Safa melenggang pergi dan menidurkan Zahra yang sudah terlelap pulas. Ia mengabaikan perkataan Azril seolah tak mendengar.“Lebih baik Mas mandi.” Safa mengingatkan.Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar mandi menyiapkan air untuk suaminya dan saat hendak keluar, Azril menghalangi jalannya.“Sayang, maafin aku,” desak Azril. “Aku akan melakukan apa pun agar kamu bisa maafin aku,” lanjutnya.Azril tidak bisa marah terlalu lama, apalagi Safa sangat berpengaruh untuknya. Seketika kedua alisnya terangkat seraya merapatkan kedua tangannya di depan Safa. Ia penuh mohon agar Safa mau memaafkan.“Hmm, Mas yakin mau melakukan apa saja?” Safa mengernyit tak percaya, lalu melangkah melewati Azril dengan wajah datar.“Iya, Sayang, aku yakin,” jawab Azril tegas.Senyum Safa pun menyeringai, otaknya berpikir penuh ide dan berlalu meninggalkan Azril tanpa kata. Sedangkan Azril yang dilema hanya terpaku memandang kepergian Safa.“Sayang!” teriak Azril gemas.Rasanya tak mudah untuk meminta maaf pada
Safa menjatuhkan air matanya yang teramat sakit. Azril yang selalu mendukung seolah berubah menjadi pengatur bahkan tak segan untuk memarahi.“Lantas seperti apa yang kamu inginkan dariku, Mas?” lirih Safa sendu menyembunyikan rasa sakit yang bergelora.“Aku mau kamu fokus merawat dan mengurusiku juga Zahra. Aku tidak suka kamu lalai dalam kewajibanmu. Aku seolah kehilangan Safa yang dulu,” ujar Azril jujur. Ia mengutarakan isi hatinya yang merasa kesepian.Safa terdiam sembari mengusap air matanya yang berjatuhan. Rasanya sangat tidak adil, dia ingin dilayani, tetapi tidak ada sikap timbal balik yang membuat Safa semangat menjalani hari.Bukan berarti Safa mengharapkan balasan, tetapi seharusnya dia juga sadar akan tugas seorang suami yang tidak hanya bekerja dan bertanggungjawab.“Aku juga nggak suka dengan sikapmu yang sekarang, Mas. Kamu suka marah-marah dan selalu bekerja sepanjang waktu. Apa pernah kamu menanyakan keluhanku setiap hari di rumah, enggak, ‘kan? Sadar, Mas, aku ini
"Oek ... Oek.""Zahra nangis, Mas," kata Safa langsung bangkit dan berjalan cepat menghampiri.Azril tercengang kala perkataannya diabaikan. Netranya pun mengikuti langkah Safa yang pergi menjauh. Ia mengusap wajah gusar karena lagi-lagi tak mendapat jawaban yang pasti.Menghela napas pasrah, Azril ikut bangkit dan merapikan sisa makanan yang berantakan di atas meja. Ia menyimpan piring kotor, lalu mencucinya.Melihat Safa yang belum juga keluar kamar, Azril segera menghampiri. Masih ada waktu menagih jawaban sebelum dirinya berangkat kerja."Sayang," rengek Azril manja bagai bayi yang kurang perhatian.Safa tetap fokus pada Zahra, apalagi bayi mungil itu sudah membuka matanya lebar sembari memainkan tangannya pada baju Safa bagian depan."Gimana?" tanya Azril duduk di samping Safa."Gimana apanya sih, Mas!" Safa pura-pura tidak tahu."Iya, itu, aku janji akan berubah dan kamu mau, 'kan kasih aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya?" Azril kembali mengulang pertanyaannya tadi.Safa
“Iya enggaklah, aneh lo,” kata Faqih menggertak. Kepalanya kembali memandang ke depan memerhatikan jalan.“Iya siapa tahu gitu. Secara lo sudah lama nggak bertemu Safa.” Radit masih penasaran bahkan dari wajahnya sedikit kentara jika pria itu masih memiliki rasa, walaupun tidak sebanyak dulu.Faqih pun menghela napas dan kepalanya kembali melirik Radit di samping. “Iya, tetapi bukan berarti gua masih cinta. Gua sudah menganggap Safa teman dan Azril sebagai saudara. Bahkan kita suka komunikasi.”Semua mengalir begitu saja dan Radit memang tidak mengetahui hal tersebut. Perpisahannya kemarin membuat Faqih fokus dan sama sekali sudah tak memiliki rasa kepada Safa.“Jangan sampai tuduhanmu terdengar Azril, bisa dicolok mata kau nanti,” ancam Faqih.Lagipula wajar jika setiap insan memiliki rasa cinta dan baginya Safa hanya kisah masa lalu yang memiliki kenangan tersendiri. Kini, ia akan menikah dan tak ingin menyakiti istrinya nanti.“Iya, iya sorry. Terus kita mau ke mana ini?” tanya Rad
Safa tak melarang kepergian Intan. Ia menemani dan melambaikan tangan saat dia pergi. Ada rasa bersalah juga kagum padanya.“Kamu dari mana?” tanya Azril melihat Safa dari luar.Safa sendiri mengerjap saat melihat suaminya berdiri di hadapan. Wajahnya datar dan menyodorkan kertas persegi panjang yang dipegangnya tanpa menjawab pertanyaan Azril.“Undangan? Dari siapa?” Azril mengernyit bingung.“Intan,” jawab Safa singkat.Azril tercengang kaget. Pasalnya, ia tidak melihat keberadaan wanita yang Safa maksud. Seketika panik dan langsung menanyakan serius pada Safa.“Apa dia menyakitimu?” Azril khawatir jika Intan berbuat sesuatu terhadap istrinya.Safa pun menggeleng. “Tidak, justru dia baik padaku.”Azril tak percaya. Wajahnya menatap bingung dan banyak pertanyaan dalam benaknya. Meski tujuan Intan ingin meminta maaf, tetapi sejak kapan wanita itu baik pada istrinya.“Dia sudah berubah dan kedatangannya hanya ingin meminta maaf sekaligus memberikan undangan pernikahan. Dia juga meminta
Di waktu yang tepat, tibalah mereka bertiga saling bercanda tanpa diperhatikan. Seketika Faqih melirik Azril dengan serius.“Kalian lagi bertengkar, ya?” tanya Faqih.Keadaan mendukungnya sehingga waktu magrib tiba sehingga Faqih dan Radit menumpang salat terlebih dahulu di masjid terdekat. Kebetulan, letaknya pun tak jauh dari rumah Azril.Azril diam seribu bahasa. Tidak ada yang bercerita, tetapi Faqih dapat menebaknya dengan benar, entah dari mana dia tahu.“Eng-enggak kata siapa,” kata Azril mengelak. Ia tidak ingin terlihat lemah apalagi sedih. Meski kenyataannya memang sedang bertengkar, tetapi berusaha mungkin agar tidak menceritakan kepada orang lain.“Bro, gua minta maaf kalo gua lancang, tetapi gua perhatiin tatapan lo sama Safa beda, tetapi jangan salah paham dulu. Gua bukan mau ikut campur, tetapi mau mengingatkan saja kalo wanita itu sensitif.”Faqih tidak menyudutkan, terlepas benar atau tidak biarkan menjadi urusan mereka. Ia hanya mengutarakan apa yang ia lihat.“Gua b
Pria itu tak menjawab, tetapi langsung mengambil ponsel dan jarinya berselancar cepat di atas layar. Sedangkan Safa hanya memandang bingung, entah apa yang dilakukan suaminya.“Halo, Bang. Kau benar akan menikah dengan Intan Kurnia Fitri?”Azril mengerjap saat mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Tenggorokannya tercekat seakan berhenti.[“Iya, Ril, memangnya ada apa? Azril?”]“Ah, tidak apa, Bang. Kalo gitu saya tutup dulu. Assalamualaikum.” Azril menutup ponselnya secara sepihak.Semua yang didengar terlalu mengejutkan. Dunia begitu sempit dan pria itu menghela napas untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.“Benar, Mas?” tanya Safa penasaran, sebab ia sangat hapal dengan nama Faqih.Azril pun mengangguk seiring senyum simpul Safa yang melebar. Tidak ada yang salah, jika sudah jodohnya takdir yang akan bergerak mempertemukan.“Ma syaa Allah, alhamdulillah. Ternyata orang dari masa laluku berjodoh dengan mantanmu, Mas,” ujar Safa terkekeh. Lucu rasanya dan tidak menyangka.“Dia b
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me