Happy happy happy .... Guys, Pixie lagi bingung mikirin nama buat anak-anak Frank Kara, Jeremy Ava niiih. Kalau cewek apa, kalau cowok apa? Ada yang punya ide?
"Selamat pagi, Semuanya." Jeremy memasuki ruang makan resort dengan wajah semringah. Di sampingnya, Ava menyapa lewat anggukan. "Paman Jeremy! Bibi Ava!" sambut si Kembar kompak. Mata mereka memantulkan cahaya terang. "Apakah Bibi Ava sudah selesai melakukan tes?" todong Louis. "Bagaimana hasilnya? Apakah di dalam perut Bibi Ava sudah ada adik bayi?" Emily menyatukan tangan dan menempelkannya di sebelah pipi. Yang lain menyimak dengan saksama. Ava dan Jeremy pun bertukar pandang. Selang seulas senyuman, pasangan yang masih berdiri itu mengangguk kompak. "Ya, kami menemukan dua garis," desah Jeremy. Dalam sekejap, desah lega memenuhi ruang. Vivian dan Diana berpelukan, Frank dan Kara bertukar senyuman, sedangkan pengantin baru memasang raut iri. Hanya si Kembar yang bergeming. Sambil berkedip-kedip, mereka menatap orang tua mereka. "Mama, apakah dua garis itu artinya Ava hamil?" Louis memiringkan kepala. Kara mengangguk. "Ya, Madu Kecil. Paman Jeremy dan Bibi Ava akan segera mem
"Aku oke-oke saja. Kamu?" Philip menaikkan alis. Barbara menyunggingkan senyum. "Tentu saja mau. Sudah lama aku tidak berlibur ke benua lain. Tapi kurasa, jadwalnya jangan akhir pekan ini. Aku tidak mau terlihat lelah saat menghadiri pernikahan Jeremy dan Ava nanti. Bagaimana kalau tiga hari setelah pernikahan mereka?" Ia menggenggam tangan Philip lebih erat. "Aku tidak keberatan."Wajah Barbara bertambah cerah. Dengan mata yang memancarkan semangat, ia mengembalikan pandangan kepada Vivian. "Apakah itu memungkinkan, Nyonya Bell?" Mendapat anggukan dari Vivian, Barbara pun meloloskan tawa. "Terima kasih, Nyonya Bell."Kemudian, Barbara memeluk Philip erat. Hatinya berbunga-bunga. Ia tidak menduga bahwa bulan madu impian yang ia rahasiakan dari Philip ternyata bisa terwujud juga. "Lalu kalau tiket pesawat ke Eropa diberikan kepada Bibi Ava, Paman Jeremy bulan madu di mana?" celetuk Louis, menyurutkan keceriaan Barbara. "Ya, kalian bulan madu di mana?" desah Barbara dengan nada bers
"Sayang, tunggulah di sini. Jangan masuk sampai aku bilang aman," bisik Philip sambil membelai rambut sang istri. Namun, ketika Philip hendak mendekati pintu, Barbara menahan tangannya. "Jangan, Philip."Barbara menggeleng cepat. Kantong matanya mendadak tebal. "Jangan masuk. Bagaimana kalau di dalam ada perangkap atau seseorang yang sudah siap menyerang dengan senjata? Aku tidak mau kamu terluka." Sambil menangkup pipi Barbara, Philip merapatkan pandangan. Sorot matanya memancarkan keseriusan sekaligus rasa aman. "Kamu lupa aku siapa? Aku pengawal terbaik kakakmu. Tidak ada yang bisa menyakitiku. Jadi kamu tenang saja, hmm?" Akan tetapi, Barbara tetap menggeleng. "Tapi kita sudah berjanji akan selalu bersama. Aku tidak mau membiarkan kamu menghadapi musuh seorang diri." Barbara menggenggam lengan Philip lebih erat. Khawatir alasannya belum cukup, ia pun menambahkan, "Lagi pula, aku takut kalau menunggu sendirian di luar." Philips mengamati raut wajah sang istri lebih saksama. Se
"Philip, lihat!" Barbara meruncingkan telunjuknya ke arah lilin-lilin yang berjejer membentuk jalan menuju pintu kamar mereka. "Bukankah ini sangat manis?" Philip tersenyum kecil dan mengangguk. Sambil mengusap lengan Barbara, ia berbisik, "Ini baru permulaan tapi kamu sudah suka?" Barbara menaikturunkan dagunya. Matanya berkaca-kaca. "Ya, si Kembar memang penuh dengan ide. Entah bagaimana mereka bisa seromantis itu, padahal mereka masih sangat kecil." "Apakah itu sindiran untukku?" Philip mengerutkan sebelah alis. Barbara tertawa kecil. "Tidak. Ayo ikuti drone sebelum Emily mengomel lagi." Ternyata, di dinding dekat pintu kamar mereka, tertempel sebuah kertas dengan tulisan tangan Emily. "Selamat, Paman dan Bibi! Happy wedding!" Ada beberapa bunga digambar dengan aneka warna di sana. Pada barisan paling bawah, sepasang pengantin dilukis sedang berciuman. Sebuah hati keluar dari mulut mereka. "Ini lucu sekali." "Ya, Emily memang manis." Tiba-tiba, drone tadi menghampiri mereka
