Terima kasih sudah membaca.
Begitu keluar dari kapal, Barbara kembali merentangkan tangan. Wajahnya cerah, senyumnya semringah. "Ini adalah kombinasi yang sempurna. Hijau, biru, dan kamu." Ia berputar menghadap Philip. "Aku?" Philip memiringkan kepala. Sudut bibirnya berkedut, kesulitan menyembunyikan kegembiraan. Barbara mengangguk. Lengkung bibirnya menjadi lebih manis. "Ya, kamu." "Tapi aku bukan warna." Philip menggeleng dan merapat dengan Barbara. Barbara pun ikut menggeleng sambil tertawa kecil. "Memang bukan. Tapi kehadiranmu telah mewarnai hari-hariku. Kamu adalah warna terindah dalam hidupku, Phil." Philip akhirnya meloloskan tawa. Sambil menggigit bibir, ia menggeleng tipis. "Kau beruntung kita sedang di ruang terbuka. Kalau saja kita ada di kamar ...." Mata Barbara menyipit. "Kau mau menggelitikku? Membantingku seperti atlet bela diri?" "Kau tahu apa yang kumaksud." Barbara terkekeh. "Kita bisa melakukan itu nanti, Philip. Bukankah kita akan segera ke penginapan?" "Ya, memang. Tapi aku sungg
"Lihatlah betapa terjal gunung-gunung itu, Phil!" Barbara menunduk, mengintip puncak gunung yang bisa teramati dari kaca depan. "Apakah gunung yang akan kita daki seterjal itu?" Philip melirik dengan senyum simpul. "Kenapa? Kau takut?" Bibir Barbara mengerucut. "Tidak. Aku kan bersamamu. Kenapa aku harus takut?" Ketika mengembalikan pandangan ke depan, Barbara langsung meruncingkan telunjuk. "Lihat! Rumah itu lucu sekali. Dan kenapa warnanya merah lagi? Apakah semua rumah di sini berdinding merah?" "Apakah kamu tahu? Pada zaman dulu, warna cat rumah di sini mencerminkan status sosial pemiliknya." Alis Barbara meninggi. "Status sosial?" Philip mengangguk. "Ya. Cat merah merupakan yang paling murah dari cat lainnya. Karena itu, banyak penduduk seperti petani dan nelayan mengecat rumah mereka dengan warna merah." Sementara mulut Barbara membulat, Philip menambahkan, "Selain itu, ada cat kuning yang lebih mahal, lalu cat putih. Dari situlah, warna cat menjadi simbol kekayaan seseor
Poppy bersenandung kecil sambil menghiasi kuku-kukunya. Sesekali, ia melihat keluar jendela. Gesturnya tampak santai. Namun, ketika melihat jendela di kabin sebelah tertutup rapat, punggungnya menegak. "Shania, kurasa mereka pergi keluar." Gadis yang sedang berbaring dengan masker kecantikan di wajah sontak duduk di atas kasur. "Apa katamu?" "Pangeranmu keluar dari kabinnya." Tanpa sempat mencopoti masker, ia berjalan menghampiri sahabatnya. Melihat jendela di kabin sebelah tidak lagi bercelah, ia beralih ke jendela depan. Philip dan Barbara ternyata sedang berjalan bergandengan tangan. "Mau ke mana mereka?" Shania mengerutkan alis. Sesaat kemudian, ia menepuk-nepuk pundak temannya. "Poppy, inilah saatnya. Ayo cepat bersiap. Kita tidak boleh kehilangan jejak mereka." "Sekarang?" Poppy terbelalak. Cat kukunya bahkan belum mengering dengan sempurna. Sambil bergegas berganti pakaian, Shania menoleh sekilas. "Tentu saja. Ayo!" Masih dengan jari-jari yang diluruskan, Poppy mengambi
Napas Barbara mulai terengah-engah. Merasa lelah, ia pun mengangkat tangan beserta dayungnya ke atas. "Woohoo! Aku menang!" Philip berhenti mengayuh dan berhenti tepat di sisi kayak Barbara. Lengkung bibirnya manis. Sorot matanya penuh kasih. "Memang di mana garis finish-nya?" Barbara menoleh dengan binar mata yang cerah. "Apakah kamu tidak melihatnya? Di belakang situ tadi." Ia meruncingkan telunjuk ke balik punggung. Philip meloloskan tawa gemas. "Baiklah, kuakui aku kalah. Istriku sudah pandai mendayung sekarang." Barbara ikut tertawa. Ia merasa konyol karena senang atas kemenangannya. Padahal jelas, Philip sengaja mengalah. "Hari ini begitu indah, Phil. Begitu juga dengan pemandangan ini. Lihatlah airnya. Mengapa bisa sejernih ini? Rasanya aku sedang meluncur di atas kristal." Barbara mengacak air dengan dayungnya. "Lihat! Cucuran airnya seperti butiran kristal." Philip memiringkan kepala, menyaksikan bagaimana sang istri mengagumi lautan. "Ya, tidak ada sampah, tidak ada p
Philip ikut menjatuhkan diri ke air. Secepat kilat, ia berenang dan memeluk sang istri. "Uhuk uhuk ...." Barbara terbatuk-batuk saat kepalanya keluar dari air. Setelah meraup wajah, mata merahnya langsung gemetar menatap Philip. "Hiu .... Ada hiu di dekat kita, Philip. Kenapa kamu ikut masuk ke air? Ayo cepat naik." Barbara berusaha membalikkan kayak dengan tenaganya yang tak seberapa. Bukannya membantu, Philip malah menangkup pipi sang istri dengan sebelah tangan. "Hei, lihat aku. Jangan panik, oke?" "Bagaimana tidak panik? Kita sedang berenang bersama hiu, Philip!" Mata Barbara penuh kengerian. Saat sebuah sirip muncul lagi, ia langsung mendekap Philip erat. Isak tangisnya pecah. "Philip .... Aku tidak mau kita mati. Kita baru menikah. Masih ada banyak hal yang harus kita lakukan." Philip menggosok-gosok punggung Barbara. Mulutnya berdesus seperti seorang ibu menenangkan anaknya. "Sudah, jangan menangis. Kamu tidak perlu takut, Sayang. Itu bukan hiu." Sambil menahan isakan,
Setengah jam berlalu, Barbara sudah terengah-engah. Wajahnya merah, dipenuhi butir keringat dan bekas sekaan. "Apakah kau lelah?" Philip mengusap kening istrinya lagi. "Tidak." "Meskipun kau bilang tidak, bagaimana kalau kita beristirahat sebentar? Dengan pipi merah dan desah napas itu, kau terlihat seperti sedang berolahraga malam. Aku tidak mau ada laki-laki lain yang menyaksikanmu begini." Barbara tertawa tipis. "Tapi kita tidak mungkin beristirahat di tengah tangga begini. Kita bisa mengganggu pendaki lain." Philip menunjuk satu titik, tidak jauh di atas mereka. "Di situ ada tempat untuk beristirahat." "Kalau begitu, ayo berhenti di situ sebentar." Barbara mempercepat langkah meskipun lututnya bergetar. Ia sudah tidak sabar ingin mengistirahatkan kakinya. Begitu duduk di atas sebuah batu besar, Barbara langsung terpejam dan mendesah panjang. Tangannya terkepal, memukul-mukul pahanya yang terasa pegal dan gatal. "Tolong jangan lakukan itu kalau ada orang lain," ujar Philip
"Philip, apakah lututku berdarah?" Barbara menatap suaminya dengan bola mata yang bergetar, sama seperti suaranya. Kedua tangannya mencengkeram tangan Philip erat. "Kurasa tidak. Paling hanya sedikit lecet atau memar." "Benarkah?" Barbara memberanikan diri untuk menunduk. Namun, sebelum ia bisa melihat lukanya, Philip telah menggendong dan mendudukkannya di atas sebuah batu besar. "Kamu tidak perlu panik. Aku akan mengobati lukamu, hmm?" "Lututku berdarah, kan?" Air mata Barbara mulai bergumpal. Sebelum menetes, Philip cepat-cepat menyekanya. "Hanya sedikit. Masih lebih banyak darah saat malam pertama kita, Sayang." "Itu tidak lucu, Philip." "Tapi aku berkata apa adanya. Sekarang bersabarlah. Setelah kuobati, darahnya akan berhenti keluar. Kamu ingat saat aku mengobati jarimu yang teriris pisau, kan? Kira-kira seperti itu." Setelah mengecup kening Barbara, Philip berlutut, membuka ransel. Dengan wajah pucat, Barbara mengamati bagaimana Philip menggulung celana dan mengobati lu
"Philip ...." Philip menoleh. Barbara ternyata masih terpejam di jok sebelah. Alisnya berkerut, kepalanya bergerak samar. "Ya, Sayang?" Philip mencondongkan badan, mendekat. "Tolong jangan terlalu cepat. Kita bisa terguling ke depan," racau Barbara, membuat Philip terbelalak. "Kita sudah berhenti, Sayang. Campervan kita sedang berada di area parkiran." Barbara menggeleng samar. Matanya berkedut lebih cepat. "Philip, melambatlah. Nanti aku tersandung lagi. Philip ...." Sadar bahwa Barbara sedang mengigau, Philip mendenguskan tawa. Dengan lembut, ia mengelus pundaknya. "Sayang, kamu bermimpi. Bangunlah." "Philip ... Philip!" Barbara tersentak. Bola matanya tampak merah saat ia mengangkat pelupuknya. "Philip? Kamu di sini?" Ia memandang sekeliling. Pundaknya masih naik turun mengimbangi napasnya yang pendek. "Kita tidak menggelinding?" Philip tertawa kecil. "Tidak, Sayang. Kita di campervan. Yang kamu alami tadi hanya mimpi." Sambil berkedip-kedip, Barbara mengumpulkan kesadara