**“Lepaskan aku, bajingan kau!”Inara sekuat tenaga mencoba menarik kedua tangannya yang dicengkeram erat oleh Marvel di kedua sisi tubuhnya. Tidak peduli dengan rasa perih sebab mungkin saja kulitnya lecet karena gesekan. Ia terus meronta dengan seluruh tubuh. Berusaha meloloskan diri dari iblis berwujud pria tampan itu.“Lepaskan aku! Lepaskan!”“Sayang–”“Diam! Manusia sepertimu nggak pantas memanggilku begitu! Kamu pikir dirimu siapa?”Marvel seketika terdiam. Kata-kata barusan menggores harga dirinya dengan telak. Ia menatap lurus kepada perempuan yang masih berada di bawah tubuhnya itu dengan pandangan gelap dan berkabut.“Aku memang bukan siapa-siapamu, Inara. Tapi bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa kepadamu. Aku ingin kamu, jadi aku harus mendapatkannya. Bagaimanapun caranya.”“Apa kamu sudah gila, Marvel?”“Ya, sudah. Kamu yang membuatku gila.”Inara reflek menahan napas ketika pria itu menunduk dan menyapukan bibir pada permukaan telinganya. Rasa hangat dan basa
**Gavin memelankan laju kendaraannya setelah selama satu jam penuh mengemudi berputar-putar di dalam kota. Rasa cemas, putus asa, dan khawatir berlebihan membuat fokusnya menurun hingga berkali-kali ia nyaris celaka dan bersinggungan dengan pengguna jalan yang lain.Pria itu lantas menepi ke halaman sebuah toko yang kosong dan berhenti di sana untuk menghela napas, sementara menatap kosong ke arah depan, di mana mobil-mobil berlalu lalang di batas senja.“Inara, tolong, di mana kamu berada, Sayang? Aku nggak akan marah dengan apapun alasanmu berbohong, tapi tolong kabari aku. Aku sangat khawatir.”Pria rupawan itu memejamkan mata sejenak, merasakan nyeri seperti menusuk hatinya. Ia benar-benar tidak bisa kehilangan Inara seperti ini.Sebelum Gavin kembali menginjak pedal gas untuk melanjutkan pencarian, ponselnya yang tergeletak di dalam glovebox berdering nyaring. Buru-buru ia meraihnya dan berharap itu adalah Inara, namun ternyata bukan. Rendra yang menelepon.“Ya, Ren? Kamu dapat
**Gavin mengusap wajahnya dengan kasar. Tubuhnya terasa lunglai sebab rasa takut, khawatir dan putus asa yang menjadi satu, tapi ia tahu, ia harus terus bergerak cepat untuk menyelamatkan sang istri.“Saya sudah menghubungi komandan yang waktu itu membantu kita menemukan Nona Aylin, Tuan. Beliau bilang akan segera bergerak. Anda tidak perlu khawatir.” Rendra berujar setelah menyelesaikan percakapan dengan ponselnya.“Terimakasih, Ren.”“Kita harus menunggu petugas kepolisian untuk bergerak, tapi saya rasa tidak ada salahnya memeriksa rekaman kamera pengawas di sekitar sini juga. Saya akan keluar sebentar. Anda bisa tetap di sini.”Gavin lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Ia merasa menjadi pecundang sebab dalam saat-saat seperti ini, justru Rendra yang lebih cekatan bergerak. Percayalah, rasa takut itu seperti melumpuhkan seluruh syaraf tubuh Gavin hingga kemampuan berpikirnya jauh berkurang. Ia ingin melakukan banyak hal dan bergerak cepat juga, tapi tubuhnya tidak bisa diajak bekerja
**“Satu jam?” Gavin bertanya kepada Rendra yang sedang berkutat dengan kemudi di sampingnya. Pertanyaan yang sesungguhnya retorik, sebab ia hanya sekedar memastikan bukannya benar-benar bertanya.“Cukupkah waktu satu jam perjalanan untuk menyelamatkan istriku, Ren? Dan bagaimana jika dia tidak berada di tempat yang sedang kita tuju ini?”“Kita sedang menuju ke tiga tempat sekaligus, Tuan. Dan Nona sudah pasti ada di salah satunya. Anda tidak boleh ragu dan harus memegang afirmasi ini. Kita akan menjemput Nona dalam keadaan selamat.”Gavin merasa dadanya sesak. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi, namun ia pikir benda ini tidak bergerak. Ingin rasanya menanamkan afirmasi seperti yang dikatakan Rendra barusan, namun begitu sulit. Pikiran buruk terus berkejaran menghantui pikirannya.“Kita sudah berada pada setengah perjalanan, Tuan. Sebentar lagi sampai.”Gavin bergeming mendengar informasi itu. Ia tidak begitu yakin, saat ini sedang menuju ke mana. Di luar hari sudah beranjak menggel
**Gavin menatap wajah pucat sang istri yang terbaring diam dengan mata terpejam di atas ranjang rumah sakit. Jemarinya bergerak pelan, mengeratkan genggaman kepada yang lebih muda. Memberikan rasa hangat kepada tangan Inara yang terasa dingin.“Tuan, anda bisa istirahat. Saya yang akan menggantikan menjaga Nona. Anda bisa tidur di sofa.” Rendra menawarkan dengan penuh simpati, namun Gavin hanya menggeleng. “Aku nggak apa-apa. Kamu saja yang istirahat.”“Tapi, Tuan–”“Aku akan panggil kamu kalau butuh sesuatu. Kamu bisa keluar dan istirahat sekarang. Kabari orang-orang kalau Inara dan aku baik-baik saja biar mereka nggak khawatir. Mami, Aldo, dan Bu Yanti.”“Akan saya kerjakan sekarang. Saya ada di luar kalau anda membutuhkan saya.” Rendra akhirnya mengangguk sebelum minta diri dan kembali keluar dari ruangan. Memberikan waktu dan tempat untuk Gavin berdua saja bersama sang istri yang belum sadarkan diri.Saat itu sudah nyaris tengah malam, setelah Inara ditemukan dalam keadaan yang
**“Meninggal dunia?” Gavin terbelalak, memandang sang bawahan yang baru saja datang, tanpa berkedip. “Apa katamu, Ren? Ulangi sekali lagi!”“Cedera otaknya terlalu parah. Saya mendapat kabar bahwa tengkoraknya sampai retak karena kerasnya benturan. Dia mengalami pendarahan hebat dan tidak bisa diselamatkan.”Gavin seketika bertukar pandang dengan Aldo. Teringat kata-kata iseng kakak iparnya itu kemarin, Gavin tidak tahu harus tertawa atau bersimpati saat ini.“Baiklah, jadi aku nggak perlu membantumu membunuhnya kalau begitu, Vin. Itu bagus kalau dia sudah mati dengan sendirinya, kan? Aku nggak perlu jadi kriminal.”Nah, untuk kali ini, Gavin benar-benar tertawa. “Aku anggap itu adalah bayaran yang setimpal untuk perbuatannya. Dan semoga dia masuk neraka.”“Apakah aku terlalu kejam kalau aku berkata amin?”Untuk pertama kalinya sejak dua puluh empat jam terakhir, Gavin merasa hatinya agak ringan. Bukannya ia jahat, –atau yeah, ia memang agak jahat– tapi ini adalah akhir yang memuask
**(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be
**Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k