Hai, hai! Semoga kalian suka bab ini, ya. Terima kasih sudah membacaaaa.
"Emily, bisakah kamu berhenti merapat padaku? Aku mulai berkeringat karena kamu menempel terus." Louis melonggarkan dasi kupu-kupunya. Mendengar bisikan tersebut, Emily mencebik. Tangannya enggan melepas lengan Louis. Alisnya mengharapkan iba. "Tapi aku takut, Louis. Kita tidak tahu yang mana penjahatnya. Dia bisa saja ada di dekat kita." "Ya, tapi kita bersama banyak orang di sini, dan ada banyak pengawal. Apa yang kamu takutkan?" Emily melirik sekeliling. Seluruh pelayan sedang berbaris. Wajah mereka penuh kerutan, apalagi saat Frank dan Jeremy menghampiri. Di sisi lain, orang-orang duduk dengan raut sama. Beberapa merapatkan tangan, berdoa, berharap pelaku yang menyekap seorang pelayan dalam ruang janitor dan merampas seragamnya cepat tertangkap. Hanya ada satu orang yang tidak bisa berhenti mengomel—si pengantin wanita. "Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan? Apakah tim keamanan tidak bekerja dengan benar? Tim pengawas juga seharusnya tidak lengah. Kalau perlu, mereka jangan
Melihat Hailey pergi ke ruang ganti, mata Emily membulat. "Kenapa Nenek Melanie mengizinkan Hailey menemui Bibi?" Suara kecilnya terdengar khawatir. Pipi Louis pun menggembung. "Aku tidak tahu, tapi dia pasti berniat untuk mengganggu Bibi." Sedetik kemudian, ia menatap Emily lekat-lekat. "Ini gawat Emily. Bibi sedang dalam bahaya. Kita harus menyelamatkannya!" Alis Emily langsung berkerut tak sepakat. "Ada pengawal yang mengiringi Hailey, Louis. Ada Philip juga di ruang ganti. Hailey tidak mungkin bisa menyakiti Bibi. Kurasa ini bukan urusan kita, Louis." "Tapi fokus mereka adalah melindungi Bibi dari penjahat, bukan Hailey. Buktinya, Papa dan Nenek membiarkan Hailey lewat. Hanya kita yang bisa menghentikan Hailey!" Tiba-tiba, Louis melompat turun dari kursi. Emily berkedip-kedip melihatnya. "Aku akan pergi menyelamatkan Bibi. Kamu mau ikut atau tidak?" Emily menggamit jemarinya sendiri. "Bukankah itu berbahaya, Louis? Papa meminta kita semua untuk tetap di ruangan ini." "Kamu s
"No!" Jemari Hailey mekar beberapa senti di depan pipi. Sorot matanya ngeri, seperti sedang melihat penampakan hantu di cermin. Semua orang kompak mengerutkan alis. Tidak seorang pun berani mendekat, kecuali Barbara. Ia menyentuh pundak Hailey, bertanya, "Ada apa, Hailey?" Saat gadis itu berbalik, Barbara terkesiap. Kakinya spontan melangkah mundur, seolah tak ingin tertular. "Ada apa dengan wajahmu?" "Akulah yang seharusnya bertanya! Ada apa dengan wajahku? Kenapa kulitku jadi begini?" Hailey berbalik menghadap cermin. Ia meraih tisu dan menggosok pipi. Sedetik kemudian, ia meringis. "Auh, perih sekali ...." Sambil mengipas-ngipasi wajah, Hailey mulai menangis. Melihat itu, Philip pun menarik tisu dan memungut kotak bedak. "Ini merkuri," gumamnya setelah mengamati dengan teliti. Semua orang terkesiap. "Merkuri? Bagaimana mungkin? Bedak itu masih disegel tadi," celetuk salah seorang dari tim make up. "Lalu apa yang harus kulakukan dengan wajahku? Kalian harus bertanggung jawab!
"Papa, apakah telah terjadi sesuatu kepada Mama? Kenapa Mama tidak menjawab?" Emily kembali mencebik. Tangannya mencengkeram jas Jeremy lebih kuat. Louis ikut mencebik. Kedua tangannya terkepal di depan perut. Pandangannya terangkat, menanti jawaban dari sang ayah. Namun, Frank tidak menjawab. Tangannya terangkat menuju pintu. Tepat ketika ia hendak membenturkan buku jari, pintu berayun ke arah dalam. Sedetik kemudian, Kara muncul sambil bersenandung. Ia tersentak saat mendapati keberadaan sang suami. "Oh, Frank? Kenapa kau di sini?" "Kau baik-baik saja?" Frank memegangi kedua lengannya, bertanya dengan nada serius. Namun, Kara malah terkekeh. Tangannya mengelus-elus perut. "Sepertinya aku perlu makan lebih banyak sayur. Aku takut kalau si Kecil yang keluar. Aku jadi ragu-ragu mau mengejan." "Kalau Mama baik-baik saja, kenapa Mama tidak menjawab saat Papa memanggil?" Kara menurunkan pandangan. Matanya membulat menyadari keberadaan Louis di samping sang suami. "Madu Kecil? Kena
"Sambungkan aku dengan Eva!" Patricia mengulurkan tangan. Asistennya cepat-cepat menghubungi nomor Eva dan menyerahkan ponselnya. "Kupikir aku tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau menghubungiku?" Patricia sama sekali tidak terdengar ramah. Namun, Eva membalasnya dengan santai. "Selamat malam, Nyonya Moore. Maaf mengganggu waktu Anda. Aku punya penawaran khusus. Bukankah kita masih berada di pihak yang sama?" Sebelah alis Patricia berkerut. "Kau pikir begitu?" "Aku tidak munafik. Aku memang sempat marah kepada Anda. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku sadar. Kebakaran di butikku adalah konsekuensi karena aku telah mengecewakan Anda." Bibir Patricia mengerucut. "Lalu?" "Aku sadar bahwa musuh kitalah yang patut disalahkan. Ava Connor, Jeremy Harper, bocah-bocah nakal itu. Butikku tentu masih utuh kalau mereka tidak menyandungku. Karena itu, aku berniat menghancurkan mereka." Sebelah sudut bibir Patricia terangkat tipis. "Apa hubungannya itu denganku? Dendammu adalah urusanmu."
Sambil melihat-lihat daftar rekaman suara, Frank bergumam, "Ya, Papa rasa tidak ada salahnya menggunakan trik musuh untuk serangan balik. Eva sudah pernah berada di dalam benteng mereka. Dia tahu lebih jelas di mana celahnya. Untuk itu, terima kasih, Nona Connor." "Jadi Eva sekarang orang baik? Dia bukan lagi musuh kita?" Mata Emily membulat. Tiba-tiba saja, Louis melangkah maju dan menyodorkan tangannya. "Maafkan aku, Eva. Tadi aku mengira kalau kau adalah musuh. Kalau saja aku tahu kau telah menjadi teman, aku tidak akan menodongmu dengan senjata." Dengan senyum miring, Eva menatap Louis. "Kau tidak takut bersalaman denganku? Bagaimana kalau aku menarikmu dan melakukan sesuatu yang buruk?" "Kalau itu terjadi, maka kau akan langsung menggelepar dan pingsan. Aku masih memegang senjata, kau ingat? Jangan macam-macam denganku." Louis memperlihatkan pistolnya di samping kepala. Tawa kecil pun lolos dari mulut Eva. Ia menyalami Louis lalu mengedarkan pandangan kepada orang-orang yang
Patricia tercengang melihat beberapa petugas kepolisian turun dari mobil. Mulutnya membuka dan menutup, berusaha mengekspresikan keterkejutan. "Apa-apaan ini? Apa yang mereka lakukan di rumahku?" "Anda sudah tidak bisa mengelak lagi, Nyonya Moore. Semua bukti sudah jelas." Frank tersenyum penuh kemenangan. Sedetik kemudian, kamera bergeser, menampilkan seorang pria berjas dengan lencana polisi di tangannya. "Selamat malam, Nyonya Patricia Moore. Kami dari kepolisian telah menerima banyak pengaduan tentang Anda. Anda dituduh melakukan penculikan, pelanggaran privasi, pengrusakan bangunan, serta perencanaan pembunuhan. Petugas kami datang untuk menahan Anda." Napas Patricia bergemuruh hebat. Pundaknya gemetar, memunculkan guratan merah pada matanya. "Tidak! Semua tuduhan itu tidak benar. Bukti yang kalian kumpulkan itu palsu. Kalian mengada-ada!" "Serahkan diri Anda—" Patricia mematikan telepon dan melempar ponsel ke lantai. Benda malang itu seketika hancur berserakan. "Kurang aj
Melihat para tamu menghadap belakang, semua orang berhenti berdansa. Penasaran, Frank memimpin jalan menerobos kerumunan. "Ada apa ini?" Mendapati Ava yang sedang mengelap mulut dan keadaan lantai yang kotor, semua orang terbelalak. "Apa yang terjadi?" Frank menghampiri Jeremy. Setelah mendudukkan Ava ke kursi, Jeremy menyodorkan sapu tangan kepada sang kekasih. "Aku juga tidak mengerti. Tadi Ava bilang kepalanya pusing. Lalu aku memberinya air. Setelah minum, dia malah mual. Belum sampai toilet, dia sudah terlanjur muntah," terangnya kemudian. Tiba-tiba saja, Louis terkesiap. "Apakah Ava keracunan? Air apa yang diminumnya tadi?" "Kurasa Ava bukan keracunan, Louis. Aku mengambilkan gelas baru untuknya. Kalau air di dispenser itu beracun, para tamu juga pasti sudah muntah." Jeremy menunjuk wadah tempat ia mengambil air tadi. Diam-diam, Emily melirik Eva. Alis tipisnya berkerut. "Kurasa, Ava tidak keracunan. Eva adalah orang baik sekarang. Dia tidak mungkin meracuni siapa-siapa.
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum