Hai, hai! Maaf super telat updatenya. Pixie kudu bolak-balik riset takut salah informasi. Hwahaha. Tapi semoga suka ya. Bab ini lebih panjang, semoga tidak membosankan. Selamat menikmati!
"Philip, pelan-pelan! Kamu terlalu cepat!" pekik Barbara di sela desah napasnya. Sambil tergelak, Philip malah mempertahankan kecepatannya menuruni jalan berbatu. Kedua tangannya direntangkan ke belakang, membentuk pagar agar sang istri tidak keluar dari jalur yang seharusnya ataupun terjerembap. "Apakah kamu takut mimpimu menjadi nyata?" "Ya!" sahut Barbara di puncak suara. "Tidak lucu kalau kita menggelinding di sini." "Tapi kamu harus bisa bertahan sampai bawah, Sayang. Ini melatih otot tungkaimu!" "Ini bukan melatih otot namanya. Ini menguji nyali!" Tawa Philip kembali mengudara. "Kalau begitu, pegangan lebih erat! Kita tambah kecepatan!" "Philip!" Barbara tidak sempat lagi memperhatikan arah lain. Ia hanya fokus dengan gerakan kakinya. Kerja paru-parunya bahkan tidak beraturan. Begitu medan yang mereka lalui tidak lagi curam, Philip akhirnya melambat. Ketika langkahnya terhenti, ia langsung berbalik dan memeluk Barbara. "Selamat, Sayang. Kau berhasil menaklukkan satu gun
"Ini ...." Barbara menyerahkan panci beserta dua bungkus mi instan kepada Poppy. "Tolong beri tahu kepada temanmu untuk tidak mengganggu kami lagi." "Aku tidak mengganggu—" "Shania," Poppy menahan langkah sahabatnya, "kita sudah mendapatkan makan malam dari mereka. Sudahlah, tidak perlu ribut." Sementara Shania mendengus dan membuang muka, Poppy mengangguk kepada Barbara. "Terima kasih. Besok kami kembalikan pancinya dalam keadaan bersih dan juga dua bungkus mi." Setelah mengangguk malas, Barbara mengambil mangkuknya dan duduk di samping Philip. "Mau tambah lagi?" tanya Philip saat Barbara sedang meniup-niup mi. "Nanti kamu tidak cukup." Barbara berkedip lugu. Philip menggeleng dengan senyum manis. "Ini terlalu banyak untukku. Lagi pula, kita masih punya makanan lain kalau belum kenyang." Barbara pun mendekatkan mangkuknya. "Okelah kalau begitu. Sedikit saja, Philip." Sementara sang suami menambahkan isi mangkuknya, mata Barbara kembali bergerak ke samping. "Kenapa kalian mas
Merasakan kehadiran seseorang, Philip menoleh ke belakang. Saat itu pula, Shania menjatuhkan lutut dan merentangkan tangan. Sebelum perempuan itu berhasil memeluknya, Philip cepat-cepat menahan pundaknya dengan sisi luar dari lengan bawahnya. "Apa yang kau lakukan? Apakah kau sudah gila?" Philip menatap lurus ke mata Shania, menyatakan ketidaksenangannya. "Berikan aku satu kesempatan, Philip. Biarkan aku memelukmu satu kali. Kau akan tahu bahwa istrimu tidak ada apa-apanya dibandingkan diriku." Philip meringis. Sudut bibirnya berkedut jijik. "Kau sudah tidak waras!" "Aku memang bisa gila kalau gagal mendapatkanmu!" Shania menekan tubuhnya ke arah Philip. Tangannya menggapai-gapai, menyentuh apa saja yang bisa diraihnya. Poppy hanya bisa tercengang menyaksikan kenekatan sahabatnya itu, sedangkan Barbara ternganga dengan kepala menggeleng tak percaya. "Tolong, Philip, berhentilah menolakku! Aku jauh lebih bisa membahagiakanmu!" Philip memalingkan wajah kusutnya dan mendesah lelah.
"Shania!" Suara Poppy tiba-tiba membuyarkan lamunan Shania. Saat ia menoleh, sahabatnya itu menyodorkan baju. "Pakailah ini dulu. Kurasa Philip benar. Sebentar lagi, bisa saja ada pengunjung yang datang untuk menyaksikan midnight sun. Jangan sampai mereka melihatmu begini." Mata Shania berkaca-kaca, menatap lurus ke wajah sahabatnya. Bibirnya terkatup rapat, menanti kiriman kata dari otak yang masih sibuk mencerna keadaan. "Kurasa kondisi kita tidak jauh berbeda, Shania." Barbara memecah keheningan. "Aku tidak punya sahabat, tapi aku punya suami yang baik. Sedangkan kamu, kau belum punya suami, tapi kau memiliki sahabat terbaik. Kalau dipikir lebih dalam, kurasa kau sedikit menang dariku." Mata Shania menyipit. "Mengapa begitu?" Barbara mengerutkan mulut dan menatap ke arah langit. "Kau bisa saja jatuh cinta, berpacaran, dan menikah hanya dalam sekejap. Tapi untuk menemukan seorang sahabat sejati, kau butuh bertahun-tahun lamanya. Jadi ...." Barbara kembali memandang Shania dengan
"Hai Philip dan Barbara, Maaf kami pergi tanpa pamit. Aku merasa kalau aku tidak akan sanggup menyampaikan kata-kata ini secara langsung. Maaf kalau selama ini aku telah mengganggu bulan madu kalian. Semua itu kulakukan karena aku iri pada Barbara. Dia mendapatkan cinta yang kupikir belum pernah kurasakan sebelumnya. Terima kasih telah menyadarkan aku bahwa ternyata, aku juga sudah menerima cinta semacam itu—cinta yang tulus. Bukan dari suami atau kekasih, tapi dari sahabatku sendiri. Bersama Poppy, aku akan melanjutkan perjalanan dan bersenang-senang dengan cara kami sendiri. Kalian juga bersenang-senanglah. Kuharap kalian tidak bertemu dengan gadis gila seperti diriku kemarin. Love, Shania." Usai membaca surat dari Shania, mata Barbara berkaca-kaca. Philip sampai membungkuk, mengira dirinya salah lihat. "Sayang, apakah kau menangis?" Ia memeriksa mata Barbara lebih dekat. Barbara seketika mengerjap. Sambil mengusap mata, ia menggeleng. "Tidak. Siapa yang menangis? Aku hanya s
Ava mengamati langit dengan saksama. Ia seperti mencari sesuatu di antara kelap-kelip bintang beraneka warna. Ketika segaris cahaya putih melintas, ia langsung meruncingkan telunjuk, memberitahukan Jeremy di mana lokasinya. "Aku melihat satu!" Kemudian, sambil menepuk-nepuk dada Jeremy, ia berbisik, "Kuharap aku bisa melahirkan anak kita dengan lancar." Jeremy tersenyum mendengar doa tersebut. "Amin. Kuharap kau dan bayi kita selalu sehat." Ava tersenyum kecil. "Kau harus menemukan bintang jatuh dulu, Jeremy. Baru kau boleh membuat harapan. Begitu aturannya." Setelah mengecup kepala sang istri, Jeremy menghela napas. "Oke." Namun, ketika ia baru mengembalikan pandangan ke angkasa, Ava kembali menegakkan telunjuk dan berseru, "Ada satu lagi. Kuharap anak kita nanti mirip denganmu." Alis Jeremy langsung berkerut. "Kenapa mirip denganku? Aku malah berharap dia mirip denganmu." "Kau memiliki wajah yang tampan, Jeremy, sedangkan aku biasa-biasa saja. Kau juga memiliki postur tubuh y
Ava menggeleng tanpa berpikir panjang. "Aku tidak keberatan. Lagi pula, kita sudah menghabiskan cukup banyak waktu berdua di sini. Apakah kau keberatan?" "Tidak juga. Mau pergi ke sana sekarang? Mereka pasti terkejut melihat kita." Jeremy mengangguk ringan.Ava pun bangkit duduk sambil mengulum senyum. "Mereka seharusnya mematikan GPS kalau tidak mau terlacak oleh kita. Dan mereka seharusnya meminjam teleskop di tempat yang berbeda." "Dan menyewa campervan di tempat yang berbeda," sambung Jeremy sembari menegakkan punggung. "Padahal, Frank jarang lengah. Tapi tadi, aku bahkan bisa melihat van mereka dengan jelas di spion.""Mungkin karena kau mengemudi terlalu lambat, Jeremy. Dia jadi tidak sabar."Sambil membantu Ava berdiri, Jeremy bergumam, "Padahal istrinya juga sedang hamil. Dia seharusnya lebih berhati-hati agar van mereka tidak berguncang.""Jalanan di sini mulus, Jeremy. Apa yang kau khawatirkan?" Jeremy mengedikkan bahu. "Siapa tahu ada batu atau lubang di tengah jalan? Apa
Louis melirik Emily dengan tatapan penuh makna. Setelah memainkan alis, keduanya menutupi mulut dan terkikik. "Aku dan Emily punya huruf L dalam nama kami," Louis membuka penjelasan. "Sedangkan Mama dan Papa punya huruf R di nama mereka," lanjut Emily sebelum mengangguk dalam. "Jadi ...." "Adik kami harus punya huruf L dan R dalam namanya!" Si Kembar kompak berjinjit dan merentangkan tangan. Sementara Kara tertawa gemas, Jeremy dan Ava bertatapan. "L dan R? Kukira ada hubungannya juga dengan angkasa.""Tidak, Bibi. Kami mendiskusikannya saat dalam perjalanan menuju ke sini. Kami belum melihat langit yang secantik ini." Louis menggeleng tipis."Kalau begitu, apakah namanya Larry? Rully? Raul? Lyra? Liar?" Bibir Emily langsung mengerucut. "Bukan, Paman. Jangan asal menebak. Kami sudah bersusah payah memikirkannya bersama Mama dan Papa." Jeremy terkekeh ringan. "Lalu apa?" "Kalau dia perempuan, namanya Rylee!" Emily merapatkan tangan dan menaruhnya di samping pipi. "Dan kalau dia