Berhubung siang sampai malam Pixie sibuk, Pixie update lebih awal. Semoga suka! Terima kasih sudah membaca.
Gagal membangkitkan ingatan, staf wedding organizer itu menghubungi rekannya lagi. "Monitor dua. Mohon informasi. Siapa nama tamu tadi?" Sementara si staf menyimak jawaban dari rekannya, Frank dan Kara bertukar pandang. Napas mereka tertahan. Jantung mereka berdegup cepat. "Lapor, Tuan. Nama tamu yang tidak membawa undangan itu adalah Sean. Dia datang bersama istrinya. Dia berjalan dengan bantuan tongkat." Mendengar nama itu, Frank dan Kara menghela napas lega. Si Kembar menoleh dengan mata bulat. "Apa? Sean datang?" "Benar, Tuan Muda." Dengan mata berbinar, Louis menatap adiknya. "Emily, kita tidak boleh diam saja di sini. Kita harus menyambut Sean!" Emily mengangguk kecil. "Ya. Ayo kita temui Sean!" Melihat dua balita itu sudah lebih dulu berlari, Frank mengecup kening istrinya. "Tunggulah di sini. Kami tidak akan lama." Kara mengangguk. Frank pun buru-buru menyusul si Kembar. "Sean! Sean!" Tanpa memedulikan posisi berdiri Sean yang agak timpang, si Kembar menyerbu pria itu
Menyadari kehadiran seseorang di sisi mereka, si Kembar menoleh. Begitu mereka mendapati Sophia, mata mereka membulat. Kaki mereka spontan mundur, menjauh dari sang wanita. "Sophia, kenapa kamu ada di sini?" Louis merentangkan sebelah tangan, menggeser Emily untuk bersembunyi di balik punggungnya. "Kedua orang tuaku sedang terkurung dalam penjara. Aku tidak mungkin membiarkan perusahaan mereka terbengkalai. Apalagi, keluarga besar Moore telah mengasingkan kami. Mereka tidak mau mencampuri bisnis kami. Jadi, siapa lagi yang bisa mengurusnya kalau bukan aku?" Louis tertunduk menggembungkan pipi dan menyudutkan bola matanya ke atas. "Bukan itu maksudku. Kenapa kau ada di acara ini?" Saat itu pula, Frank tiba di sisi mereka. Ia menarik anak-anaknya mundur ke arah Kara sebelum maju menghadapi Sophia. "Mau apa kau kemari? Ini pernikahan privat. Kau tidak bisa datang seenaknya." Sophia mendesak bibirnya dengan dagu. "Aku tidak datang seenaknya." Setelah merogoh tas, ia mengeluarkan se
Ava mendekati Jeremy dengan ragu-ragu. Pria itu masih menempatkan kedua siku pada lutut, tertunduk sambil mengurut pelipis. Sesekali, pundaknya tampak naik, terdesak sesak yang terus mengimpit jantung. Ava tak sampai hati melihatnya. "Jeremy," panggil Ava lirih. Saat pria itu melirik dari sudut atas matanya, ia melanjutkan, "Apakah kau mau kutemani?" Jeremy menggeleng kecil. "Aku baik-baik saja, Ava. Hanya butuh waktu untuk berpikir. Kau temani saja yang lain di meja makan. Aku akan segera menyusul." Sementara Jeremy mengangguk, berusaha meyakinkannya, Ava termenung. Selang pertimbangan singkat, ia beringsut duduk di bangku yang sama. "Aku tidak akan berisik. Anggap saja aku sedang tidak di sini. Kau bisa lanjut berpikir." Ava tertunduk, tak ingin membuat Jeremy merasa terintimidasi. Akan tetapi, Jeremy malah bergeming. Tatapan sayunya terus tertuju pada Ava. Selang satu kedipan, barulah ia mengubah arah pandang—kembali pada foto USG di tangannya. "Kau tahu?" Suara Jeremy memecah
"Jadi itu benar?" Frank merapatkan telinga pada ponsel. Raut seriusnya membuat orang-orang di sekeliling meja makan semakin bertanya-tanya. "Baiklah, terima kasih. Tolong segera kabari aku kalau ada informasi lain." Begitu Frank menutup telepon, semua orang mencondongkan badan ke depan. "Bagaimana?" tanya beberapa orang kompak. Frank menggeleng samar. "Sophia tidak berbohong. Dia benar-benar sudah menggugurkan kandungannya." Beberapa orang sontak bersandar pada kursi mereka, termasuk Kara. "Sungguh bayi mungil yang malang," desahnya. "Ayolah, tidak usah terlalu bersedih. Coba lihat sisi positifnya. Bayangkan kalau Sophia mempertahankan janinnya. Jeremy bisa-bisa terikat padanya. Pernikahannya dengan Ava bisa terancam," celetuk Melanie ringan. Barbara seketika terbelalak. "Mama?" tegurnya, setengah berbisik. "Apa? Aku berkata apa adanya. Apakah perkataanku salah?" "Meskipun itu benar, hargai perasaan Nyonya Bell. Bagaimanapun, itu cucunya," bisik Barbara dengan alis berkerut. "
Louis dan Emily melambaikan tangan dengan senyum cerah. Meskipun mereka tidak bisa ikut, mereka turut merasakan kegembiraan si pasangan baru. "Da, Bibi dan Paman Philip! Selamat berbulan madu! Bersenang-senanglah di sana." "Kabari kami kalau kalian sudah sampai! Dan jangan lupa kirimkan banyak foto." Barbara terkekeh gemas. "Kami baru akan tiba besok, Emily. Tapi nanti pasti akan kami kabari." "Oke, Bibi." Si Kembar memeluk Barbara lalu Philip. Setelah mundur, merapatkan punggung pada Frank dan Kara, mereka melambai lagi. Philip dan Barbara balas melambai dengan wajah semringah. Kemudian, sambil bergandengan tangan, mereka masuk ke gerbang keberangkatan. *** "Woohoo!" Barbara merentangkan tangan sembari menghadap lautan. Wajahnya menengadah, menantang langit cerah yang terbentang di atas kapal mereka. "Ini sangat indah, Philip." Matanya terpejam, menikmati semilir angin yang terasa sejuk di pipinya. "Ini akan menjadi perjalanan terbaik yang pernah kumiliki."Melihat keceriaan s
Begitu keluar dari kapal, Barbara kembali merentangkan tangan. Wajahnya cerah, senyumnya semringah. "Ini adalah kombinasi yang sempurna. Hijau, biru, dan kamu." Ia berputar menghadap Philip. "Aku?" Philip memiringkan kepala. Sudut bibirnya berkedut, kesulitan menyembunyikan kegembiraan. Barbara mengangguk. Lengkung bibirnya menjadi lebih manis. "Ya, kamu." "Tapi aku bukan warna." Philip menggeleng dan merapat dengan Barbara. Barbara pun ikut menggeleng sambil tertawa kecil. "Memang bukan. Tapi kehadiranmu telah mewarnai hari-hariku. Kamu adalah warna terindah dalam hidupku, Phil." Philip akhirnya meloloskan tawa. Sambil menggigit bibir, ia menggeleng tipis. "Kau beruntung kita sedang di ruang terbuka. Kalau saja kita ada di kamar ...." Mata Barbara menyipit. "Kau mau menggelitikku? Membantingku seperti atlet bela diri?" "Kau tahu apa yang kumaksud." Barbara terkekeh. "Kita bisa melakukan itu nanti, Philip. Bukankah kita akan segera ke penginapan?" "Ya, memang. Tapi aku sungg
"Lihatlah betapa terjal gunung-gunung itu, Phil!" Barbara menunduk, mengintip puncak gunung yang bisa teramati dari kaca depan. "Apakah gunung yang akan kita daki seterjal itu?" Philip melirik dengan senyum simpul. "Kenapa? Kau takut?" Bibir Barbara mengerucut. "Tidak. Aku kan bersamamu. Kenapa aku harus takut?" Ketika mengembalikan pandangan ke depan, Barbara langsung meruncingkan telunjuk. "Lihat! Rumah itu lucu sekali. Dan kenapa warnanya merah lagi? Apakah semua rumah di sini berdinding merah?" "Apakah kamu tahu? Pada zaman dulu, warna cat rumah di sini mencerminkan status sosial pemiliknya." Alis Barbara meninggi. "Status sosial?" Philip mengangguk. "Ya. Cat merah merupakan yang paling murah dari cat lainnya. Karena itu, banyak penduduk seperti petani dan nelayan mengecat rumah mereka dengan warna merah." Sementara mulut Barbara membulat, Philip menambahkan, "Selain itu, ada cat kuning yang lebih mahal, lalu cat putih. Dari situlah, warna cat menjadi simbol kekayaan seseor
Poppy bersenandung kecil sambil menghiasi kuku-kukunya. Sesekali, ia melihat keluar jendela. Gesturnya tampak santai. Namun, ketika melihat jendela di kabin sebelah tertutup rapat, punggungnya menegak. "Shania, kurasa mereka pergi keluar." Gadis yang sedang berbaring dengan masker kecantikan di wajah sontak duduk di atas kasur. "Apa katamu?" "Pangeranmu keluar dari kabinnya." Tanpa sempat mencopoti masker, ia berjalan menghampiri sahabatnya. Melihat jendela di kabin sebelah tidak lagi bercelah, ia beralih ke jendela depan. Philip dan Barbara ternyata sedang berjalan bergandengan tangan. "Mau ke mana mereka?" Shania mengerutkan alis. Sesaat kemudian, ia menepuk-nepuk pundak temannya. "Poppy, inilah saatnya. Ayo cepat bersiap. Kita tidak boleh kehilangan jejak mereka." "Sekarang?" Poppy terbelalak. Cat kukunya bahkan belum mengering dengan sempurna. Sambil bergegas berganti pakaian, Shania menoleh sekilas. "Tentu saja. Ayo!" Masih dengan jari-jari yang diluruskan, Poppy mengambi
Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y
Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu
"Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"
"Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k
Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku
"Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma
"Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma
"Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P
Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum