Di waktu yang tepat, tibalah mereka bertiga saling bercanda tanpa diperhatikan. Seketika Faqih melirik Azril dengan serius.“Kalian lagi bertengkar, ya?” tanya Faqih.Keadaan mendukungnya sehingga waktu magrib tiba sehingga Faqih dan Radit menumpang salat terlebih dahulu di masjid terdekat. Kebetulan, letaknya pun tak jauh dari rumah Azril.Azril diam seribu bahasa. Tidak ada yang bercerita, tetapi Faqih dapat menebaknya dengan benar, entah dari mana dia tahu.“Eng-enggak kata siapa,” kata Azril mengelak. Ia tidak ingin terlihat lemah apalagi sedih. Meski kenyataannya memang sedang bertengkar, tetapi berusaha mungkin agar tidak menceritakan kepada orang lain.“Bro, gua minta maaf kalo gua lancang, tetapi gua perhatiin tatapan lo sama Safa beda, tetapi jangan salah paham dulu. Gua bukan mau ikut campur, tetapi mau mengingatkan saja kalo wanita itu sensitif.”Faqih tidak menyudutkan, terlepas benar atau tidak biarkan menjadi urusan mereka. Ia hanya mengutarakan apa yang ia lihat.“Gua b
Pria itu tak menjawab, tetapi langsung mengambil ponsel dan jarinya berselancar cepat di atas layar. Sedangkan Safa hanya memandang bingung, entah apa yang dilakukan suaminya.“Halo, Bang. Kau benar akan menikah dengan Intan Kurnia Fitri?”Azril mengerjap saat mendengar jawaban dari lawan bicaranya. Tenggorokannya tercekat seakan berhenti.[“Iya, Ril, memangnya ada apa? Azril?”]“Ah, tidak apa, Bang. Kalo gitu saya tutup dulu. Assalamualaikum.” Azril menutup ponselnya secara sepihak.Semua yang didengar terlalu mengejutkan. Dunia begitu sempit dan pria itu menghela napas untuk mengambil oksigen sebanyak-banyaknya.“Benar, Mas?” tanya Safa penasaran, sebab ia sangat hapal dengan nama Faqih.Azril pun mengangguk seiring senyum simpul Safa yang melebar. Tidak ada yang salah, jika sudah jodohnya takdir yang akan bergerak mempertemukan.“Ma syaa Allah, alhamdulillah. Ternyata orang dari masa laluku berjodoh dengan mantanmu, Mas,” ujar Safa terkekeh. Lucu rasanya dan tidak menyangka.“Dia b
Wajah Safa sumringah saat sudah berada di depan rumah, tidak ada yang memberitahu mengenai kedatangannya. Ia sengaja ingin membuat surprise kepada Ayah.“Neng Safa. Ya Allah ini teh beneran Neng Safa?” kata Bi Inah saat membukakan pintu.Safa mengangguk tersenyum, lalu bersalaman dengan sopan. Rasanya rindu sekali sudah lama tak bertemu Bi Inah.“Ayo masuk, Neng, A. Kalian kenapa nggak bilang kalo mau datang,” ujar Bi Inah berjalan di samping Safa.“Dadakan, Bi. Mas Azril yang tadi pagi baru bilang.”Sang empu pun langsung merekahkan bibirnya merasa tersipu. Memang keinginannya seperti itu agar tidak merepotkan orang rumah.“Tapi kalian semua sehat toh?” tanya Bi Inah memastikan. “Ini Zahra makin gemas saja. Ma syaa Allah sekarang sudah besar, ya, Neng.”Bi Inah memerhatikan Zahra yang perkembangannya cukup pesat. Dari bayi Zahra memang sudah gemuk dan sekarang terlihat lebih sehat.“Alhamdulillah sehat, Bi. Iya, Zahra juga miminya kuat,” ujar Safa duduk. Matanya mengedar pandangan me
Mata Faqih membulat sempurna saat menatap sosok yang sudah lama tak dijumpainya. Memerhatikan dari atas hingga bawah tampak cantik nan menawan.“Welcome Gus Faqih.” Wanita itu tersenyum sembari merentangkan tangannya berjalan maju. Kemudian berpelukan yang melupakan statusnya sebagai istri.“Nduk, hargai suamimu,” kata Abah mengingatkan.Wanita muda itu pun langsung melepaskan tangannya, lalu melirik sang suami dengan tatapan datar. Ia lupa jika sudah beruami dan seharusnya bisa membatasi sikap terhadap Faqih, meskipun sepupunya sendiri.“Iya, Bah, maaf, lupa,” ujarnya sembari menggigit bibir bagian bawah.“Nak, kenalkan. Ini sepupu istrimu, keponakan Abah,” kata Abah memperkenalkan Faqih pada menantunya.“Ilham.”“Faqih.”Keduanya saling bersalaman dan Faqih menyambut dengan sopan. Pintar sekali adiknya memilih pendamping, tampan nan rupawan. Terlihat kalem dan saleh, berbeda dengan dia yang pecicilan.“Akhirnya Gus dingin menikah juga,” kekeh wanita muda yang duduk di hadapannya.Fa
Suasana pagi itu menjadi haru karena percakapan Marlan yang tiba-tiba. Mungkin karena rindu yang terpendam sehingga melihat Safa seakan menganggap sebagai pertemuan terakhir.“Nggak perlu menangis. Ayah baik-baik saja,” ujar Marlan tersenyum.Ia menenangkan putrinya mengingat usia yang terus bertambah dan kematian pun bisa kapan saja datang menghampiri.“Ayah pasti sehat dan bisa menemani Zahra sampai dewasa,” kata Safa menyemangati.Ia ingin bisa terus bersama sampai Zahra besar. Keduanya pun saling merengkuh dan tiba-tiba dikagetkan dengan suara salam seseorang yang membuat Safa tersadar.“Waalaikumussalam ... Finna!” Safa terkejut, ternyata kerabatnya yang datang.“Ah, sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat, ya?” tanya Finna tak enak hati. Melihat kebersamaan Safa dan ayahnya membuat ia rindu pada orang tuanya di kampung.Safa menggeleng, lalu tersenyum. Seketika Finna memberi salam kepada ayah Safa dengan sopan. Ia sengaja datang pagi karena memang ingin menghabiskan wakt
Hari berputar begitu cepat, kini Safa dan Azril sedang bersiap untuk menghadiri pernikahan para mantannya. Marlan juga sudah terlihat lebih segar dari hari kemarin dan Safa bersyukur semua bisa berkumpul dalam keadaan sehat.“Sudah rapi belum, Mas?” tanya Safa berdiri di hadapan Azril.“Sudah cantik, Sayang.” Bibir Azril merekah dan mencubit pipinya gemas. Tak lama, wajahnya mendekat maju, lalu mengecup keningnya sedikit lama.“Safa, ayo!”Safa mengerjap dan mendorong tubuh Azril menjauh. Suaminya itu terkadang tidak tahu tempat. Seketika wajahnya kikuk, melihat ke arah Ayah. Safa malu dan wajahnya bersemu merah.“Ayah sudah siap?”Sebenarnya tanpa ditanya, Safa sudah bisa melihat jika Ayah sudah rapi. Namun, karena kegugupannya sehingga pikirannya tak terkontrol lagi.Sedangkan Azril menahan senyum seakan tak bersalah dan Marlan justru ikut tersenyum membuat Safa semakin malu.“Ayo kita berangkat.” Safa membuyarkan rasa canggung yang ada. Tidak ingin kedua pria itu terus meledeknya k
Keesokan harinya, Safa dan Azril sudah melakukan aktivitas seperti biasa. Beruntungnya sekarang hari libur sehingga ada waktu untuk beristirahat setelah perjalanan kemarin.“Sayang, maksud dari Radit semalam itu siapa memang?” tanya Azril penasaran.Ia belum sempat bertanya karena rasa lelah yang menyerang dan Safa pun tidak bercerita lebih lanjut karena tertidur.“Oh, sepertinya Radit menyukai Finna, Mas.”Azril mengernyit bingung, dari mana dia mengetahui sahabat Safa. Padahal, Safa tidak pernah bercerita dan tampaknya Faqih sendiri tidak mengetahui banyak tentang pertemanan Safa.Namun, belum juga bertanya, Safa sudah lebih dulu memberitahu. Ia mengatakan jika Radit pernah bertemu dengan Finna saat mengantarkan undangan untuk Ayah ke rumah.“Oh, jadi ceritanya cinta pandangan pertama,” kata Azril menyimpulkan.“Hmm, mungkin, tetapi nggak ada salahnya kita bantu jodohkan mereka, Mas. Lagipula kayanya Radit pria yang baik.” Safa menerka. Selama mengenal, tidak ada tingkah yang membua
Mau tidak mau, Safa hanya pasrah dan menurut. Demi kebahagiaan suami tercinta, ia menyuapi Azril yang makan dengan lahap.Bayi besar yang manjanya melebihi Zahra, selalu merasa iri jika waktunya habis sama Zahra. Namun, Safa paham dan mengerti selagi permintaan Azril masih wajar.“Kamu sudah tahu kabar dari Ning Balqis belum?” tanya Azril.Safa menggeleng. memangnya ada kabar apa. Ia tidak mendapat kabar apa pun darinya. Mengingat sibuknya Safa sebagai ibu rumah tangga yang menyambi menulis.“Beliau akan mengadakan tasyakuran empat bulan dan aku diberitahu sama Amih tadi pagi. Kita diminta untuk pulang, acaranya minggu depan.”“Ma syaa Allah, Alhamdulillah. Penantian Mba Aqis, Mas. Aku malah nggak tahu karena jarang komunikasi juga sama Mba Aqis.” Safa ikut senang dan haru mendengarnya.Memiliki kesibukan menjadi seorang is