Halo, guys! Terima kasih sudah membaca. Hari ini, Pixie izin update satu bab aja ya. Pixie ada kerjaan siang sampai malam nanti. Besok pagi baru bisa lanjut. Oke, oke? Happy Sunday!
Menyadari kehadiran seseorang di sisi mereka, si Kembar menoleh. Begitu mereka mendapati Sophia, mata mereka membulat. Kaki mereka spontan mundur, menjauh dari sang wanita. "Sophia, kenapa kamu ada di sini?" Louis merentangkan sebelah tangan, menggeser Emily untuk bersembunyi di balik punggungnya. "Kedua orang tuaku sedang terkurung dalam penjara. Aku tidak mungkin membiarkan perusahaan mereka terbengkalai. Apalagi, keluarga besar Moore telah mengasingkan kami. Mereka tidak mau mencampuri bisnis kami. Jadi, siapa lagi yang bisa mengurusnya kalau bukan aku?" Louis tertunduk menggembungkan pipi dan menyudutkan bola matanya ke atas. "Bukan itu maksudku. Kenapa kau ada di acara ini?" Saat itu pula, Frank tiba di sisi mereka. Ia menarik anak-anaknya mundur ke arah Kara sebelum maju menghadapi Sophia. "Mau apa kau kemari? Ini pernikahan privat. Kau tidak bisa datang seenaknya." Sophia mendesak bibirnya dengan dagu. "Aku tidak datang seenaknya." Setelah merogoh tas, ia mengeluarkan se
Ava mendekati Jeremy dengan ragu-ragu. Pria itu masih menempatkan kedua siku pada lutut, tertunduk sambil mengurut pelipis. Sesekali, pundaknya tampak naik, terdesak sesak yang terus mengimpit jantung. Ava tak sampai hati melihatnya. "Jeremy," panggil Ava lirih. Saat pria itu melirik dari sudut atas matanya, ia melanjutkan, "Apakah kau mau kutemani?" Jeremy menggeleng kecil. "Aku baik-baik saja, Ava. Hanya butuh waktu untuk berpikir. Kau temani saja yang lain di meja makan. Aku akan segera menyusul." Sementara Jeremy mengangguk, berusaha meyakinkannya, Ava termenung. Selang pertimbangan singkat, ia beringsut duduk di bangku yang sama. "Aku tidak akan berisik. Anggap saja aku sedang tidak di sini. Kau bisa lanjut berpikir." Ava tertunduk, tak ingin membuat Jeremy merasa terintimidasi. Akan tetapi, Jeremy malah bergeming. Tatapan sayunya terus tertuju pada Ava. Selang satu kedipan, barulah ia mengubah arah pandang—kembali pada foto USG di tangannya. "Kau tahu?" Suara Jeremy memecah
"Jadi itu benar?" Frank merapatkan telinga pada ponsel. Raut seriusnya membuat orang-orang di sekeliling meja makan semakin bertanya-tanya. "Baiklah, terima kasih. Tolong segera kabari aku kalau ada informasi lain." Begitu Frank menutup telepon, semua orang mencondongkan badan ke depan. "Bagaimana?" tanya beberapa orang kompak. Frank menggeleng samar. "Sophia tidak berbohong. Dia benar-benar sudah menggugurkan kandungannya." Beberapa orang sontak bersandar pada kursi mereka, termasuk Kara. "Sungguh bayi mungil yang malang," desahnya. "Ayolah, tidak usah terlalu bersedih. Coba lihat sisi positifnya. Bayangkan kalau Sophia mempertahankan janinnya. Jeremy bisa-bisa terikat padanya. Pernikahannya dengan Ava bisa terancam," celetuk Melanie ringan. Barbara seketika terbelalak. "Mama?" tegurnya, setengah berbisik. "Apa? Aku berkata apa adanya. Apakah perkataanku salah?" "Meskipun itu benar, hargai perasaan Nyonya Bell. Bagaimanapun, itu cucunya," bisik Barbara dengan alis berkerut. "
Louis dan Emily melambaikan tangan dengan senyum cerah. Meskipun mereka tidak bisa ikut, mereka turut merasakan kegembiraan si pasangan baru. "Da, Bibi dan Paman Philip! Selamat berbulan madu! Bersenang-senanglah di sana." "Kabari kami kalau kalian sudah sampai! Dan jangan lupa kirimkan banyak foto." Barbara terkekeh gemas. "Kami baru akan tiba besok, Emily. Tapi nanti pasti akan kami kabari." "Oke, Bibi." Si Kembar memeluk Barbara lalu Philip. Setelah mundur, merapatkan punggung pada Frank dan Kara, mereka melambai lagi. Philip dan Barbara balas melambai dengan wajah semringah. Kemudian, sambil bergandengan tangan, mereka masuk ke gerbang keberangkatan. *** "Woohoo!" Barbara merentangkan tangan sembari menghadap lautan. Wajahnya menengadah, menantang langit cerah yang terbentang di atas kapal mereka. "Ini sangat indah, Philip." Matanya terpejam, menikmati semilir angin yang terasa sejuk di pipinya. "Ini akan menjadi perjalanan terbaik yang pernah kumiliki."Melihat keceriaan s
