**Inara meninggalkan rumah dengan rasa bersalah pagi ini. Kendati ia sudah menebusnya dengan menawarkan diri untuk mengambil alih mengantar kedua buah hatinya pergi sekolah sehingga Gavin bisa langsung berangkat ke kantor. Tentu saja sang suami sama sekali tidak menaruh curiga, sebab sepanjang pria itu mengenal sang istri, wanitanya itu sama sekali tidak pernah berdusta. Gavin mempercayai Inara sepenuhnya.“Apa nanti Mama juga akan jemput?” Aylin bertanya sementara Inara sedang berusaha fokus menyetir. Ah, benar. Inara juga memberanikan diri mengemudi mobil sendiri. Ia pikir kemampuan menyetirnya sudah banyak kemajuan dan bisa dibawa ke jalan raya sekarang.Perempuan itu memandang sekilas kepada sang putri melalui kaca spion.“Iya, Kak. Nanti Mama yang jemput.”“Aylin ada eks piano nanti, Ma. Al gimana?”“Nanti Mama jemput Al duluan, deh. Kakak pulang jam tiga sore, kan?”Bocah jelita itu mengangguk, dan Inara menanggapinya dengan senyum. Ia membayangkan mungkin akan menyenangkan jik
**Marvel membaringkan tubuh Inara di atas ranjang, setelah sampai di kamar lantai dua. Ledakan euforia seperti membuat pria itu nyaris membeku dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan sesudahnya, alih-alih segera bergerak. Hanya menatap sosok yang membuatnya setengah gila dengan pandangan kosong dan lapar.“Kita mulai dari mana dulu?” bisiknya dengan napas memburu. “Aku sudah menunggu hal ini terlalu lama, jadi sekarang aku bingung. Sebaiknya aku menikmatinya pelan-pelan saja.”Pria itu naik ke atas ranjang juga dan membungkuk di atas tubuh Inara yang hingga detik itu masih tertidur. Tangan gemetarnya terulur dan mencoba melepas kancing paling atas blus yang Inara kenakan. Setelah terbuka, tampak kulit putih halus mulus pada pangkal leher. Marvel seketika merasa kepalanya pening.“Apa aku harus merekam momen ini? Oh, benar, aku akan melakukannya pelan-pelan dan mengabadikannya dengan baik. Ini adalah hal yang aku tunggu-tunggu. Tunggu, mana ponselku?”Pria itu meraih ponsel di dalam
**Gavin menginjak pedal gas dalam-dalam dan membiarkan mobilnya melaju dengan kencang menuju panti asuhan, di mana Rendra berada saat ini. Kepalanya mendadak terasa begitu penuh sehingga ia tidak bisa memikirkan apapun lagi selain informasi yang barusan ia terima ; istrinya tidak ada di panti, padahal semalam perempuan itu pamit akan ke sana. Dan Inara tidak pernah dengan sengaja berbohong kepadanya untuk kepentingan dirinya sendiri, sepanjang yang pria itu ingat.“Ke mana Inara pergi? Sial! Ponselnya masih nggak aktif!” Gavin menyetir sembari terus berusaha menghubungi Inara. Membuat fokusnya terbagi dan mau tak mau ia hampir menyerempet beberapa kendaraan lain di jalan. Menerima saja dengan besar hati makian para pengguna jalan yang nyaris ia celakai, Gavin tak sedikitpun menurunkan laju kendaraannya hingga tiba di panti tak lama setelah itu.“Apa maksudmu istriku nggak ke sini?” tuntutnya begitu turun dari dengan mobil dengan tergesa-gesa. Ia menunjuk Rendra yang menunggu di halam
**“Lepaskan aku, bajingan kau!”Inara sekuat tenaga mencoba menarik kedua tangannya yang dicengkeram erat oleh Marvel di kedua sisi tubuhnya. Tidak peduli dengan rasa perih sebab mungkin saja kulitnya lecet karena gesekan. Ia terus meronta dengan seluruh tubuh. Berusaha meloloskan diri dari iblis berwujud pria tampan itu.“Lepaskan aku! Lepaskan!”“Sayang–”“Diam! Manusia sepertimu nggak pantas memanggilku begitu! Kamu pikir dirimu siapa?”Marvel seketika terdiam. Kata-kata barusan menggores harga dirinya dengan telak. Ia menatap lurus kepada perempuan yang masih berada di bawah tubuhnya itu dengan pandangan gelap dan berkabut.“Aku memang bukan siapa-siapamu, Inara. Tapi bukan berarti aku tidak bisa melakukan apa-apa kepadamu. Aku ingin kamu, jadi aku harus mendapatkannya. Bagaimanapun caranya.”“Apa kamu sudah gila, Marvel?”