Ciat ciat ciat .... Jadi atau enggak niiih?
"Philip, apakah kau marah padaku?" Suara Barbara lirih. Philip menoleh ke belakang. Pundaknya berputar sedikit. Alisnya terangkat ringan. "Marah? Tidak. Kenapa kau bertanya begitu?" Barbara tertunduk. "Maaf kalau kau harus memiliki istri yang pengecut sepertiku." Philip buru-buru duduk. Tangannya memegangi pundak Barbara. "Jangan berkata begitu. Setiap orang punya kelemahan ataupun ketakutan. Kau takut darah, kau takut sakit. Itu wajar." "Tapi kau tidak punya ketakutan. Aku seharusnya menjadi istri yang sepadan bagimu." Melihat bagaimana Barbara mengintip dari bayang-bayang wajah murungnya, Philip mendesah samar. "Siapa bilang aku tidak kenal takut?" Barbara tertunduk lebih dalam. "Kau bahkan berani melompat dari pesawat. Apa ada hal lain yang lebih menyeramkan dari itu?" "Tentu saja ada. Aku takut kehilangan kamu. Hidup tanpa kamu di sisiku jauh lebih mengerikan daripada melompat dari pesawat tanpa parasut." Barbara kembali menyudutkan bola matanya ke atas. Melihat senyum tulu
"Philip!" Barbara menepuk-nepuk pundak suaminya. Philip seketika menahan gerakan. "Ya?" "Apa kau tidak lihat? Aku sudah mengangkat tangan sejak tadi!" omel Barbara di sela desah napasnya yang rapat. "Apakah sakit?" "Tidak. Tapi kau melakukannya terlalu cepat!" Barbara merebahkan kepalanya dan menyeka keringat di keningnya. "Ini sudah pelan, Sayang." "Lebih pelan lagi!" Sambil menahan gejolak hebat dalam dirinya, Philip mencoba untuk menuruti keinginan sang istri. "Ya, seperti itu." "Aku belum bergerak, Sayang," desahnya, penuh kesabaran. "Belum? Tapi aku bisa merasakannya bergerak. Tunggu!" Philip bergeming lagi. "Apa?" Barbara terpejam dan mengerutkan alis. "Aku mulai merasa perih." "Kau mau berhenti?" "Tidak. Coba dorong sedikit. Sedikit lagi. Stop. Dorong lagi." "Sudah mentok, Sayang." Barbara mengangkat kepalanya sedikit. Matanya membulat. "Sudah? Hanya sampai situ saja?" "Memangnya kau kira akan sampai mana?" tanya Philip, setengah mengerang. Ia mulai kesulitan m
"Louis? Apa yang salah dengan matamu?" celetuk Abigail setelah mengucapkan selamat pagi. Sambil duduk di samping Diana, ia terus mengamati kantong mata si bocah. "Louis tidak bisa tidur, Abi. Dia terus memikirkan bagaimana caranya seorang wanita bisa hamil. Padahal, aku sudah menyuruhnya tidur dan tidak memikirkannya lagi." Sementara Frank dan Kara geleng-geleng, Abigail tertawa kecil. "Kamu tidak seharusnya mengorbankan waktu tidurmu untuk memikirkan itu, Louis. Matamu jadi bengkak, tapi kamu tetap tidak menemukan jawabannya. Lihat, Emily. Wajahnya berseri-seri dan segar." "Tapi aku akhirnya tidur, setelah aku sepakat dengan Emily." Louis menoleh ke samping. "Sepertinya kamu benar, Emily. Papa menanam adik bayi ke dalam perut Mama lewat pusar. Semalam, Paman Philip juga pasti begitu. Karena itulah, Bibi ngos-ngosan. Dia merasa geli karena Paman terus menggali pusarnya." Beberapa orang dewasa tertunduk mengulum tawa. Beberapa lagi tercengang. "Dari mana kamu tahu Barbara ngos-ngos
"Selamat pagi, Semuanya." Jeremy memasuki ruang makan resort dengan wajah semringah. Di sampingnya, Ava menyapa lewat anggukan. "Paman Jeremy! Bibi Ava!" sambut si Kembar kompak. Mata mereka memantulkan cahaya terang. "Apakah Bibi Ava sudah selesai melakukan tes?" todong Louis. "Bagaimana hasilnya? Apakah di dalam perut Bibi Ava sudah ada adik bayi?" Emily menyatukan tangan dan menempelkannya di sebelah pipi. Yang lain menyimak dengan saksama. Ava dan Jeremy pun bertukar pandang. Selang seulas senyuman, pasangan yang masih berdiri itu mengangguk kompak. "Ya, kami menemukan dua garis," desah Jeremy. Dalam sekejap, desah lega memenuhi ruang. Vivian dan Diana berpelukan, Frank dan Kara bertukar senyuman, sedangkan pengantin baru memasang raut iri. Hanya si Kembar yang bergeming. Sambil berkedip-kedip, mereka menatap orang tua mereka. "Mama, apakah dua garis itu artinya Ava hamil?" Louis memiringkan kepala. Kara mengangguk. "Ya, Madu Kecil. Paman Jeremy dan Bibi Ava akan segera mem
"Aku oke-oke saja. Kamu?" Philip menaikkan alis. Barbara menyunggingkan senyum. "Tentu saja mau. Sudah lama aku tidak berlibur ke benua lain. Tapi kurasa, jadwalnya jangan akhir pekan ini. Aku tidak mau terlihat lelah saat menghadiri pernikahan Jeremy dan Ava nanti. Bagaimana kalau tiga hari setelah pernikahan mereka?" Ia menggenggam tangan Philip lebih erat. "Aku tidak keberatan."Wajah Barbara bertambah cerah. Dengan mata yang memancarkan semangat, ia mengembalikan pandangan kepada Vivian. "Apakah itu memungkinkan, Nyonya Bell?" Mendapat anggukan dari Vivian, Barbara pun meloloskan tawa. "Terima kasih, Nyonya Bell."Kemudian, Barbara memeluk Philip erat. Hatinya berbunga-bunga. Ia tidak menduga bahwa bulan madu impian yang ia rahasiakan dari Philip ternyata bisa terwujud juga. "Lalu kalau tiket pesawat ke Eropa diberikan kepada Bibi Ava, Paman Jeremy bulan madu di mana?" celetuk Louis, menyurutkan keceriaan Barbara. "Ya, kalian bulan madu di mana?" desah Barbara dengan nada bers
"Sayang, tunggulah di sini. Jangan masuk sampai aku bilang aman," bisik Philip sambil membelai rambut sang istri. Namun, ketika Philip hendak mendekati pintu, Barbara menahan tangannya. "Jangan, Philip."Barbara menggeleng cepat. Kantong matanya mendadak tebal. "Jangan masuk. Bagaimana kalau di dalam ada perangkap atau seseorang yang sudah siap menyerang dengan senjata? Aku tidak mau kamu terluka." Sambil menangkup pipi Barbara, Philip merapatkan pandangan. Sorot matanya memancarkan keseriusan sekaligus rasa aman. "Kamu lupa aku siapa? Aku pengawal terbaik kakakmu. Tidak ada yang bisa menyakitiku. Jadi kamu tenang saja, hmm?" Akan tetapi, Barbara tetap menggeleng. "Tapi kita sudah berjanji akan selalu bersama. Aku tidak mau membiarkan kamu menghadapi musuh seorang diri." Barbara menggenggam lengan Philip lebih erat. Khawatir alasannya belum cukup, ia pun menambahkan, "Lagi pula, aku takut kalau menunggu sendirian di luar." Philips mengamati raut wajah sang istri lebih saksama. Se
"Philip, lihat!" Barbara meruncingkan telunjuknya ke arah lilin-lilin yang berjejer membentuk jalan menuju pintu kamar mereka. "Bukankah ini sangat manis?" Philip tersenyum kecil dan mengangguk. Sambil mengusap lengan Barbara, ia berbisik, "Ini baru permulaan tapi kamu sudah suka?" Barbara menaikturunkan dagunya. Matanya berkaca-kaca. "Ya, si Kembar memang penuh dengan ide. Entah bagaimana mereka bisa seromantis itu, padahal mereka masih sangat kecil." "Apakah itu sindiran untukku?" Philip mengerutkan sebelah alis. Barbara tertawa kecil. "Tidak. Ayo ikuti drone sebelum Emily mengomel lagi." Ternyata, di dinding dekat pintu kamar mereka, tertempel sebuah kertas dengan tulisan tangan Emily. "Selamat, Paman dan Bibi! Happy wedding!" Ada beberapa bunga digambar dengan aneka warna di sana. Pada barisan paling bawah, sepasang pengantin dilukis sedang berciuman. Sebuah hati keluar dari mulut mereka. "Ini lucu sekali." "Ya, Emily memang manis." Tiba-tiba, drone tadi menghampiri mereka
"Wow! Kembang api ini panjang sekali!" Emily mengamati tongkat di tangannya dengan mata berbinar. "Kau benar. Tongkat sihir saja tidak sepanjang ini." Louis menghunuskan kembang apinya ke udara, sebagaimana seorang ksatria menggunakan pedangnya. Saat itu pula, seorang staf wedding organizer menghampiri mereka lagi. "Oke, mohon perhatiannya, Anak-Anak." Si Kembar menoleh dengan mata bulat. "Nanti saat musik pernikahan dimainkan, tim kami akan menyalakan kembang api kalian. Setelah itu, kalian berjalan dengan perlahan menuju pengantin pria, yaitu paman kalian. Kembang api ini bisa bertahan selama tiga menit, jadi kalian tidak perlu tergesa-gesa." Si Kembar mengangguk-angguk. "Oke." "Tolong diingat, kembang api ini panas dan berbahaya. Kalian tidak boleh menyentuh ujungnya dan jangan mengarahkan kembang api ke orang lain. Kalian hanya perlu memutar-mutarnya sedikit, seperti ini." Mendengar penjelasan itu, bibir Louis mengerucut. "Kami mengerti, Tuan. Kami pernah mencari tahu tentan