Halo, halo ..... Maaf, Teman-Teman, hari ini Pixie lagi kurang fit. Pixie belum tahu nanti siang bisa update atau enggak. Pixie usahakan, ya. Tapi kalau enggak ada update, tolong jangan marah. Hehe .... Sehat-sehat terus kaliaaan!
"Papa, apakah telah terjadi sesuatu kepada Mama? Kenapa Mama tidak menjawab?" Emily kembali mencebik. Tangannya mencengkeram jas Jeremy lebih kuat. Louis ikut mencebik. Kedua tangannya terkepal di depan perut. Pandangannya terangkat, menanti jawaban dari sang ayah. Namun, Frank tidak menjawab. Tangannya terangkat menuju pintu. Tepat ketika ia hendak membenturkan buku jari, pintu berayun ke arah dalam. Sedetik kemudian, Kara muncul sambil bersenandung. Ia tersentak saat mendapati keberadaan sang suami. "Oh, Frank? Kenapa kau di sini?" "Kau baik-baik saja?" Frank memegangi kedua lengannya, bertanya dengan nada serius. Namun, Kara malah terkekeh. Tangannya mengelus-elus perut. "Sepertinya aku perlu makan lebih banyak sayur. Aku takut kalau si Kecil yang keluar. Aku jadi ragu-ragu mau mengejan." "Kalau Mama baik-baik saja, kenapa Mama tidak menjawab saat Papa memanggil?" Kara menurunkan pandangan. Matanya membulat menyadari keberadaan Louis di samping sang suami. "Madu Kecil? Kena
"Sambungkan aku dengan Eva!" Patricia mengulurkan tangan. Asistennya cepat-cepat menghubungi nomor Eva dan menyerahkan ponselnya. "Kupikir aku tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau menghubungiku?" Patricia sama sekali tidak terdengar ramah. Namun, Eva membalasnya dengan santai. "Selamat malam, Nyonya Moore. Maaf mengganggu waktu Anda. Aku punya penawaran khusus. Bukankah kita masih berada di pihak yang sama?" Sebelah alis Patricia berkerut. "Kau pikir begitu?" "Aku tidak munafik. Aku memang sempat marah kepada Anda. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku sadar. Kebakaran di butikku adalah konsekuensi karena aku telah mengecewakan Anda." Bibir Patricia mengerucut. "Lalu?" "Aku sadar bahwa musuh kitalah yang patut disalahkan. Ava Connor, Jeremy Harper, bocah-bocah nakal itu. Butikku tentu masih utuh kalau mereka tidak menyandungku. Karena itu, aku berniat menghancurkan mereka." Sebelah sudut bibir Patricia terangkat tipis. "Apa hubungannya itu denganku? Dendammu adalah urusanmu."
Sambil melihat-lihat daftar rekaman suara, Frank bergumam, "Ya, Papa rasa tidak ada salahnya menggunakan trik musuh untuk serangan balik. Eva sudah pernah berada di dalam benteng mereka. Dia tahu lebih jelas di mana celahnya. Untuk itu, terima kasih, Nona Connor." "Jadi Eva sekarang orang baik? Dia bukan lagi musuh kita?" Mata Emily membulat. Tiba-tiba saja, Louis melangkah maju dan menyodorkan tangannya. "Maafkan aku, Eva. Tadi aku mengira kalau kau adalah musuh. Kalau saja aku tahu kau telah menjadi teman, aku tidak akan menodongmu dengan senjata." Dengan senyum miring, Eva menatap Louis. "Kau tidak takut bersalaman denganku? Bagaimana kalau aku menarikmu dan melakukan sesuatu yang buruk?" "Kalau itu terjadi, maka kau akan langsung menggelepar dan pingsan. Aku masih memegang senjata, kau ingat? Jangan macam-macam denganku." Louis memperlihatkan pistolnya di samping kepala. Tawa kecil pun lolos dari mulut Eva. Ia menyalami Louis lalu mengedarkan pandangan kepada orang-orang yang
Patricia tercengang melihat beberapa petugas kepolisian turun dari mobil. Mulutnya membuka dan menutup, berusaha mengekspresikan keterkejutan. "Apa-apaan ini? Apa yang mereka lakukan di rumahku?" "Anda sudah tidak bisa mengelak lagi, Nyonya Moore. Semua bukti sudah jelas." Frank tersenyum penuh kemenangan. Sedetik kemudian, kamera bergeser, menampilkan seorang pria berjas dengan lencana polisi di tangannya. "Selamat malam, Nyonya Patricia Moore. Kami dari kepolisian telah menerima banyak pengaduan tentang Anda. Anda dituduh melakukan penculikan, pelanggaran privasi, pengrusakan bangunan, serta perencanaan pembunuhan. Petugas kami datang untuk menahan Anda." Napas Patricia bergemuruh hebat. Pundaknya gemetar, memunculkan guratan merah pada matanya. "Tidak! Semua tuduhan itu tidak benar. Bukti yang kalian kumpulkan itu palsu. Kalian mengada-ada!" "Serahkan diri Anda—" Patricia mematikan telepon dan melempar ponsel ke lantai. Benda malang itu seketika hancur berserakan. "Kurang aj
Melihat para tamu menghadap belakang, semua orang berhenti berdansa. Penasaran, Frank memimpin jalan menerobos kerumunan. "Ada apa ini?" Mendapati Ava yang sedang mengelap mulut dan keadaan lantai yang kotor, semua orang terbelalak. "Apa yang terjadi?" Frank menghampiri Jeremy. Setelah mendudukkan Ava ke kursi, Jeremy menyodorkan sapu tangan kepada sang kekasih. "Aku juga tidak mengerti. Tadi Ava bilang kepalanya pusing. Lalu aku memberinya air. Setelah minum, dia malah mual. Belum sampai toilet, dia sudah terlanjur muntah," terangnya kemudian. Tiba-tiba saja, Louis terkesiap. "Apakah Ava keracunan? Air apa yang diminumnya tadi?" "Kurasa Ava bukan keracunan, Louis. Aku mengambilkan gelas baru untuknya. Kalau air di dispenser itu beracun, para tamu juga pasti sudah muntah." Jeremy menunjuk wadah tempat ia mengambil air tadi. Diam-diam, Emily melirik Eva. Alis tipisnya berkerut. "Kurasa, Ava tidak keracunan. Eva adalah orang baik sekarang. Dia tidak mungkin meracuni siapa-siapa.