“Ya, sudah. Kamu yang membuatku gila.”Inara reflek menahan napas ketika pria itu menunduk dan menyapukan bibir pada permukaan telinganya. Rasa hangat dan basa
**Gavin memelankan laju kendaraannya setelah selama satu jam penuh mengemudi berputar-putar di dalam kota. Rasa cemas, putus asa, dan khawatir berlebihan membuat fokusnya menurun hingga berkali-kali ia nyaris celaka dan bersinggungan dengan pengguna jalan yang lain.Pria itu lantas menepi ke halaman sebuah toko yang kosong dan berhenti di sana untuk menghela napas, sementara menatap kosong ke arah depan, di mana mobil-mobil berlalu lalang di batas senja.“Inara, tolong, di mana kamu berada, Sayang? Aku nggak akan marah dengan apapun alasanmu berbohong, tapi tolong kabari aku. Aku sangat khawatir.”Pria rupawan itu memejamkan mata sejenak, merasakan nyeri seperti menusuk hatinya. Ia benar-benar tidak bisa kehilangan Inara seperti ini.Sebelum Gavin kembali menginjak pedal gas untuk melanjutkan pencarian, ponselnya yang tergeletak di dalam glovebox berdering nyaring. Buru-buru ia meraihnya dan berharap itu adalah Inara, namun ternyata bukan. Rendra yang menelepon.“Ya, Ren? Kamu dapat
**Gavin mengusap wajahnya dengan kasar. Tubuhnya terasa lunglai sebab rasa takut, khawatir dan putus asa yang menjadi satu, tapi ia tahu, ia harus terus bergerak cepat untuk menyelamatkan sang istri.“Saya sudah menghubungi komandan yang waktu itu membantu kita menemukan Nona Aylin, Tuan. Beliau bilang akan segera bergerak. Anda tidak perlu khawatir.” Rendra berujar setelah menyelesaikan percakapan dengan ponselnya.“Terimakasih, Ren.”“Kita harus menunggu petugas kepolisian untuk bergerak, tapi saya rasa tidak ada salahnya memeriksa rekaman kamera pengawas di sekitar sini juga. Saya akan keluar sebentar. Anda bisa tetap di sini.”Gavin lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Ia merasa menjadi pecundang sebab dalam saat-saat seperti ini, justru Rendra yang lebih cekatan bergerak. Percayalah, rasa takut itu seperti melumpuhkan seluruh syaraf tubuh Gavin hingga kemampuan berpikirnya jauh berkurang. Ia ingin melakukan banyak hal dan bergerak cepat juga, tapi tubuhnya tidak bisa diajak bekerja
**“Satu jam?” Gavin bertanya kepada Rendra yang sedang berkutat dengan kemudi di sampingnya. Pertanyaan yang sesungguhnya retorik, sebab ia hanya sekedar memastikan bukannya benar-benar bertanya.“Cukupkah waktu satu jam perjalanan untuk menyelamatkan istriku, Ren? Dan bagaimana jika dia tidak berada di tempat yang sedang kita tuju ini?”“Kita sedang menuju ke tiga tempat sekaligus, Tuan. Dan Nona sudah pasti ada di salah satunya. Anda tidak boleh ragu dan harus memegang afirmasi ini. Kita akan menjemput Nona dalam keadaan selamat.”Gavin merasa dadanya sesak. Mobil melaju dalam kecepatan tinggi, namun ia pikir benda ini tidak bergerak. Ingin rasanya menanamkan afirmasi seperti yang dikatakan Rendra barusan, namun begitu sulit. Pikiran buruk terus berkejaran menghantui pikirannya.“Kita sudah berada pada setengah perjalanan, Tuan. Sebentar lagi sampai.”Gavin bergeming mendengar informasi itu. Ia tidak begitu yakin, saat ini sedang menuju ke mana. Di luar hari sudah beranjak menggel
**Gavin menatap wajah pucat sang istri yang terbaring diam dengan mata terpejam di atas ranjang rumah sakit. Jemarinya bergerak pelan, mengeratkan genggaman kepada yang lebih muda. Memberikan rasa hangat kepada tangan Inara yang terasa dingin.“Tuan, anda bisa istirahat. Saya yang akan menggantikan menjaga Nona. Anda bisa tidur di sofa.” Rendra menawarkan dengan penuh simpati, namun Gavin hanya menggeleng. “Aku nggak apa-apa. Kamu saja yang istirahat.”“Tapi, Tuan–”“Aku akan panggil kamu kalau butuh sesuatu. Kamu bisa keluar dan istirahat sekarang. Kabari orang-orang kalau Inara dan aku baik-baik saja biar mereka nggak khawatir. Mami, Aldo, dan Bu Yanti.”“Akan saya kerjakan sekarang. Saya ada di luar kalau anda membutuhkan saya.” Rendra akhirnya mengangguk sebelum minta diri dan kembali keluar dari ruangan. Memberikan waktu dan tempat untuk Gavin berdua saja bersama sang istri yang belum sadarkan diri.Saat itu sudah nyaris tengah malam, setelah Inara ditemukan dalam keadaan yang