Begitu keluar dari kapal, Barbara kembali merentangkan tangan. Wajahnya cerah, senyumnya semringah. "Ini adalah kombinasi yang sempurna. Hijau, biru, dan kamu." Ia berputar menghadap Philip. "Aku?" Philip memiringkan kepala. Sudut bibirnya berkedut, kesulitan menyembunyikan kegembiraan. Barbara mengangguk. Lengkung bibirnya menjadi lebih manis. "Ya, kamu." "Tapi aku bukan warna." Philip menggeleng dan merapat dengan Barbara. Barbara pun ikut menggeleng sambil tertawa kecil. "Memang bukan. Tapi kehadiranmu telah mewarnai hari-hariku. Kamu adalah warna terindah dalam hidupku, Phil." Philip akhirnya meloloskan tawa. Sambil menggigit bibir, ia menggeleng tipis. "Kau beruntung kita sedang di ruang terbuka. Kalau saja kita ada di kamar ...." Mata Barbara menyipit. "Kau mau menggelitikku? Membantingku seperti atlet bela diri?" "Kau tahu apa yang kumaksud." Barbara terkekeh. "Kita bisa melakukan itu nanti, Philip. Bukankah kita akan segera ke penginapan?" "Ya, memang. Tapi aku sungg
"Lihatlah betapa terjal gunung-gunung itu, Phil!" Barbara menunduk, mengintip puncak gunung yang bisa teramati dari kaca depan. "Apakah gunung yang akan kita daki seterjal itu?" Philip melirik dengan senyum simpul. "Kenapa? Kau takut?" Bibir Barbara mengerucut. "Tidak. Aku kan bersamamu. Kenapa aku harus takut?" Ketika mengembalikan pandangan ke depan, Barbara langsung meruncingkan telunjuk. "Lihat! Rumah itu lucu sekali. Dan kenapa warnanya merah lagi? Apakah semua rumah di sini berdinding merah?" "Apakah kamu tahu? Pada zaman dulu, warna cat rumah di sini mencerminkan status sosial pemiliknya." Alis Barbara meninggi. "Status sosial?" Philip mengangguk. "Ya. Cat merah merupakan yang paling murah dari cat lainnya. Karena itu, banyak penduduk seperti petani dan nelayan mengecat rumah mereka dengan warna merah." Sementara mulut Barbara membulat, Philip menambahkan, "Selain itu, ada cat kuning yang lebih mahal, lalu cat putih. Dari situlah, warna cat menjadi simbol kekayaan seseor
Poppy bersenandung kecil sambil menghiasi kuku-kukunya. Sesekali, ia melihat keluar jendela. Gesturnya tampak santai. Namun, ketika melihat jendela di kabin sebelah tertutup rapat, punggungnya menegak. "Shania, kurasa mereka pergi keluar." Gadis yang sedang berbaring dengan masker kecantikan di wajah sontak duduk di atas kasur. "Apa katamu?" "Pangeranmu keluar dari kabinnya." Tanpa sempat mencopoti masker, ia berjalan menghampiri sahabatnya. Melihat jendela di kabin sebelah tidak lagi bercelah, ia beralih ke jendela depan. Philip dan Barbara ternyata sedang berjalan bergandengan tangan. "Mau ke mana mereka?" Shania mengerutkan alis. Sesaat kemudian, ia menepuk-nepuk pundak temannya. "Poppy, inilah saatnya. Ayo cepat bersiap. Kita tidak boleh kehilangan jejak mereka." "Sekarang?" Poppy terbelalak. Cat kukunya bahkan belum mengering dengan sempurna. Sambil bergegas berganti pakaian, Shania menoleh sekilas. "Tentu saja. Ayo!" Masih dengan jari-jari yang diluruskan, Poppy mengambi
Napas Barbara mulai terengah-engah. Merasa lelah, ia pun mengangkat tangan beserta dayungnya ke atas. "Woohoo! Aku menang!" Philip berhenti mengayuh dan berhenti tepat di sisi kayak Barbara. Lengkung bibirnya manis. Sorot matanya penuh kasih. "Memang di mana garis finish-nya?" Barbara menoleh dengan binar mata yang cerah. "Apakah kamu tidak melihatnya? Di belakang situ tadi." Ia meruncingkan telunjuk ke balik punggung. Philip meloloskan tawa gemas. "Baiklah, kuakui aku kalah. Istriku sudah pandai mendayung sekarang." Barbara ikut tertawa. Ia merasa konyol karena senang atas kemenangannya. Padahal jelas, Philip sengaja mengalah. "Hari ini begitu indah, Phil. Begitu juga dengan pemandangan ini. Lihatlah airnya. Mengapa bisa sejernih ini? Rasanya aku sedang meluncur di atas kristal." Barbara mengacak air dengan dayungnya. "Lihat! Cucuran airnya seperti butiran kristal." Philip memiringkan kepala, menyaksikan bagaimana sang istri mengagumi lautan. "Ya, tidak ada sampah, tidak ada p