"Sami'na wa'ato'na, Bah, saya manut saja sama Abah," tegas Faqih. Bukan karena pasrah, tetapi yakin betul jika guru sudah meminta maka itu jawaban yang terbaik.Tanpa berpikir lagi, Faqih menyetujui meski tidak tahu siapa wanita yang akan dijodohkan. Namun, ia yakin jika pilihan sang guru tak mungkin salah."Alhamdulillah, kalo gitu besok kamu ikut Abah untuk melamar wanita itu."Faqih meneguk ludahnya kasar. Ia benar terkejut dan ia pikir ada jeda untuk mempersiapkan diri, tetapi ternyata Abah mengajaknya esok hari."Ba-baik, Bah." Faqih tersenyum samar, menutupi kegugupan yang ia rasakan. Sungguh, semua kabar yang diterima terlalu mengejutkan untuknya.Usai berbincang, Faqih pamit dan menyadarkan diri. Berharap semua tidaklah mimpi hingga mencubit lengannya sendiri dengan teriakan yang histeris."Aw," ringis Faqih."Kang, ngapain cubitin tangan sendiri?"Faqih tersentak saat seseorang melihatnya. Seketika kikuk dan salah tingkah, berarti dirinya sedang tidak bermimpi."Ah, tidak ada
Baca selengkapnya