Hai, hai! Pixie is back! Semoga kalian suka bab ini, ya. And welcome, September. Semoga ini bulan yang baik bagi kita semua. Anyway, terima kasih sudah membaca.
Setengah jam berlalu, Barbara sudah terengah-engah. Wajahnya merah, dipenuhi butir keringat dan bekas sekaan. "Apakah kau lelah?" Philip mengusap kening istrinya lagi. "Tidak." "Meskipun kau bilang tidak, bagaimana kalau kita beristirahat sebentar? Dengan pipi merah dan desah napas itu, kau terlihat seperti sedang berolahraga malam. Aku tidak mau ada laki-laki lain yang menyaksikanmu begini." Barbara tertawa tipis. "Tapi kita tidak mungkin beristirahat di tengah tangga begini. Kita bisa mengganggu pendaki lain." Philip menunjuk satu titik, tidak jauh di atas mereka. "Di situ ada tempat untuk beristirahat." "Kalau begitu, ayo berhenti di situ sebentar." Barbara mempercepat langkah meskipun lututnya bergetar. Ia sudah tidak sabar ingin mengistirahatkan kakinya. Begitu duduk di atas sebuah batu besar, Barbara langsung terpejam dan mendesah panjang. Tangannya terkepal, memukul-mukul pahanya yang terasa pegal dan gatal. "Tolong jangan lakukan itu kalau ada orang lain," ujar Philip
"Philip, apakah lututku berdarah?" Barbara menatap suaminya dengan bola mata yang bergetar, sama seperti suaranya. Kedua tangannya mencengkeram tangan Philip erat. "Kurasa tidak. Paling hanya sedikit lecet atau memar." "Benarkah?" Barbara memberanikan diri untuk menunduk. Namun, sebelum ia bisa melihat lukanya, Philip telah menggendong dan mendudukkannya di atas sebuah batu besar. "Kamu tidak perlu panik. Aku akan mengobati lukamu, hmm?" "Lututku berdarah, kan?" Air mata Barbara mulai bergumpal. Sebelum menetes, Philip cepat-cepat menyekanya. "Hanya sedikit. Masih lebih banyak darah saat malam pertama kita, Sayang." "Itu tidak lucu, Philip." "Tapi aku berkata apa adanya. Sekarang bersabarlah. Setelah kuobati, darahnya akan berhenti keluar. Kamu ingat saat aku mengobati jarimu yang teriris pisau, kan? Kira-kira seperti itu." Setelah mengecup kening Barbara, Philip berlutut, membuka ransel. Dengan wajah pucat, Barbara mengamati bagaimana Philip menggulung celana dan mengobati lu
"Philip ...." Philip menoleh. Barbara ternyata masih terpejam di jok sebelah. Alisnya berkerut, kepalanya bergerak samar. "Ya, Sayang?" Philip mencondongkan badan, mendekat. "Tolong jangan terlalu cepat. Kita bisa terguling ke depan," racau Barbara, membuat Philip terbelalak. "Kita sudah berhenti, Sayang. Campervan kita sedang berada di area parkiran." Barbara menggeleng samar. Matanya berkedut lebih cepat. "Philip, melambatlah. Nanti aku tersandung lagi. Philip ...." Sadar bahwa Barbara sedang mengigau, Philip mendenguskan tawa. Dengan lembut, ia mengelus pundaknya. "Sayang, kamu bermimpi. Bangunlah." "Philip ... Philip!" Barbara tersentak. Bola matanya tampak merah saat ia mengangkat pelupuknya. "Philip? Kamu di sini?" Ia memandang sekeliling. Pundaknya masih naik turun mengimbangi napasnya yang pendek. "Kita tidak menggelinding?" Philip tertawa kecil. "Tidak, Sayang. Kita di campervan. Yang kamu alami tadi hanya mimpi." Sambil berkedip-kedip, Barbara mengumpulkan kesadara
"Philip, pelan-pelan! Kamu terlalu cepat!" pekik Barbara di sela desah napasnya. Sambil tergelak, Philip malah mempertahankan kecepatannya menuruni jalan berbatu. Kedua tangannya direntangkan ke belakang, membentuk pagar agar sang istri tidak keluar dari jalur yang seharusnya ataupun terjerembap. "Apakah kamu takut mimpimu menjadi nyata?" "Ya!" sahut Barbara di puncak suara. "Tidak lucu kalau kita menggelinding di sini." "Tapi kamu harus bisa bertahan sampai bawah, Sayang. Ini melatih otot tungkaimu!" "Ini bukan melatih otot namanya. Ini menguji nyali!" Tawa Philip kembali mengudara. "Kalau begitu, pegangan lebih erat! Kita tambah kecepatan!" "Philip!" Barbara tidak sempat lagi memperhatikan arah lain. Ia hanya fokus dengan gerakan kakinya. Kerja paru-parunya bahkan tidak beraturan. Begitu medan yang mereka lalui tidak lagi curam, Philip akhirnya melambat. Ketika langkahnya terhenti, ia langsung berbalik dan memeluk Barbara. "Selamat, Sayang. Kau berhasil menaklukkan satu gun
