All Chapters of Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan: Chapter 121 - Chapter 130

525 Chapters

121. Piknik di Pantai

Frank berkedip-kedip, kehabisan kata. Selang perenungan singkat, ia memajukan kepalanya dan berbisik, "Apakah kamu benar-benar berusia empat tahun?" "Ya, minggu depan aku ulang tahun." Louis tetap berusaha sangar meskipun sedikit bingung.  "Lalu kenapa kamu tahu banyak tentang urusan orang dewasa?" Louis menaikkan alis dan menjawab santai, "Karena aku anak jenius. Aku mengerti kalau setiap orang harus setia kepada pasangannya, dan hubungan mereka harus mendapat izin dari orang-orang terdekat." Frank menurunkan sebelah alis. "Siapa yang memberitahukan itu?" "Itu jawaban Mama saat kami bertanya tentang Brandon. Dia tidak setia kepada pacarnya. Jadi, dia ditampar dengan keras. Orang tuanya juga marah padanya."  Sembari mengangguk, Frank mengelus dagu. "Jadi, aku baru boleh mencium Mama-mu kalau aku sudah mendapat izin darimu?"  Louis mengangguk. "Dan memutuskan pacarmu. Memangnya kamu tidak mengerti? Laki-laki hanya
Read more

122. Dia Mendekati Mama Lagi

"Maaf, Emily. Aku tidak seharusnya menuangkan terlalu banyak sunscreen," desahnya berat. Sekarang, ia hanya bisa berharap Emily tidak mewarisi temperamennya juga. Mendengar penyesalan itu, Kara tergelitik. Sambil mengulum senyum, ia menghibur sang putri. "Jangan sedih, Madu Kecil. Dengan begini, kulitmu justru akan lebih terlindungi dari matahari. Dan ... tada, kamu sudah kembali cantik." "Sunscreen-ku sudah rapi?" Emily memperlihatkan wajahnya kepada semua orang. "Kamu seharusnya seperti tadi saja. Itu lebih cocok untukmu," ledek Louis sambil terkekeh. "Tapi Emily, apa pun yang terjadi, kamu tetap cantik. Kamu tidak seharusnya mengkhawatirkan penampilanmu." Frank mengusap punggung si gadis mungil. Mendapatkan kepercayadiriannya kembali, sang balita berhenti mencebik. Setelah mengenakan topi dan kacamata hitam, ia berseru, “Ayo, Louis, Philip! Kita bangun istana pasir sekarang.” Bersama-sama, mereka menghampiri garis pantai. Tangan mereka penuh ember dan sekop. "Sayang sekali
Read more

123. Finnic Miller?

Kara tersentak dan kerongkongannya tercekik. Sosok di hadapannya itu telah memunculkan beragam rasa. Kenangan yang telah usang pun berkelebat dalam benaknya. Melihat terguncangnya Kara, Frank sontak mendesak dahi. "Finnic ...? Finnic Miller?" Dengan mata yang tak kalah lebar, ia mengamati si orang asing. Pria itu sama sekali tidak berkedip. Matanya yang bergetar hanya tertuju pada Kara.  “Kara?” desah Finnic, memecah keheningan. Perlahan-lahan, senyum jijik melengkung di wajahnya. “Tak kusangka kita bertemu di sini. Dunia ini sempit sekali.” Kara tidak menjawab. Ia masih berjuang keluar dari kecanggungan.   "Mama kenal Tuan ini? Dia yang menghancurkan istana kami. Dia juga menyindir tangan Louis," lapor Emily seraya memegangi kaki sang ibu.  "Ya! Dia bahkan tidak meminta maaf dengan tulus, dan tidak mau bertanggung jawab. Mama harus menegur dia," lanjut Louis dengan bibir mengerucut.  Akan teta
Read more

124. Kehadiran Mantan Calon Suami

Kara spontan menoleh. Wajahnya masih pucat dengan raut datar, tetapi matanya sudah bisa berkedip.  Sementara Finnic, tawanya tak lagi tertahankan. "Tak kusangka, kau masih mahir menipu pria?"  Ia maju selangkah. Sambil mencondongkan kepala ke depan, ia berbisik, "Maaf, Kara, tapi aku tidak bisa membiarkan kamu menjerat korban lain. Karena itu ...." Ia menyodorkan tangan kepada Frank. "Perkenalkan. Aku Finnic Miller, mantan calon suami Kara." Frank tidak menjabat tangan itu. Ia hanya berkedip dan memajukan bibirnya sedikit. "Lalu?" Finnic sontak menaikkan alis. Ia tidak mengharapkan reaksi itu. Bukankah pria bermata abu-abu itu seharusnya terkejut? Mengapa ia malah santai begitu? "Apakah kau tidak penasaran mengapa kami tidak jadi menikah? Aku berani bertaruh. Begitu kau tahu alasannya, kau tidak akan memandang perempuan ini dengan cara yang sama." Kara tidak tahan lagi mendengar perkataan si mantan. Sambil menarik baj
Read more

125. Kegembiraan dalam Helikopter

Setibanya di pangkalan helikopter, Louis dan Emily tidak bisa menutupi gigi. Apalagi, ketika mereka dipakaikan seragam khusus layaknya pilot, celotehan mereka semakin melengking. "Lihat, Mama! Baju ini sangat cantik. Cocok untukku.""Aku juga keren. Kalau saja tanganku tidak digips, orang-orang pasti mengira aku pilotnya." Louis menepuk helmnya dengan bangga. Sesaat kemudian, Frank muncul dengan seragam serupa. Namanya terukir di bagian dada. "Wah, aku juga mau ada namaku di baju ini," tutur Emily dengan leher meninggi. Dengan senyum simpul, Frank menunjukkan dua papan kecil bertuliskan tinta emas. Melihat nama mereka terukir di sana, pekik gembira lagi-lagi bergema.“Kita juga dapat, Louis! Kita juga dapat!”“Kita benar-benar seperti pilot keren!” Sambil ikut tertawa, Frank memasangkannya untuk si Kembar. "Sekarang, kalian siap lepas landas?""Siap, Kapten!" Dengan langkah tinggi, balita itu melangkah maju. Namun, menyadari sang ibu tidak mengekor, mereka berhenti. "Kenapa Ma
Read more

126. Bagaimana Cara Membuatmu Bahagia?

Sambil berpikir, Kara mengamati si Kembar. Kedua balita itu masih asyik berkomentar dan menunjuk ke luar, tetapi tidak ada yang terdengar dari headsetnya.  Apakah Frank sengaja membagi komunikasi mereka? Helikopter ternyata secanggih itu? "Kara, apakah kau masih memikirkan laki-laki itu?" tanya Frank lagi.  Sang wanita tidak menjawab. Ia hanya menelan ludah.  "Jangan. Dia tidak layak mendapatkan perhatianmu. Laki-laki yang hanya memikirkan perasaannya sendiri, tidak akan pernah bersungguh-sungguh mencintaimu. Mereka terlalu mencintai diri sendiri." Kara termenung. Matanya bergetar menatap tampak belakang sang CEO. "Lalu, laki-laki seperti apa yang sungguh-sungguh mencintaiku?"  Frank terdiam sejenak. "Kenapa kau bertanya? Padahal, kau sendiri yang mengajariku." Alis Kara tertaut. "Aku?" Frank memantau situasi sejenak sebelum lanjut bicara. "Darimu, aku belajar bahwa cinta itu memahami dan m
Read more

127. Kau Masih Membenciku?

“Jadi,” Kara mengerucutkan bibir dan mengangguk, “ya, Louis dan Emily-lah sumber kebahagiaanku sekarang.” Frank tersenyum miris. Kesenduan Kara membuat hatinya teriris. “Apakah kau masih membenciku?” “Apakah itu penting?” Sang wanita menaikkan sebelah alis. Frank mendengus kecil. “Kita tidak akan pernah bisa membenci orang yang kita cintai, sebesar apa pun kesalahan yang dia lakukan. Ya, kita mungkin akan marah dan kecewa awalnya. Tapi pada akhirnya, kita akan tetap membuka pintu maaf.” “Bagaimana kalau ternyata, aku masih membencimu?” Kara mengangkat alis. Sambil mengernyit, Frank mengelus pipi pucat itu. “Tidak apa-apa. Kau boleh membenciku, tapi tolong jangan kau tutup pintu maafmu. Jadi, ketika kau sudah bisa memaafkanku, aku tahu kalau kau mulai mencintaiku.” Kara terpaku. Kata-kata itu terasa sejuk di kalbu. “Kau yakin bisa membuatku cinta padamu?” “Kau sudah punya rasa itu, hanya belum mau mengaku.” Frank sangat percaya
Read more

128. Bolehkah Aku Tidur Bersamamu?

Alih-alih tersentuh, Kara malah mendengus. “Kau bilang cinta itu tidak egois. Kita menempatkan kebahagiaannya di atas kepentingan kita. Kalau itu alasanmu menyukaiku, apakah itu cinta yang sebenarnya? Kau menginginkan aku agar hidupmu tidak membosankan.” Bibir sang pria kini mengerucut. Pernyataan yang sebelumnya ia susun kini malah kusut. “Justru itu ... bersamamu, aku tidak perlu egois. Aku tidak perlu memasang topeng ataupun menjaga gengsi, karena kau sudah tahu semua kelemahanku. Kau adalah tempat yang tepat untukku beristirahat, Kara, menjadi diri sendiri tanpa perlu malu. Di hadapanmu, aku merasa tidak perlu berusaha. Aku suka bagaimana kau membuatku mau menerima diri sendiri, apa adanya.” Sambil mengerutkan bibir, Kara menyudutkan pandangan ke sudut atas. "Berarti aku benar. Dengan kau mencintaiku, itu egois. Kau hanya butuh aku demi kebaikanmu." Frank kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan Kara. "Ya, menginginkanmu adalah salah satu bentuk kee
Read more

129. Morning Talk

"Kau lupa? Kamar Louis tidak jauh dari sini," ringis Kara dengan raut panik. Sambil tersenyum simpul, Frank merangkak naik ke sisi lain dari kasur. "Tidak apa-apa. Anak-anak sudah lelah bermain seharian. Mereka pasti tidur lelap. Dan aku sudah mengajak mereka ke toilet tadi. Semua aman." "Tetap saja!" Kara menyikut lengan yang hendak melingkar di tubuhnya. "Ibuku ada di sini." "Ibumu menghindari tangga. Lagi pula, kau sudah dewasa. Tidak mungkin ibumu datang ke sini, memeriksa apakah kau sudah tidur atau belum." Sebelum Kara membantah lagi, ia cepat-cepat menyelipkan diri ke dalam selimut lalu merapat. "Kau bilang kau lelah? Tidurlah, Kara." "Tapi—" "Jangan memikirkan apa-apa, termasuk omonganku tadi. Anggap saja aku melantur." Frank mendorong kening Kara agar kepalanya menyentuh bantal. "Tidur! Besok kita harus kerja."  "Tapi ini kamarku. Kenapa tidak tidur di kamarmu saja? Bukankah ranjangnya lebih besar?" T
Read more

130. Mereka Anak-Anakku!

Selimut mereka tak sengaja tersingkap. Lengan Frank yang masih melingkar di pinggang Kara pun terungkap. Melihat itu, darah Isabela semakin meletup-letup. "Dasar perempuan tak tahu malu! Beraninya kau tidur dengan calon suamiku!" Kepalan tinjunya seketika berubah menjadi cakar, bersiap untuk menyerang. Namun, melihat seorang pelayan datang membawakan pesanannya, ia langsung meraih cangkir itu dan membawanya menuju Kara.  "Dasar perempuan murahan!" Beruntung, Frank sigap mengangkat selimut. Teh panas itu tidak setetes pun menyentuh Kara.  "Kau gila? Kau mau mengirimnya ke rumah sakit dengan lepuhan?" bentak Frank sambil menggertakkan rahang.  "Dia memang pantas mendapatkan itu! Kalau perlu, sekalian saja dia mati agar langsung hangus di lahar neraka." Frank mendengus mendengar umpatan itu. "Untuk apa kau datang ke rumahku sepagi ini? Membuat keributan? Kau ingin melihat perusahaanmu hancur dilalap api neraka?"&nbs
Read more
PREV
1
...
1112131415
...
53
DMCA.com Protection Status