Semua Bab Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan: Bab 461 - Bab 470

525 Bab

S3| 149. Jangan Menyalahkan Diri Sendiri

Saat memasuki kamar, Nyonya Connor tercengang melihat tidak ada siapa pun di sana. Begitu ia menoleh ke sofa, barulah ia menemukan Ava sedang meringkuk di sana. Seketika, ingatannya tersedot ke masa lalu. Ava dulu sering begitu, tidur di sofa. Ia selalu melakukannya setiap habis bertengkar dengan Eva. "Ava?" Ava tersentak mendengar suara Nyonya Connor. Ia berbalik dan langsung bangkit duduk. "Ibu?" Dengan bola mata yang bergetar, Ava menaikkan pandangan. Di belakang kursi roda, Jeremy hanya memberi anggukan. Kemudian, pria itu menepuk pundak Nyonya Connor. "Kalau sudah selesai, mintalah Ava untuk memanggilku. Aku akan menunggu di bawah, bersama yang lain." Nyonya Connor mengangguk tipis. Setelah Jeremy keluar dan menutup pintu, tatapannya terkunci pada Ava. "Ibu?" Bola mata Ava bergerak-gerak kebingungan. "Kenapa Ibu naik ke sini?" "Kenapa kau tidur di sofa? Kenapa kau tidak berbaring di tempat tidur saja?" Ava mengerjap. Ia sendiri juga tidak mengerti alasannya. Tubuhnya lang
Baca selengkapnya

S3| 150. Posisi Sulit

Eva terduduk lesu di lantai ruang tamunya. Matanya yang bengkak sudah tidak menitikkan kesedihan. Namun, hidungnya masih kembang kempis mengimbangi deru napas yang sulit dipadamkan. "Butikku .... Impianku .... Harapanku ...." Ia mengelus satu-satunya figura yang masih utuh. Ada foto dirinya sedang menggunting pita di situ—momen saat peresmian butik barunya.Lengkung bibirnya begitu lebar dalam gambar itu. Sedangkan sekarang, wajahnya redup. Tidak ada sedikit pun cahaya terpancar dari sorot matanya. "Mengapa ini bisa terjadi padaku?" ratapnya seraya menggigit bibir. Getarannya terlalu hebat. Kalau saja air matanya belum habis, wajahnya pasti sudah kembali basah. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Semuanya sudah musnah. Butikku sudah tidak bersisa." Eva sudah seperti kaset rusak. Puluhan kali ia mengulang kata-kata tersebut. Namun, batinnya belum juga puas. Ia seolah berharap keajaiban datang memberinya jawaban. Dalam keheningan, Eva menggeser tetapan sendunya. Figura-figura lain
Baca selengkapnya

S3| 151. Mau Terus Bermain

Louis dan Emily tertawa-tawa di pangkuan Melanie. Mereka suka cara sang nenek membacakan dongeng. Suara nenek sihirnya begitu persis. "Ulangi lagi, Nek. Bagian ini." Emily meruncingkan telunjuk ke paragraf sebelumnya. Begitu Melanie selesai membaca, ia dan Louis kembali terkikik. Frank dan Kara geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka. "Anak-anak, apakah kalian masih belum mau pulang? Sebentar lagi jam makan malam. Kasihan Nenek Susan kalau makan sendirian di rumah." Louis menggeleng tanpa berpikir panjang. "Apakah Papa lupa? Ada Philip dan Bibi yang menemani Nenek Susan di rumah. Nenek Susan pasti tidak apa-apa kalau kita makan malam di sini." "Ya! Aku dan Louis mau menunggu kabar dari Paman Jeremy. Kami berharap Eva sudah tidak sedih dan mau berdamai dengan Ava." Emily mengangguk-angguk lucu. "Philip dan Barbara baru saja pergi. Sepertinya mereka mau makan malam di luar. Apakah kalian tega membiarkan Nenek Susan sendiri?" "Masih ada Nora dan yang lain, Papa. Nenek Susan tid
Baca selengkapnya

S3| 152. Dresscode Keren

"Aku sungguh tidak mengerti. Kenapa kita tidak boleh ikut dari awal acara? Kenapa kita baru dipanggil sekarang?" Louis berjalan di samping Emily dengan bibir mengerucut. Bukannya ikut cemberut, Emily malah tertawa kecil. "Jangan marah, Louis. Kita hanya melewatkan 15 menit." "Banyak hal yang bisa terjadi dalam 15 menit, Emily. Kita bisa saja sudah ketinggalan banyak hal." "Mungkin itu acara orang dewasa. Kita tidak boleh ikut karena kita masih kecil." Louis mendengus berat. "Kalau begini, aku jadi tidak sabar ingin cepat-cepat dewasa. Dengan begitu, tidak akan ada yang bisa melarang kita lagi. Kita bisa ikut semua acara." "Jangan berkata begitu, Louis. Kata Mama, kita harus menikmati hidup. Fokus saja pada apa yang sedang terjadi sekarang. Nikmati masa kecil kita. Karena nanti kalau kita sudah tua, kita bisa saja merindukan masa-masa sekarang." Louis menyipitkan mata dan melirik sang adik. "Kau tahu? Terkadang aku berpikir kalau kau sudah dewasa. Cara bicaramu sudah seperti orang
Baca selengkapnya

S3| 153. Bukan Penyusup

"Nyonya Moore kelelahan. Dia memintamu untuk menjemputnya dengan kursi roda." Louis terus mengulang kalimat tersebut selama berjalan. Langkah kakinya cepat. Entah karena takut lupa atau tidak sabar ingin melihat pesta. Namun, ketika ia melewati ruang tengah, seseorang memanggilnya dari arah sofa. "Louis, kau baru mau pergi ke pesta?" Bryan menyimpan ponsel yang ia mainkan sejak tadi lalu beranjak berdiri. Melihat pria yang ia cari, mata Louis membulat. "Bryan, kenapa kamu di sini? Bukankah kamu seharusnya bersenang-senang bersama yang lain?" "Aku ada sedikit urusan." Bryan menunjukkan ponselnya. "Tapi sekarang sudah selesai. Kau mau pergi ke pesta bersamaku?" Louis mengangguk. Dengan lengkung bibir kecil, ia meraih uluran tangan pria itu. "Apakah pestanya keren?" Ia mendongak sambil berjalan mengikuti Bryan. "Ya, itu agak unik. Baru kali ini aku melihat konsep bachelor party yang semacam itu." Dahi Louis mengernyit. "Apa yang berbeda?" "Bachelor party biasanya identik dengan ke
Baca selengkapnya

S3| 154. First Look

Bryan berdeham memecah kecanggungan. "Apakah kau baik-baik saja?" Abigail berkedip-kedip dan tertunduk. Tangannya tanpa sadar mencengkeram ponsel lebih erat. "Ya. Aku masih bisa bernapas." Nada bicarnya seolah tak acuh. "Bagaimana dengan ponselmu?" Abigail memeriksa gadgetnya sekilas. "Tidak apa-apa. Masih menyala." Bryan termenung. Ia tahu ada retakan di situ. "Maaf. Aku tidak tahu kalau kau berada di pihak keluarga Harper. Kukira kau musuh." Abigail mengangguk kaku. "Aku juga meminta maaf. Aku tidak seharusnya menuduhmu penyusup." Abigail masih menghindar dari tatapan Bryan. Hal itu membuat beban dalam hati Bryan tak kunjung berkurang. "Aku tidak tahu kau seorang wanita saat merobohkanmu tadi. Aku tidak punya maksud lain saat menekan dadamu. Itu hanya refleks untuk melumpuhkan musuh." Napas Abigail sontak tertahan. Matanya melebar, seluruf sarafnya menegang. Bisa-bisanya Bryan mengatakan itu secara terang-terangan? "Maaf, aku tidak mengerti apa maksudmu. Kapan kau pernah me
Baca selengkapnya

S3| 155. Selamat Atas Pernikahan Kalian

Sambil tersenyum manis, Emily dan Louis berjalan menuju tirai kristal. Tangan mereka terus memencet-mencet pistol, mengeluarkan gelembung-gelembung yang memantulkan warna kemerahan langit senja. Saking fokusnya dengan bola-bola tipis itu, langkah mungil mereka menjadi tidak stabil. Terkadang melambat, terkadang miring sehingga mereka hampir bertabrakan. Semua orang mengulum senyum menyaksikannya. "Apakah dulu mereka semanis itu saat berjalan di pernikahan kita?" Kara mencondongkan tubuhnya ke arah Frank. Tangannya yang menekan dada sang pria terasa hangat. Sambil tersenyum, Frank mengusap lengan istrinya. "Ya, mereka semanis itu. Tapi kurasa, Barbara tidak secantik kamu." Kara memicingkan mata dengan raut jenaka. "Jangan sampai Barbara mendengar itu, Frank. Dia bisa cemberut." Frank tertawa tanpa suara. "Dia sudah dewasa. Hari ini, dia akan mulai berkeluarga. Dia seharusnya sudah tidak terpengaruh oleh hal-hal seperti itu, Ratu Lebah." "Tapi jangan coba-coba mengujinya," bisik Ka
Baca selengkapnya

S3| 156. Musuh Datang

"Emily, bisakah kamu berhenti merapat padaku? Aku mulai berkeringat karena kamu menempel terus." Louis melonggarkan dasi kupu-kupunya. Mendengar bisikan tersebut, Emily mencebik. Tangannya enggan melepas lengan Louis. Alisnya mengharapkan iba. "Tapi aku takut, Louis. Kita tidak tahu yang mana penjahatnya. Dia bisa saja ada di dekat kita." "Ya, tapi kita bersama banyak orang di sini, dan ada banyak pengawal. Apa yang kamu takutkan?" Emily melirik sekeliling. Seluruh pelayan sedang berbaris. Wajah mereka penuh kerutan, apalagi saat Frank dan Jeremy menghampiri. Di sisi lain, orang-orang duduk dengan raut sama. Beberapa merapatkan tangan, berdoa, berharap pelaku yang menyekap seorang pelayan dalam ruang janitor dan merampas seragamnya cepat tertangkap. Hanya ada satu orang yang tidak bisa berhenti mengomel—si pengantin wanita. "Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan? Apakah tim keamanan tidak bekerja dengan benar? Tim pengawas juga seharusnya tidak lengah. Kalau perlu, mereka jangan
Baca selengkapnya

S3| 157. Bukan Sahabat

Melihat Hailey pergi ke ruang ganti, mata Emily membulat. "Kenapa Nenek Melanie mengizinkan Hailey menemui Bibi?" Suara kecilnya terdengar khawatir. Pipi Louis pun menggembung. "Aku tidak tahu, tapi dia pasti berniat untuk mengganggu Bibi." Sedetik kemudian, ia menatap Emily lekat-lekat. "Ini gawat Emily. Bibi sedang dalam bahaya. Kita harus menyelamatkannya!" Alis Emily langsung berkerut tak sepakat. "Ada pengawal yang mengiringi Hailey, Louis. Ada Philip juga di ruang ganti. Hailey tidak mungkin bisa menyakiti Bibi. Kurasa ini bukan urusan kita, Louis." "Tapi fokus mereka adalah melindungi Bibi dari penjahat, bukan Hailey. Buktinya, Papa dan Nenek membiarkan Hailey lewat. Hanya kita yang bisa menghentikan Hailey!" Tiba-tiba, Louis melompat turun dari kursi. Emily berkedip-kedip melihatnya. "Aku akan pergi menyelamatkan Bibi. Kamu mau ikut atau tidak?" Emily menggamit jemarinya sendiri. "Bukankah itu berbahaya, Louis? Papa meminta kita semua untuk tetap di ruangan ini." "Kamu s
Baca selengkapnya

S3| 158. Apakah Dia Mati?

"No!" Jemari Hailey mekar beberapa senti di depan pipi. Sorot matanya ngeri, seperti sedang melihat penampakan hantu di cermin. Semua orang kompak mengerutkan alis. Tidak seorang pun berani mendekat, kecuali Barbara. Ia menyentuh pundak Hailey, bertanya, "Ada apa, Hailey?" Saat gadis itu berbalik, Barbara terkesiap. Kakinya spontan melangkah mundur, seolah tak ingin tertular. "Ada apa dengan wajahmu?" "Akulah yang seharusnya bertanya! Ada apa dengan wajahku? Kenapa kulitku jadi begini?" Hailey berbalik menghadap cermin. Ia meraih tisu dan menggosok pipi. Sedetik kemudian, ia meringis. "Auh, perih sekali ...." Sambil mengipas-ngipasi wajah, Hailey mulai menangis. Melihat itu, Philip pun menarik tisu dan memungut kotak bedak. "Ini merkuri," gumamnya setelah mengamati dengan teliti. Semua orang terkesiap. "Merkuri? Bagaimana mungkin? Bedak itu masih disegel tadi," celetuk salah seorang dari tim make up. "Lalu apa yang harus kulakukan dengan wajahku? Kalian harus bertanggung jawab!
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
4546474849
...
53
DMCA.com Protection Status