Share

130. Mereka Anak-Anakku!

Penulis: Pixie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Selimut mereka tak sengaja tersingkap. Lengan Frank yang masih melingkar di pinggang Kara pun terungkap. Melihat itu, darah Isabela semakin meletup-letup.

"Dasar perempuan tak tahu malu! Beraninya kau tidur dengan calon suamiku!"

Kepalan tinjunya seketika berubah menjadi cakar, bersiap untuk menyerang. Namun, melihat seorang pelayan datang membawakan pesanannya, ia langsung meraih cangkir itu dan membawanya menuju Kara. 

"Dasar perempuan murahan!"

Beruntung, Frank sigap mengangkat selimut. Teh panas itu tidak setetes pun menyentuh Kara. 

"Kau gila? Kau mau mengirimnya ke rumah sakit dengan lepuhan?" bentak Frank sambil menggertakkan rahang. 

"Dia memang pantas mendapatkan itu! Kalau perlu, sekalian saja dia mati agar langsung hangus di lahar neraka."

Frank mendengus mendengar umpatan itu. "Untuk apa kau datang ke rumahku sepagi ini? Membuat keributan? Kau ingin melihat perusahaanmu hancur dilalap api neraka?"&nbs

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Sitti Aisah Icha
apalagiii semuanya cukup jelas,,lanjutttt
goodnovel comment avatar
Eet Oot
hik hik,,,,mewek diakhir aku bacanya thor, lanjut makin seruu ceritanya,,
goodnovel comment avatar
MG.
up dong... ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   131. Kamu Papa Kami?

    Sambil menahan desakan panas dalam dada, Emily melirik Kara. Boneka yang didekapnya erat seakan ikut merasakan kepahitannya."Benarkah Tuan Baik Hati adalah Papa kami? Orang jahat yang sudah meninggalkan kita?"Ribuan jarum seketika menusuk paru-paru Frank. Ia tidak bisa lagi bernapas. Sambil menahan sesak, ia berlutut dan memegangi pundak putrinya. "Emily ...."Ia mencoba menjelaskan, tetapi lidahnya kebas. Tidak ada satu pun kalimat yang terasa tepat untuk menggambarkan penyesalannya. Melihat diamnya Frank, gadis jenius itu tahu jawabannya. Isak tangisnya tidak lagi tertahankan. Sambil mengusap mata, ia pun berlari melewati Louis, para pelayan, lalu lurus ke arah neneknya yang baru saja muncul dari tangga. "Ada apa, Tuan Putri? Kenapa kamu menangis?" Susan mengusap wajah cucunya. Namun, Emily tidak menjawab. Ia hanya menggeleng dan memeluk kaki sang nenek lebih erat. Susan pun melihat lurus ke depan. Dari depan pintu kamar Kara, Louis berjalan lesu menghampirinya. "Emily sedih

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   132. Apa Artinya Anak Haram?

    "Emily, apakah kau masih sedih?" tanya Louis kepada gadis mungil yang duduk di dekat rak. Sejak tadi pagi, sang adik tidak banyak bersuara. Kerjanya hanya berkedip dan bernapas.Tangannya tak sedetik pun lepas dari Yemon. "Memangnya kau tidak sedih?" balas gadis mungil itu lirih. Pipinya tampak lebih kurus tanpa senyum. Setelah mendesah samar, Louis pun duduk di samping sang adik. "Entahlah, aku bingung." Sambil melipat kaki, ia bergumam, "Menurutku, kita terlalu kecil untuk mengerti urusan orang besar. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada malam itu. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa menjadi Papa kita. Dan aku tidak tahu apa artinya anak haram. Kamu tahu apa itu anak haram?" Tak mendapat tanggapan, ia pun melirik. "Sepertinya, kamu juga tidak tahu. Masalah ini memang terlalu membingungkan untuk anak seumuran kita." Emily berkedip-kedip mencerna omongan sang kakak. Selang keheningan sesaat, ia akhirnya tertunduk dan

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   133. Kau Sadar Apa Salahmu?

    “Bu, Tuan Muda Harper datang ke sini untuk membicarakan sesuatu. Kami ... ingin membicarakan sesuatu dengan Ibu.” Kara mempertegas kalimat terakhir. Frank bergegas mengangguk. “Benar, Nyonya. Tolong izinkan saya masuk.” Ekspresi Susan sama sekali tidak berubah. Dengan bibir terkatup, ia mengamati dua orang di hadapannya. “Kau sungguh ingin masuk?” Ia menarik pintu sedikit lebih lebar dan menyentak sebelah alis. Napas Frank semakin berat. Sambil menariknya dalam-dalam, ia mengangguk. “Ya, Nyonya.” “Kalau begitu, Kara ... tunggulah di luar.” Frank dan Kara sontak terbelalak. Mereka saling menatap, seolah tak rela dipisahkan. Namun, tangan Susan bergerak, mempersilakan sang CEO lewat. Mau tidak mau, pria itu melangkah masuk. “Terima kasih, Nyonya.” Sementara Frank meletakkan tentengannya di meja, Susan menutup pintu. Sesaat kemudian, wanita paruh baya itu duduk di sofa. “Apa yang mau kau bicarakan?” Frank masih ber

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   134. Kenapa Dulu Kau Meninggalkan Mama?

    “Maafkan aku. Aku sungguh menyesal atas apa yang kulakukan itu. Dulu aku sangat egois dan bodoh. Aku hanya memikirkan keselamatanku sendiri, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap orang lain.” Pernyataan Frank lahir dari lubuk hatinya yang terdalam, tetapi Susan menolak percaya. Ia malah membuang muka dan menarik napas berat. “Tidak ada gunanya meminta maaf. Hidup putri dan cucuku tidak akan membaik karena maafmu.” Sambil menyempal paru-paru dengan harapan, Frank mendongak. “Tolong beri aku kesempatan, Nyonya. Aku bersumpah tidak akan menyakiti putrimu lagi. Aku akan selalu melindungi dan melengkapi bahagianya. Sama halnya dengan bagaimana aku akan memberikan yang terbaik untuk Emily dan Louis.” Sambil bersedekap, Susan tertawa remeh dan menggeleng. “Siapa yang percaya?” “Tolong, Nyonya ... sekali ini saja. Akan kupastikan bahwa omonganku ini bukan sekadar kata-kata. Aku serius ingin memperbaiki semuanya.” Frank menatap Susan dari bawah kerut alisnya yang dalam, menanti harapan

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   135. Aku Benar-Benar Sudah Lelah

    Kara berusaha mengatur napas. Kepalanya bergerak-gerak mengimbangi desakannya. “Aku juga tidak tahu, Bu. Pikiran itu datang begitu saja, sama seperti perasaan ini. Aku juga tidak mengerti.” “Sadarlah, Kara. Laki-laki itu sudah menghancurkan hidupmu. Dia sudah pernah meninggalkanmu. Kau masih berani menaruh harapan padanya?” Kara menggigit bibir. Ia tidak tahu jawaban apa yang tepat. Ketika melihat sang ibu mendesah kecewa, ia akhirnya memilih kejujuran. “Bukankah Ibu pernah bilang kalau aku tidak harus selalu tegar? Kalau aku ingin menangis, menangis saja. Mungkin, aku sudah benar-benar lelah, Bu.” Setetes kesedihan kembali meleleh di pipi Kara. Susan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Ia tidak bisa berpikir jernih jika melihat kepedihan putrinya. “Selama empat tahun lebih, aku menanggung semuanya sendiri. Ya, Ibu memang selalu membantuku, tapi ....” Kara tidak tahu harus bagaimana menjelaskan porsinya tanpa menyinggung sang ibu. “Tapi

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   136. Terpaksa Berbohong

    “Apakah dia sudah pulang?” tanya Louis dengan tangan masih memegang kenop pintu.Kara tersenyum kecut. “Sudah. Boleh Mama masuk?”Tanpa bersuara, Louis melebarkan pintu.“Terima kasih, Sayang.” Kara membelai kepala putranya lalu beralih menatap Emily.Putrinya itu sedang berbaring menghadap dinding. Punggungnya yang tidak terselimuti dengan sempurna tampak begitu muram.“Emily ....”Gadis mungil itu tidak menyahut. Tangannya hanya bergerak sedikit merapatkan Yemon ke dagu.“Dia sudah seharian seperti ini. Aku beberapa kali berusaha menghiburnya, tapi tidak berhasil,” lapor Louis, setengah berbisik.Mendapat keterangan semacam itu, kerongkongan Kara semakin gersang. Ia pun terpaksa berdeham. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan dengan kalian. Kalian mau mendengar?”Louis mengangguk, tetapi Emily pura-pura tidak tahu. Selang satu embusan napas, K

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   137. Kita Harus Membawanya ke Rumah Sakit

    “Bagaimana kalau Mama membuatkan roti lapis? Mama akan menambahkan tomat yang banyak supaya kulitmu semakin cantik. Kamu mau?” bujuk Kara lembut. “Makanlah, Emily. Kalau tidak, kamu bisa sakit.” Louis mengguncang pundak sang adik, tetapi gadis mungil itu menggeleng. Sambil ikut memajukan bibir, Louis menatap sang ibu. “Mama, bagaimana ini?” Kara menatap Emily dengan kedipan khawatir. “Kalau kamu tidak mau makan, Mama akan membuatkan susu. Kamu harus minum, oke?” Emily tidak menimpali. Ia hanya bergeming. Bahkan saat sang ibu mendaratkan kecupan di pelipis, ia tidak menggubris. “Louis, jaga adikmu.” Balita laki-laki itu mengangguk. Ketika sang ibu melewati pintu, ia cepat-cepat berbisik, “Emily, kenapa kamu masih marah? Mama sudah menjelaskan alasannya. Menurutku, itu wajar.” “Tetap saja, Papa kita orang jahat. Kalau kita tidak pindah ke sini, dia pasti tidak akan mencari kita.” Emily akhirnya mengeluarkan suaranya yang tipis dan bergetar. “Tapi itu bukan salah Mama.” “Mama ju

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   138. Keinginan Anak-Anak Itu Sederhana

    Kara termenung sejenak. Selang satu kedipan, ia memegangi lengan Susan. “Maaf, Bu. Kurasa, Frank benar. Emily bisa lebih cepat pulih di tangan dokter pribadinya. Dia pernah merawatku. Dia memang dokter yang hebat. Sedangkan kalau ke rumah sakit, Ibu tahu sendiri bagaimana pasien biasa harus menunggu antrean.” Susan bergeming menatap sang putri. Entah kapan terakhir kali ia menemukan sorot mata itu. Putrinya yang dulu akhirnya kembali? Putrinya yang selalu yakin dengan apa yang ia pahami. “Baiklah, jaga diri kalian baik-baik, dan tidak usah panik. Demam Emily tidak mungkin berbahaya. Sudah menyiapkan kain kompresnya?” Bibir Kara menggeleng. “Belum. Aku terlalu bingung tadi.” “Jangan bingung. Masalah tidak akan teratasi dengan pikiran runyammu itu.” Keharuan diam-diam merayap melapisi wajah Kara. “Bisakah Ibu ikut dengan kami? Aku tidak tenang kalau meninggalkan ibu sendirian di sini?” Tanpa terduga, Susan melengkungkan senyum. “

Bab terbaru

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   Ungkapan Terima Kasih untuk Pembaca-Pembaca Hebat

    Halo, Teman-Teman yang Baik Hati, Terima kasih banyak, ya, udah ngikutin cerita Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan hingga titik terakhir. Untuk Kak Puji Amriani, SK Celey, Indah Carolina, Ningsih Ngara, Monika, Rini Hartini, Selvyana Yuliansari, D6ta, Is Yuhana, AR Family, Desak Kayan Puspasari, Emma Boru Regar, Binti Mucholifah, Bhiwie Handayani, Sofia Elysa, dan Kakak-Kakak yang gak bisa Pixie sebutin satu per satu. Terima kasih banyak udah rajin banget kasih komentar buat Pixie. Dan buat Kak Azka Aulia, Lida Boelan, Adel Putri, Wenny, SK Celey, MG, Rina Zolkaflee, Susan Vantika, Nazarieda, Firaz Marsyanda, dan yang ada di ranking top fans. Terima kasih banyak atas gems-nya. Pixie harap, kalian bersedia nungguin karya Pixie selanjutnya. Pixie udah ada rencana untuk tulis cerita Louis Emily versi dewasa tapi nanti, setelah Pixie bikin cerita satu lagi. Pixie mau kumpulin lebih banyak bocil buat dipersatukan nanti. Selagi menunggu, kalian boleh banget cek karya Pixie y

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 212. From Zero to Infinity (TAMAT)

    Tanpa permisi lagi, Philip menyerbu masuk dan memegangi tangan Barbara. Belum sempat ia mengatakan apa-apa, Barbara sudah kembali mengejan. Briony pun keluar dan Barbara mengembuskan napas lega. "Philip .... Anak kita sudah lahir." Meskipun kepalanya mengangguk, Philip masih berkedip-kedip. Mulutnya ternganga, tak tahu harus merespon apa. "Ya ...," desahnya selang beberapa saat. Ketika tangisan Briony terdengar, barulah akal sehatnya terkumpul lagi. "Wow," Philip mengerjap. Ia membungkuk, mengelus rambut sang istri dengan perasaan yang bercampur aduk. "Kau sangat hebat, Sayang. Kau bisa melahirkan secepat itu." Barbara tersenyum bangga. "Usaha kita tidak sia-sia, Phil. Padahal, aku sempat ketakutan tadi. Desakan Briony sangat kuat. Tapi Louis dan Emily melarangku mengejan. Aku berusaha menahannya sampai akhirnya, aku menyerah." Philip berdecak kagum sekaligus tak percaya. Masih dengan tampang kaku, ia mengecup pelipis Barbara. "Kau luar biasa, Sayang. Aku senang kau tidak menemu

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 211. Bibi Mau Melahirkan!

    "Louis, Bibi sudah mau melahirkan!" Emily bangkit dengan lengkung alis tinggi. "Ya, kita harus segera membawa Bibi ke rumah sakit!" Tanpa membuang waktu, Louis meraih tangan Barbara, menariknya untuk berputar arah. "Ayo, Bibi. Kita kembali ke mobil." Akan tetapi, Barbara menggeleng. Wajahnya pucat, badannya tegang. Kakinya seolah menyatu dengan bumi. "Ada apa, Bibi?" "Panggil Philip," gumamnya lirih. "Apa?" "Panggil Philip!" Si Kembar mengerjap. Selang satu anggukan, mereka berlari menuju Philip. "Paman Philip! Paman Philip!" "Hei, kalian mau ke mana?" seru Barbara lagi. Si Kembar mengerem. Saat menoleh ke belakang, Barbara ternyata melambai-lambai. "Kenapa kalian meninggalkanku sendirian di sini?" Suaranya melengking. "Tadi Bibi menyuruh kami memanggil Paman Philip?" Louis menggeleng tak mengerti. "Ya, tapi jangan meninggalkan aku di sini." Sambil tertatih-tatih, ia beringsut mendekati Louis dan Emily. "Satu orang saja yang memanggil Philip. Satu orang lagi, pegangi aku!"

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 210. Kegugupan Barbara

    "Halo, Orion," bisik Emily saat bayi mungil dalam kotak membuka mata. Tangannya terulur, berusaha menggapai pipi gembul itu. Dari sisi lain boks, Louis juga melongok ke dalam. "Halo, Oscar." "Louis?" tegur Emily dengan mata bulat. "Kenapa kamu memanggilnya Oscar? Ini pertemuan pertama kita dengannya. Jangan membuat kesan buruk." Louis langsung mengerutkan bibir. "Oke, maaf. Aku sudah kebiasaan. Biar kuulang." Setelah berdeham, ia kembali menunduk. "Halo, Orion. Ini aku, Louis. Aku sepupumu." Emily tersenyum kecil dan mengangguk. "Itu baru benar." Usai mengacungkan jempol kepada Louis, ia melambaikan tangan ke bawah. "Dan aku Emily. Senang bertemu denganmu, Orion." Selama beberapa saat, dua balita itu sibuk mengamati Orion. Philip dan Barbara merasa terhibur mendengar komentar mereka. "Ternyata Paman Philip benar. Orion mirip kedua orang tuanya. Matanya mirip Bibi, sedangkan hidung dan mulutnya mirip paman." "Dagunya juga mirip Paman. Tapi rambutnya mirip Bibi." "Emily, coba k

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 209. Perjuangan Ava

    Seorang perawat berusaha menenangkan Ava. Akan tetapi, wanita itu terus menggeleng, menolak semua kata-kata yang ditujukan kepadanya. Ia sudah sangat lemas. Rasa sakit seakan merontokkan seluruh tulang dalam badannya. Otaknya tidak bisa lagi berfungsi dengan normal. "Tidak. Aku sudah tidak kuat. Aku tidak bisa melanjutkan." Setelah menarik napas berat, Jeremy akhirnya membungkuk. Perawat tadi pun bergeser. Jeremy jadi lebih leluasa untuk membelai rambut Ava yang basah oleh keringat serta wajahnya yang dibanjiri air mata. "Ava, bisakah kau mendengarku? Ava?" Tatapan mereka akhirnya bertemu. Jeremy bisa melihat keputusasaan dalam manik cokelat itu. "Aku tidak sanggup lagi, Jeremy. Aku tidak sanggup. Biar dokter saja yang mengeluarkannya. Aku tidak tahan lagi." Dada Jeremy seperti dicabik-cabik. Ia nyaris tersedak oleh rasa nyeri. Namun, sambil mengelus pundak Ava, ia menggeleng. "Tidak, aku kenal dirimu. Kamu bukanlah orang yang pantang menyerah, Ava. Kamu pasti bisa." "Tapi aku

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 208. Kegembiraan Louis dan Emily

    "Lihat ini, Brandon." Louis meletakkan setumpuk kertas foto di atas meja. Kemudian, satu per satu ia tunjukkan kepada temannya. "Ini foto Russell sedang menangis. Ini foto Russell sedang tertawa. Dan ini foto Russell sedang marah." "Apakah anak bayi sudah bisa marah? Bukankah dia masih terlalu muda untuk mengerti apa-apa?" Brandon menggeleng samar. Louis mengedikkan bahu. "Aku tidak tahu soal itu. Tapi kalau Russell melihat sesuatu yang tidak disukainya, tangannya terus mengepak dan mulutnya berbunyi ...." Louis meniru erangan bayi yang membuat penjaga perpustakaan melirik. "Russell juga punya tatapan tajam, Brandon. Kalau dia merasa terganggu oleh kita, dia akan melotot sambil mengerutkan alis." Emily menyentuh pangkal alisnya, memeriksa apakah bentuknya sudah sama seperti alis Russell pada gambar. Brandon tersenyum melihat ekspresi Emily. "Kurasa dia pasti sangat lucu saat marah." "Ya!" Emily mengangguk cepat. "Dia selalu lucu, setiap saat. Louis, tunjukkan foto Russell saat ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 207. Ulang Tahun Bersama Russell

    "Oh, lihatlah Russell, Louis. Bukankah dia sangat tampan? Dia sudah bersih dan wangi." Emily mendekatkan hidungnya ke wajah Russell. Ketika berhasil mencium pipi yang sangat lembut itu, Emily terkikik menahan tawa. Ia tidak ingin mengganggu Kara yang tertidur dalam pelukan Frank. "Ya, dia sangat tampan. Dia mirip denganku. Bukankah begitu, Nenek?" Louis mengangkat pandangannya ke arah wanita yang menggendong Russell. Susan tersenyum geli. "Ya, dia mirip denganmu. Hanya saja, hidungnya sedikit lebih mancung." Bibir Louis langsung mengerucut. Telunjuknya meruncing menyentuh hidungnya sendiri. "Mau setinggi apa hidung Russell nanti? Padahal, hidungku sudah sangat mancung." Susan terkekeh mendengar jawaban Louis. "Nenek hanya bercanda, Louis. Siapa yang lebih mancung itu bukan masalah. Yang penting adalah kalian sama-sama sehat." Louis mengangguk sepakat. Tangannya kini terangkat menyentuh kaki adiknya yang mungil. "Nenek, apakah Russell berat?" Susan sontak mengangkat alis. "Kau ma

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 206. Russell Lucu Sekali!

    "Halo, Anak Baik. Selamat datang." Kara merengkuh Russell dengan hati-hati, seolah makhluk kecil itu adalah mutiara yang sangat rapuh. Air mata terus mengucur di pelipisnya. Usai mengecup bayi yang diselimuti oleh handuk itu, Kara kembali berbisik, "Ini Mama, Russell. Mama senang akhirnya Mama bisa memelukmu begini." Sambil mengulum bibir, Frank ikut membungkuk. Ia mengelus punggung mungil itu, lalu mengecup kepalanya yang bergerak-gerak mengimbangi tangis. "Dan ini Papa, Russell. Papa juga senang kau akhirnya hadir di sini." Masih dengan senyum merekah dan mata merah, Frank menatap Kara lembut. Sebelum genangan keharuannya menetes lagi, ia cepat-cepat mengecup kening sang istri. Kara terpejam menerima kehangatan itu. "Terima kasih telah melahirkan putra kita, Ratu Lebah," bisik Frank serak. Kara tersenyum lebih lebar dan mengangguk samar. "Terima kasih telah menemaniku di sini.""Itulah yang seharusnya kulakukan sejak dulu." Frank mengelus pipi Kara sebelum mengecupnya lagi. "P

  • Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan   S3| 205. Keluarlah, Russell!

    Kara sedang duduk di ranjang. Sambil memejamkan mata, ia berusaha mengatur napas. Kepalanya bersandar pada pundak bidang di sebelahnya. "Apakah ada kabar dari si Kembar?" tanya Kara lirih. Frank menggeleng samar. Tangannya terus memijat jemari Kara. "Kau tidak perlu mengkhawatirkan mereka, Ratu Lebah. Mereka anak-anak yang mandiri dan cerdas. Mereka pasti mengerti kalau kamu harus segera melahirkan. Mari merayakan ulang tahun mereka setelah Russell lahir, hmm?" Selang anggukan singkat, Kara menoleh. "Apakah kamu menangis?" Alis Frank sontak tertarik dahi. Sambil menjauhkan kepala agar karena lebih mudah melihatnya, ia menggeleng. "Kenapa kau berpikir aku menangis?" "Suaramu bergetar, Frank." Sambil mengerutkan bibir, Frank menarik napas panjang. "Aku tidak menangis." "Lalu mengapa matamu merah dan berair?" Frank berkedip tegas. "Aku tidak menangis," ulangnya dengan penekanan lebih. Masih dengan napas tersengal-sengal, Kara meloloskan tawa. Kepalanya sedikit miring, menanti gum

DMCA.com Protection Status