"Philip, tunggu." Barbara menekan dada sang suami dengan raut panik. "Tolong jangan terburu-buru. Kita banyak bergerak tadi. Badanku lengket. Kita harus mandi dulu." Alis Philip mendesak dahi. "Kau mau kita melakukannya di kamar mandi?" Ia berbelok menuju sebuah pintu. Barbara kembali menekan dadanya. Kali ini, disertai tepukan ringan. "Bukan itu maksudku." Sambil agak tertunduk, Barbara menatap Philip malu-malu. "Maksudku, kau mandi saja dulu. Aku masih harus membersihkan make up-ku. Setelah aku mandi—" "Baru kita melakukannya?" Philip tersenyum miring. Pipi Barbara tidak bisa lagi bertambah panas. Baru ditatap seperti itu saja, dirinya sudah lemas, apalagi .... Barbara menggeleng-geleng, mengusir pikiran kotor dari kepalanya. "Ya, mari melakukannya setelah kita berdua bersih dan segar." Philip mengulum senyum. Dengan lembut, ia menurunkan Barbara. "Aku tidak akan lama." Barbara menelan ludah. Selang satu kedipan, ia buru-buru mengangguk. "Ya." Begitu Philip memasuki kamar m
"Philip, apakah kau marah padaku?" Suara Barbara lirih. Philip menoleh ke belakang. Pundaknya berputar sedikit. Alisnya terangkat ringan. "Marah? Tidak. Kenapa kau bertanya begitu?" Barbara tertunduk. "Maaf kalau kau harus memiliki istri yang pengecut sepertiku." Philip buru-buru duduk. Tangannya memegangi pundak Barbara. "Jangan berkata begitu. Setiap orang punya kelemahan ataupun ketakutan. Kau takut darah, kau takut sakit. Itu wajar." "Tapi kau tidak punya ketakutan. Aku seharusnya menjadi istri yang sepadan bagimu." Melihat bagaimana Barbara mengintip dari bayang-bayang wajah murungnya, Philip mendesah samar. "Siapa bilang aku tidak kenal takut?" Barbara tertunduk lebih dalam. "Kau bahkan berani melompat dari pesawat. Apa ada hal lain yang lebih menyeramkan dari itu?" "Tentu saja ada. Aku takut kehilangan kamu. Hidup tanpa kamu di sisiku jauh lebih mengerikan daripada melompat dari pesawat tanpa parasut." Barbara kembali menyudutkan bola matanya ke atas. Melihat senyum tulu
"Philip!" Barbara menepuk-nepuk pundak suaminya. Philip seketika menahan gerakan. "Ya?" "Apa kau tidak lihat? Aku sudah mengangkat tangan sejak tadi!" omel Barbara di sela desah napasnya yang rapat. "Apakah sakit?" "Tidak. Tapi kau melakukannya terlalu cepat!" Barbara merebahkan kepalanya dan menyeka keringat di keningnya. "Ini sudah pelan, Sayang." "Lebih pelan lagi!" Sambil menahan gejolak hebat dalam dirinya, Philip mencoba untuk menuruti keinginan sang istri. "Ya, seperti itu." "Aku belum bergerak, Sayang," desahnya, penuh kesabaran. "Belum? Tapi aku bisa merasakannya bergerak. Tunggu!" Philip bergeming lagi. "Apa?" Barbara terpejam dan mengerutkan alis. "Aku mulai merasa perih." "Kau mau berhenti?" "Tidak. Coba dorong sedikit. Sedikit lagi. Stop. Dorong lagi." "Sudah mentok, Sayang." Barbara mengangkat kepalanya sedikit. Matanya membulat. "Sudah? Hanya sampai situ saja?" "Memangnya kau kira akan sampai mana?" tanya Philip, setengah mengerang. Ia mulai kesulitan m