Dirgahayu Indonesia! Dan selamat untuk Philip dan Barbara. Nanti siang sah, ya. Ada yang mau ngucapin sesuatu ke pasangan kocak ini? Berawal dari pertengkaran, eh, berakhir di pelaminan.
Sambil tersenyum manis, Emily dan Louis berjalan menuju tirai kristal. Tangan mereka terus memencet-mencet pistol, mengeluarkan gelembung-gelembung yang memantulkan warna kemerahan langit senja. Saking fokusnya dengan bola-bola tipis itu, langkah mungil mereka menjadi tidak stabil. Terkadang melambat, terkadang miring sehingga mereka hampir bertabrakan. Semua orang mengulum senyum menyaksikannya. "Apakah dulu mereka semanis itu saat berjalan di pernikahan kita?" Kara mencondongkan tubuhnya ke arah Frank. Tangannya yang menekan dada sang pria terasa hangat. Sambil tersenyum, Frank mengusap lengan istrinya. "Ya, mereka semanis itu. Tapi kurasa, Barbara tidak secantik kamu." Kara memicingkan mata dengan raut jenaka. "Jangan sampai Barbara mendengar itu, Frank. Dia bisa cemberut." Frank tertawa tanpa suara. "Dia sudah dewasa. Hari ini, dia akan mulai berkeluarga. Dia seharusnya sudah tidak terpengaruh oleh hal-hal seperti itu, Ratu Lebah." "Tapi jangan coba-coba mengujinya," bisik Ka
"Emily, bisakah kamu berhenti merapat padaku? Aku mulai berkeringat karena kamu menempel terus." Louis melonggarkan dasi kupu-kupunya. Mendengar bisikan tersebut, Emily mencebik. Tangannya enggan melepas lengan Louis. Alisnya mengharapkan iba. "Tapi aku takut, Louis. Kita tidak tahu yang mana penjahatnya. Dia bisa saja ada di dekat kita." "Ya, tapi kita bersama banyak orang di sini, dan ada banyak pengawal. Apa yang kamu takutkan?" Emily melirik sekeliling. Seluruh pelayan sedang berbaris. Wajah mereka penuh kerutan, apalagi saat Frank dan Jeremy menghampiri. Di sisi lain, orang-orang duduk dengan raut sama. Beberapa merapatkan tangan, berdoa, berharap pelaku yang menyekap seorang pelayan dalam ruang janitor dan merampas seragamnya cepat tertangkap. Hanya ada satu orang yang tidak bisa berhenti mengomel—si pengantin wanita. "Bagaimana mungkin kita bisa kecolongan? Apakah tim keamanan tidak bekerja dengan benar? Tim pengawas juga seharusnya tidak lengah. Kalau perlu, mereka jangan
Melihat Hailey pergi ke ruang ganti, mata Emily membulat. "Kenapa Nenek Melanie mengizinkan Hailey menemui Bibi?" Suara kecilnya terdengar khawatir. Pipi Louis pun menggembung. "Aku tidak tahu, tapi dia pasti berniat untuk mengganggu Bibi." Sedetik kemudian, ia menatap Emily lekat-lekat. "Ini gawat Emily. Bibi sedang dalam bahaya. Kita harus menyelamatkannya!" Alis Emily langsung berkerut tak sepakat. "Ada pengawal yang mengiringi Hailey, Louis. Ada Philip juga di ruang ganti. Hailey tidak mungkin bisa menyakiti Bibi. Kurasa ini bukan urusan kita, Louis." "Tapi fokus mereka adalah melindungi Bibi dari penjahat, bukan Hailey. Buktinya, Papa dan Nenek membiarkan Hailey lewat. Hanya kita yang bisa menghentikan Hailey!" Tiba-tiba, Louis melompat turun dari kursi. Emily berkedip-kedip melihatnya. "Aku akan pergi menyelamatkan Bibi. Kamu mau ikut atau tidak?" Emily menggamit jemarinya sendiri. "Bukankah itu berbahaya, Louis? Papa meminta kita semua untuk tetap di ruangan ini." "Kamu s
"No!" Jemari Hailey mekar beberapa senti di depan pipi. Sorot matanya ngeri, seperti sedang melihat penampakan hantu di cermin. Semua orang kompak mengerutkan alis. Tidak seorang pun berani mendekat, kecuali Barbara. Ia menyentuh pundak Hailey, bertanya, "Ada apa, Hailey?" Saat gadis itu berbalik, Barbara terkesiap. Kakinya spontan melangkah mundur, seolah tak ingin tertular. "Ada apa dengan wajahmu?" "Akulah yang seharusnya bertanya! Ada apa dengan wajahku? Kenapa kulitku jadi begini?" Hailey berbalik menghadap cermin. Ia meraih tisu dan menggosok pipi. Sedetik kemudian, ia meringis. "Auh, perih sekali ...." Sambil mengipas-ngipasi wajah, Hailey mulai menangis. Melihat itu, Philip pun menarik tisu dan memungut kotak bedak. "Ini merkuri," gumamnya setelah mengamati dengan teliti. Semua orang terkesiap. "Merkuri? Bagaimana mungkin? Bedak itu masih disegel tadi," celetuk salah seorang dari tim make up. "Lalu apa yang harus kulakukan dengan wajahku? Kalian harus bertanggung jawab!
"Papa, apakah telah terjadi sesuatu kepada Mama? Kenapa Mama tidak menjawab?" Emily kembali mencebik. Tangannya mencengkeram jas Jeremy lebih kuat. Louis ikut mencebik. Kedua tangannya terkepal di depan perut. Pandangannya terangkat, menanti jawaban dari sang ayah. Namun, Frank tidak menjawab. Tangannya terangkat menuju pintu. Tepat ketika ia hendak membenturkan buku jari, pintu berayun ke arah dalam. Sedetik kemudian, Kara muncul sambil bersenandung. Ia tersentak saat mendapati keberadaan sang suami. "Oh, Frank? Kenapa kau di sini?" "Kau baik-baik saja?" Frank memegangi kedua lengannya, bertanya dengan nada serius. Namun, Kara malah terkekeh. Tangannya mengelus-elus perut. "Sepertinya aku perlu makan lebih banyak sayur. Aku takut kalau si Kecil yang keluar. Aku jadi ragu-ragu mau mengejan." "Kalau Mama baik-baik saja, kenapa Mama tidak menjawab saat Papa memanggil?" Kara menurunkan pandangan. Matanya membulat menyadari keberadaan Louis di samping sang suami. "Madu Kecil? Kena
"Sambungkan aku dengan Eva!" Patricia mengulurkan tangan. Asistennya cepat-cepat menghubungi nomor Eva dan menyerahkan ponselnya. "Kupikir aku tidak ada urusan denganmu. Mengapa kau menghubungiku?" Patricia sama sekali tidak terdengar ramah. Namun, Eva membalasnya dengan santai. "Selamat malam, Nyonya Moore. Maaf mengganggu waktu Anda. Aku punya penawaran khusus. Bukankah kita masih berada di pihak yang sama?" Sebelah alis Patricia berkerut. "Kau pikir begitu?" "Aku tidak munafik. Aku memang sempat marah kepada Anda. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, aku sadar. Kebakaran di butikku adalah konsekuensi karena aku telah mengecewakan Anda." Bibir Patricia mengerucut. "Lalu?" "Aku sadar bahwa musuh kitalah yang patut disalahkan. Ava Connor, Jeremy Harper, bocah-bocah nakal itu. Butikku tentu masih utuh kalau mereka tidak menyandungku. Karena itu, aku berniat menghancurkan mereka." Sebelah sudut bibir Patricia terangkat tipis. "Apa hubungannya itu denganku? Dendammu adalah urusanmu."
Sambil melihat-lihat daftar rekaman suara, Frank bergumam, "Ya, Papa rasa tidak ada salahnya menggunakan trik musuh untuk serangan balik. Eva sudah pernah berada di dalam benteng mereka. Dia tahu lebih jelas di mana celahnya. Untuk itu, terima kasih, Nona Connor." "Jadi Eva sekarang orang baik? Dia bukan lagi musuh kita?" Mata Emily membulat. Tiba-tiba saja, Louis melangkah maju dan menyodorkan tangannya. "Maafkan aku, Eva. Tadi aku mengira kalau kau adalah musuh. Kalau saja aku tahu kau telah menjadi teman, aku tidak akan menodongmu dengan senjata." Dengan senyum miring, Eva menatap Louis. "Kau tidak takut bersalaman denganku? Bagaimana kalau aku menarikmu dan melakukan sesuatu yang buruk?" "Kalau itu terjadi, maka kau akan langsung menggelepar dan pingsan. Aku masih memegang senjata, kau ingat? Jangan macam-macam denganku." Louis memperlihatkan pistolnya di samping kepala. Tawa kecil pun lolos dari mulut Eva. Ia menyalami Louis lalu mengedarkan pandangan kepada orang-orang yang
Patricia tercengang melihat beberapa petugas kepolisian turun dari mobil. Mulutnya membuka dan menutup, berusaha mengekspresikan keterkejutan. "Apa-apaan ini? Apa yang mereka lakukan di rumahku?" "Anda sudah tidak bisa mengelak lagi, Nyonya Moore. Semua bukti sudah jelas." Frank tersenyum penuh kemenangan. Sedetik kemudian, kamera bergeser, menampilkan seorang pria berjas dengan lencana polisi di tangannya. "Selamat malam, Nyonya Patricia Moore. Kami dari kepolisian telah menerima banyak pengaduan tentang Anda. Anda dituduh melakukan penculikan, pelanggaran privasi, pengrusakan bangunan, serta perencanaan pembunuhan. Petugas kami datang untuk menahan Anda." Napas Patricia bergemuruh hebat. Pundaknya gemetar, memunculkan guratan merah pada matanya. "Tidak! Semua tuduhan itu tidak benar. Bukti yang kalian kumpulkan itu palsu. Kalian mengada-ada!" "Serahkan diri Anda—" Patricia mematikan telepon dan melempar ponsel ke lantai. Benda malang itu seketika hancur berserakan. "Kurang aj