**Gavin menginjak pedal gas dalam-dalam dan membiarkan mobilnya melaju dengan kencang menuju panti asuhan, di mana Rendra berada saat ini. Kepalanya mendadak terasa begitu penuh sehingga ia tidak bisa memikirkan apapun lagi selain informasi yang barusan ia terima ; istrinya tidak ada di panti, padahal semalam perempuan itu pamit akan ke sana. Dan Inara tidak pernah dengan sengaja berbohong kepadanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sepanjang yang pria itu ingat.“Ke mana Inara pergi? Sial! Ponselnya masih nggak aktif!” Gavin menyetir sembari terus berusaha menghubungi Inara. Membuat fokusnya terbagi dan mau tak mau ia hampir menyerempet beberapa kendaraan lain di jalan. Menerima saja dengan besar hati makian para pengguna jalan yang nyaris ia celakai, Gavin tak sedikitpun menurunkan laju kendaraannya hingga tiba di panti tak lama setelah itu.“Apa maksudmu istriku nggak ke sini?” tuntutnya begitu turun dari dengan mobil dengan tergesa-gesa. Ia menunjuk Rendra yang menunggu di halam
**“Lepaskan aku, bajingan kau!”Inara sekuat tenaga mencoba menarik kedua tangannya yang dicengkeram erat oleh Marvel di kedua sisi tubuhnya. Tidak peduli dengan rasa perih sebab mungkin saja kulitnya lecet karena gesekan. Ia terus meronta dengan seluruh tubuh. Berusaha meloloskan diri dari iblis berwujud pria tampan itu.“Lepaskan aku! Lepaskan!”“Sayang–”“Diam! Manusia sepertimu nggak pantas memanggilku begitu! Kamu pikir dirimu siapa?”Marvel seketika terdiam. Kata-kata barusan menggores harga dirinya dengan telak. Ia menatap lurus kepada perempuan yang masih berada di bawah tubuhnya itu dengan pandangan gelap dan berkabut.“Aku memang bukan siapa-siapamu, Inara. Tapi bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa kepadamu. Aku ingin kamu, jadi aku harus mendapatkannya. Bagaimanapun caranya.”“Apa kamu sudah gila, Marvel?”“Ya, sudah. Kamu yang membuatku gila.”Inara reflek menahan napas ketika pria itu menunduk dan menyapukan bibir pada permukaan telinganya. Rasa hangat dan basa
**Gavin memelankan laju kendaraannya setelah selama satu jam penuh mengemudi berputar-putar di dalam kota. Rasa cemas, putus asa, dan khawatir berlebihan membuat fokusnya menurun hingga berkali-kali ia nyaris celaka dan bersinggungan dengan pengguna jalan yang lain.Pria itu lantas menepi ke halaman sebuah toko yang kosong dan berhenti di sana untuk menghela napas, sementara menatap kosong ke arah depan, di mana mobil-mobil berlalu lalang di batas senja.“Inara, tolong, di mana kamu berada, Sayang? Aku nggak akan marah dengan apapun alasanmu berbohong, tapi tolong kabari aku. Aku sangat khawatir.”Pria rupawan itu memejamkan mata sejenak, merasakan nyeri seperti menusuk hatinya. Ia benar-benar tidak bisa kehilangan Inara seperti ini.Sebelum Gavin kembali menginjak pedal gas untuk melanjutkan pencarian, ponselnya yang tergeletak di dalam glovebox berdering nyaring. Buru-buru ia meraihnya dan berharap itu adalah Inara, namun ternyata bukan. Rendra yang menelepon.“Ya, Ren? Kamu dapat
**Gavin mengusap wajahnya dengan kasar. Tubuhnya terasa lunglai sebab rasa takut, khawatir dan putus asa yang menjadi satu, tapi ia tahu, ia harus terus bergerak cepat untuk menyelamatkan sang istri.“Saya sudah menghubungi komandan yang waktu itu membantu kita menemukan Nona Aylin, Tuan. Beliau bilang akan segera bergerak. Anda tidak perlu khawatir.” Rendra berujar setelah menyelesaikan percakapan dengan ponselnya.“Terimakasih, Ren.”“Kita harus menunggu petugas kepolisian untuk bergerak, tapi saya rasa tidak ada salahnya memeriksa rekaman kamera pengawas di sekitar sini juga. Saya akan keluar sebentar. Anda bisa tetap di sini.”Gavin lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Ia merasa menjadi pecundang sebab dalam saat-saat seperti ini, justru Rendra yang lebih cekatan bergerak. Percayalah, rasa takut itu seperti melumpuhkan seluruh syaraf tubuh Gavin hingga kemampuan berpikirnya jauh berkurang. Ia ingin melakukan banyak hal dan bergerak cepat juga, tapi tubuhnya tidak bisa diajak bekerja
**“Satu jam?” Gavin bertanya kepada Rendra yang sedang berkutat dengan kemudi di sampingnya. Pertanyaan yang sesungguhnya retorik, sebab ia hanya sekedar memastikan bukannya benar-benar bertanya.“Cukupkah waktu satu jam perjalanan untuk menyelamatkan istriku, Ren? Dan bagaimana jika dia tidak berada di tempat yang sedang kita tuju ini?”“Kita sedang menuju ke tiga tempat sekaligus, Tuan. Dan Nona sudah pasti ada di salah satunya. Anda tidak boleh ragu dan harus memegang afirmasi ini. Kita akan menjemput Nona dalam keadaan selamat.”Gavin merasa dadanya sesak. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi, namun ia pikir benda ini tidak bergerak. Ingin rasanya menanamkan afirmasi seperti yang dikatakan Rendra barusan, namun begitu sulit. Pikiran buruk terus berkejaran menghantui pikirannya.“Kita sudah berada pada setengah perjalanan, Tuan. Sebentar lagi sampai.”Gavin bergeming mendengar informasi itu. Ia tidak begitu yakin, saat ini sedang menuju ke mana. Di luar hari sudah beranjak menggel
**Gavin menatap wajah pucat sang istri yang terbaring diam dengan mata terpejam di atas ranjang rumah sakit. Jemarinya bergerak pelan, mengeratkan genggaman kepada yang lebih muda. Memberikan rasa hangat kepada tangan Inara yang terasa dingin.“Tuan, anda bisa istirahat. Saya yang akan menggantikan menjaga Nona. Anda bisa tidur di sofa.” Rendra menawarkan dengan penuh simpati, namun Gavin hanya menggeleng. “Aku nggak apa-apa. Kamu saja yang istirahat.”“Tapi, Tuan–”“Aku akan panggil kamu kalau butuh sesuatu. Kamu bisa keluar dan istirahat sekarang. Kabari orang-orang kalau Inara dan aku baik-baik saja biar mereka nggak khawatir. Mami, Aldo, dan Bu Yanti.”“Akan saya kerjakan sekarang. Saya ada di luar kalau anda membutuhkan saya.” Rendra akhirnya mengangguk sebelum minta diri dan kembali keluar dari ruangan. Memberikan waktu dan tempat untuk Gavin berdua saja bersama sang istri yang belum sadarkan diri.Saat itu sudah nyaris tengah malam, setelah Inara ditemukan dalam keadaan yang
**“Meninggal dunia?” Gavin terbelalak, memandang sang bawahan yang baru saja datang, tanpa berkedip. “Apa katamu, Ren? Ulangi sekali lagi!”“Cedera otaknya terlalu parah. Saya mendapat kabar bahwa tengkoraknya sampai retak karena kerasnya benturan. Dia mengalami pendarahan hebat dan tidak bisa diselamatkan.”Gavin seketika bertukar pandang dengan Aldo. Teringat kata-kata iseng kakak iparnya itu kemarin, Gavin tidak tahu harus tertawa atau bersimpati saat ini.“Baiklah, jadi aku nggak perlu membantumu membunuhnya kalau begitu, Vin. Itu bagus kalau dia sudah mati dengan sendirinya, kan? Aku nggak perlu jadi kriminal.”Nah, untuk kali ini, Gavin benar-benar tertawa. “Aku anggap itu adalah bayaran yang setimpal untuk perbuatannya. Dan semoga dia masuk neraka.”“Apakah aku terlalu kejam kalau aku berkata amin?”Untuk pertama kalinya sejak dua puluh empat jam terakhir, Gavin merasa hatinya agak ringan. Bukannya ia jahat, –atau yeah, ia memang agak jahat– tapi ini adalah akhir yang memuask
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be
**Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen
**Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,
**“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S
**Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’
**“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl
**Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi
**“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be