"Wow! Kembang api ini panjang sekali!" Emily mengamati tongkat di tangannya dengan mata berbinar. "Kau benar. Tongkat sihir saja tidak sepanjang ini." Louis menghunuskan kembang apinya ke udara, sebagaimana seorang ksatria menggunakan pedangnya. Saat itu pula, seorang staf wedding organizer menghampiri mereka lagi. "Oke, mohon perhatiannya, Anak-Anak." Si Kembar menoleh dengan mata bulat. "Nanti saat musik pernikahan dimainkan, tim kami akan menyalakan kembang api kalian. Setelah itu, kalian berjalan dengan perlahan menuju pengantin pria, yaitu paman kalian. Kembang api ini bisa bertahan selama tiga menit, jadi kalian tidak perlu tergesa-gesa." Si Kembar mengangguk-angguk. "Oke." "Tolong diingat, kembang api ini panas dan berbahaya. Kalian tidak boleh menyentuh ujungnya dan jangan mengarahkan kembang api ke orang lain. Kalian hanya perlu memutar-mutarnya sedikit, seperti ini." Mendengar penjelasan itu, bibir Louis mengerucut. "Kami mengerti, Tuan. Kami pernah mencari tahu tentan
Gagal membangkitkan ingatan, staf wedding organizer itu menghubungi rekannya lagi. "Monitor dua. Mohon informasi. Siapa nama tamu tadi?" Sementara si staf menyimak jawaban dari rekannya, Frank dan Kara bertukar pandang. Napas mereka tertahan. Jantung mereka berdegup cepat. "Lapor, Tuan. Nama tamu yang tidak membawa undangan itu adalah Sean. Dia datang bersama istrinya. Dia berjalan dengan bantuan tongkat." Mendengar nama itu, Frank dan Kara menghela napas lega. Si Kembar menoleh dengan mata bulat. "Apa? Sean datang?" "Benar, Tuan Muda." Dengan mata berbinar, Louis menatap adiknya. "Emily, kita tidak boleh diam saja di sini. Kita harus menyambut Sean!" Emily mengangguk kecil. "Ya. Ayo kita temui Sean!" Melihat dua balita itu sudah lebih dulu berlari, Frank mengecup kening istrinya. "Tunggulah di sini. Kami tidak akan lama." Kara mengangguk. Frank pun buru-buru menyusul si Kembar. "Sean! Sean!" Tanpa memedulikan posisi berdiri Sean yang agak timpang, si Kembar menyerbu pria itu
Menyadari kehadiran seseorang di sisi mereka, si Kembar menoleh. Begitu mereka mendapati Sophia, mata mereka membulat. Kaki mereka spontan mundur, menjauh dari sang wanita. "Sophia, kenapa kamu ada di sini?" Louis merentangkan sebelah tangan, menggeser Emily untuk bersembunyi di balik punggungnya. "Kedua orang tuaku sedang terkurung dalam penjara. Aku tidak mungkin membiarkan perusahaan mereka terbengkalai. Apalagi, keluarga besar Moore telah mengasingkan kami. Mereka tidak mau mencampuri bisnis kami. Jadi, siapa lagi yang bisa mengurusnya kalau bukan aku?" Louis tertunduk menggembungkan pipi dan menyudutkan bola matanya ke atas. "Bukan itu maksudku. Kenapa kau ada di acara ini?" Saat itu pula, Frank tiba di sisi mereka. Ia menarik anak-anaknya mundur ke arah Kara sebelum maju menghadapi Sophia. "Mau apa kau kemari? Ini pernikahan privat. Kau tidak bisa datang seenaknya." Sophia mendesak bibirnya dengan dagu. "Aku tidak datang seenaknya." Setelah merogoh tas, ia mengeluarkan se
Ava mendekati Jeremy dengan ragu-ragu. Pria itu masih menempatkan kedua siku pada lutut, tertunduk sambil mengurut pelipis. Sesekali, pundaknya tampak naik, terdesak sesak yang terus mengimpit jantung. Ava tak sampai hati melihatnya. "Jeremy," panggil Ava lirih. Saat pria itu melirik dari sudut atas matanya, ia melanjutkan, "Apakah kau mau kutemani?" Jeremy menggeleng kecil. "Aku baik-baik saja, Ava. Hanya butuh waktu untuk berpikir. Kau temani saja yang lain di meja makan. Aku akan segera menyusul." Sementara Jeremy mengangguk, berusaha meyakinkannya, Ava termenung. Selang pertimbangan singkat, ia beringsut duduk di bangku yang sama. "Aku tidak akan berisik. Anggap saja aku sedang tidak di sini. Kau bisa lanjut berpikir." Ava tertunduk, tak ingin membuat Jeremy merasa terintimidasi. Akan tetapi, Jeremy malah bergeming. Tatapan sayunya terus tertuju pada Ava. Selang satu kedipan, barulah ia mengubah arah pandang—kembali pada foto USG di tangannya. "Kau tahu?" Suara Jeremy memecah