"Ini ...." Barbara menyerahkan panci beserta dua bungkus mi instan kepada Poppy. "Tolong beri tahu kepada temanmu untuk tidak mengganggu kami lagi." "Aku tidak mengganggu—" "Shania," Poppy menahan langkah sahabatnya, "kita sudah mendapatkan makan malam dari mereka. Sudahlah, tidak perlu ribut." Sementara Shania mendengus dan membuang muka, Poppy mengangguk kepada Barbara. "Terima kasih. Besok kami kembalikan pancinya dalam keadaan bersih dan juga dua bungkus mi." Setelah mengangguk malas, Barbara mengambil mangkuknya dan duduk di samping Philip. "Mau tambah lagi?" tanya Philip saat Barbara sedang meniup-niup mi. "Nanti kamu tidak cukup." Barbara berkedip lugu. Philip menggeleng dengan senyum manis. "Ini terlalu banyak untukku. Lagi pula, kita masih punya makanan lain kalau belum kenyang." Barbara pun mendekatkan mangkuknya. "Okelah kalau begitu. Sedikit saja, Philip." Sementara sang suami menambahkan isi mangkuknya, mata Barbara kembali bergerak ke samping. "Kenapa kalian mas
Merasakan kehadiran seseorang, Philip menoleh ke belakang. Saat itu pula, Shania menjatuhkan lutut dan merentangkan tangan. Sebelum perempuan itu berhasil memeluknya, Philip cepat-cepat menahan pundaknya dengan sisi luar dari lengan bawahnya. "Apa yang kau lakukan? Apakah kau sudah gila?" Philip menatap lurus ke mata Shania, menyatakan ketidaksenangannya. "Berikan aku satu kesempatan, Philip. Biarkan aku memelukmu satu kali. Kau akan tahu bahwa istrimu tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku." Philip meringis. Sudut bibirnya berkedut jijik. "Kau sudah tidak waras!" "Aku memang bisa gila kalau gagal mendapatkanmu!" Shania menekan tubuhnya ke arah Philip. Tangannya menggapai-gapai, menyentuh apa saja yang bisa diraihnya. Poppy hanya bisa tercengang menyaksikan kenekatan sahabatnya itu, sedangkan Barbara ternganga dengan kepala menggeleng tak percaya. "Tolong, Philip, berhentilah menolakku! Aku jauh lebih bisa membahagiakanmu!" Philip memalingkan wajah kusutnya dan mendesah lelah.
"Shania!" Suara Poppy tiba-tiba membuyarkan lamunan Shania. Saat ia menoleh, sahabatnya itu menyodorkan baju. "Pakailah ini dulu. Kurasa Philip benar. Sebentar lagi, bisa saja ada pengunjung yang datang untuk menyaksikan midnight sun. Jangan sampai mereka melihatmu begini." Mata Shania berkaca-kaca, menatap lurus ke wajah sahabatnya. Bibirnya terkatup rapat, menanti kiriman kata dari otak yang masih sibuk mencerna keadaan. "Kurasa kondisi kita tidak jauh berbeda, Shania." Barbara memecah keheningan. "Aku tidak punya sahabat, tapi aku punya suami yang baik. Sedangkan kamu, kau belum punya suami, tapi kau memiliki sahabat terbaik. Kalau dipikir lebih dalam, kurasa kau sedikit menang dariku." Mata Shania menyipit. "Mengapa begitu?" Barbara mengerutkan mulut dan menatap ke arah langit. "Kau bisa saja jatuh cinta, berpacaran, dan menikah hanya dalam sekejap. Tapi untuk menemukan seorang sahabat sejati, kau butuh bertahun-tahun lamanya. Jadi ...." Barbara kembali memandang Shania dengan
"Hai Philip dan Barbara, Maaf kami pergi tanpa pamit. Aku merasa kalau aku tidak akan sanggup menyampaikan kata-kata ini secara langsung. Maaf kalau selama ini aku telah mengganggu bulan madu kalian. Semua itu kulakukan karena aku iri pada Barbara. Dia mendapatkan cinta yang kupikir belum pernah kurasakan sebelumnya. Terima kasih telah menyadarkan aku bahwa ternyata, aku juga sudah menerima cinta semacam itu—cinta yang tulus. Bukan dari suami atau kekasih, tapi dari sahabatku sendiri. Bersama Poppy, aku akan melanjutkan perjalanan dan bersenang-senang dengan cara kami sendiri. Kalian juga bersenang-senanglah. Kuharap kalian tidak bertemu dengan gadis gila seperti diriku kemarin. Love, Shania." Usai membaca surat dari Shania, mata Barbara berkaca-kaca. Philip sampai membungkuk, mengira dirinya salah lihat. "Sayang, apakah kau menangis?" Ia memeriksa mata Barbara lebih dekat. Barbara seketika mengerjap. Sambil mengusap mata, ia menggeleng. "Tidak. Siapa yang menangis? Aku hanya s