sisi lain halaman, yang mana penuh terisi dengan mobil-mobil premium limited yang mungkin hanya ada beberapa unit saja di seluruh dunia.“Gue akan tunggu di gazebo yang itu, Vin. Gue mendadak pengen ngerokok,” tutur Aldo sembari menunjuk sebuah pondok kecil di tepi kolam ikan yang sepertinya memang diperuntukkan bagi smoking area. “Mana ponsel lo, sini.”“Buat apaan ponsel segala?”“Sini!”Meski tidak mengerti, Gavin tetap memberikan benda pipih di dalam saku jas yang ia kena
**Aldo tersentak saat melihat dari kejauhan, Gavin akhirnya berjalan keluar dari pintu kediaman Dirga Prawira yang seperti istana Victoria. Pria itu buru-buru membuang puntung rokoknya dan menyipitkan mata dengan curiga kala tampak olehnya raut sang adik ipar yang setengah linglung. Aldo menunggu hingga Gavin cukup dekat sebelum meraih lengan yang lebih muda dan memasukkannya ke dalam mobil dengan sedikit tergesa.“Lo nggak nelepon gue, berarti nggak ada yang terjadi? Semuanya baik-baik aja, kan?”“Apa?”Aldo mendadak melemparkan pandangan separuh ngeri, setengah heran kepada satu yang lain. “Vin, lo nggak diapa-apain kan di dalam? Kok lo jadi bego mendadak begini? Lo nggak disetrum atau sesuatu, kan?”“Apa-apaan?” Gavin berujar seraya mendorong Aldo hingga keluar dari pintu mobil di sampingnya dan dirinya bisa bergeser ke kursi penumpang. “Lo yang nyetir, Al. Kepala gue sakit rasanya.”“Lo beneran disetrum?”“Keluar dari sini dulu, nanti gue cerita. Please.”Meski sangat penasaran d
**Mobil Gavin merapat di garasi rumah dan berhenti di sana sekembalinya dari kediaman Bagaskara. Seharusnya Gavin merasa lega setelah menyelesaikan masalah dengan Salsa, namun ternyata tidak. Masih ada ganjalan besar, terlebih lagi ketika melihat raut wajah sang istri yang terlihat begitu keruh. Entah hanya perasaannya saja, atau Inara memang kembali dingin setelah memastikan Gavin baik-baik saja tadi.“Inara, apa ada sesuatu yang mengganggu pikiran kamu?”“Apa?”“Kamu kelihatannya masih memikirkan sesuatu. Padahal aku bilang semua masalahnya sudah selesai.”“Ah, nggak apa-apa.” Perempuan itu tersenyum sekilas sebelum melepas sabuk pengaman dan bersiap membuka pintu mobil di sampingnya. “Ayo kita keluar. Mandi dan istirahat. Kamu capek, kan?”Bahkan Inara tidak menunggu Gavin dulu. Ia melenggang begitu saja sekeluarnya dari mobil. Meninggalkan prianya dalam kesendirian. Kedua buah hati mereka tidak ingin pulang dari rumah kakek nenek Bagaskara, sehingga Inara meninggalkan keduanya di
**Siang yang begitu terik saat Marvel dengan kesal menutup pintu mobilnya. Ia melangkah masuk ke dalam kafe, kemudian menengok ke kanan dan ke kiri. Mencari keberadaan orang yang membuat janji dengannya sebelum ini.Di sana. Di sudut ruangan, pria itu melangkah mendekati sosok Salsa Kamila, yang ternyata menampakkan wajah yang sama mendungnya dengan Marvel sendiri. Dua orang ini sama-sama sedang tidak baik-baik saja, agaknya.“Kenapa mengajak bertemu? Apa yang mau kamu bahas?” Marvel bertanya tanpa basa-basi, bahkan sebelum ia sempat mengambil tempat duduk.Di seberang meja, Salsa menatap dengan alis bertaut, tidak terima. “Kenapa sikapmu begitu? Kalau ada yang boleh nggak enak hati, hanya aku orangnya ya, Marvel! Memangnya aku sudah merugikan kamu dalam hal apa, ha?”Diam saja, Marvel kemudian menarik kursi dan menghempaskan pantatnya di sana. Menatap lekat kepada Salsa Kamila yang masih mengerutkan alis karena jengkel.“Marvel dengar, kesepakatan kita batal. Hutangmu tetap lima bel
**Inara meninggalkan rumah dengan rasa bersalah pagi ini. Kendati ia sudah menebusnya dengan menawarkan diri untuk mengambil alih mengantar kedua buah hatinya pergi sekolah sehingga Gavin bisa langsung berangkat ke kantor. Tentu saja sang suami sama sekali tidak menaruh curiga, sebab sepanjang pria itu mengenal sang istri, wanitanya itu sama sekali tidak pernah berdusta. Gavin mempercayai Inara sepenuhnya.“Apa nanti Mama juga akan jemput?” Aylin bertanya sementara Inara sedang berusaha fokus menyetir. Ah, benar. Inara juga memberanikan diri mengemudi mobil sendiri. Ia pikir kemampuan menyetirnya sudah banyak kemajuan dan bisa dibawa ke jalan raya sekarang.Perempuan itu memandang sekilas kepada sang putri melalui kaca spion.“Iya, Kak. Nanti Mama yang jemput.”“Aylin ada eks piano nanti, Ma. Al gimana?”“Nanti Mama jemput Al duluan, deh. Kakak pulang jam tiga sore, kan?”Bocah jelita itu mengangguk, dan Inara menanggapinya dengan senyum. Ia membayangkan mungkin akan menyenangkan jik
**Marvel membaringkan tubuh Inara di atas ranjang, setelah sampai di kamar lantai dua. Ledakan euforia seperti membuat pria itu nyaris membeku dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan sesudahnya, alih-alih segera bergerak. Hanya menatap sosok yang membuatnya setengah gila dengan pandangan kosong dan lapar.“Kita mulai dari mana dulu?” bisiknya dengan napas memburu. “Aku sudah menunggu hal ini terlalu lama, jadi sekarang aku bingung. Sebaiknya aku menikmatinya pelan-pelan saja.”Pria itu naik ke atas ranjang juga dan membungkuk di atas tubuh Inara yang hingga detik itu masih tertidur. Tangan gemetarnya terulur dan mencoba melepas kancing paling atas blus yang Inara kenakan. Setelah terbuka, tampak kulit putih halus mulus pada pangkal leher. Marvel seketika merasa kepalanya pening.“Apa aku harus merekam momen ini? Oh, benar, aku akan melakukannya pelan-pelan dan mengabadikannya dengan baik. Ini adalah hal yang aku tunggu-tunggu. Tunggu, mana ponselku?”Pria itu meraih ponsel di dalam