Kara berusaha mengatur napas. Kepalanya bergerak-gerak mengimbangi desakannya. “Aku juga tidak tahu, Bu. Pikiran itu datang begitu saja, sama seperti perasaan ini. Aku juga tidak mengerti.”
“Sadarlah, Kara. Laki-laki itu sudah menghancurkan hidupmu. Dia sudah pernah meninggalkanmu. Kau masih berani menaruh harapan padanya?”
Kara menggigit bibir. Ia tidak tahu jawaban apa yang tepat. Ketika melihat sang ibu mendesah kecewa, ia akhirnya memilih kejujuran.
“Bukankah Ibu pernah bilang kalau aku tidak harus selalu tegar? Kalau aku ingin menangis, menangis saja. Mungkin, aku sudah benar-benar lelah, Bu.”
Setetes kesedihan kembali meleleh di pipi Kara. Susan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Ia tidak bisa berpikir jernih jika melihat kepedihan putrinya.
“Selama empat tahun lebih, aku menanggung semuanya sendiri. Ya, Ibu memang selalu membantuku, tapi ....” Kara tidak tahu harus bagaimana menjelaskan porsinya tanpa menyinggung sang ibu.
“Tapi
“Apakah dia sudah pulang?” tanya Louis dengan tangan masih memegang kenop pintu.Kara tersenyum kecut. “Sudah. Boleh Mama masuk?”Tanpa bersuara, Louis melebarkan pintu.“Terima kasih, Sayang.” Kara membelai kepala putranya lalu beralih menatap Emily.Putrinya itu sedang berbaring menghadap dinding. Punggungnya yang tidak terselimuti dengan sempurna tampak begitu muram.“Emily ....”Gadis mungil itu tidak menyahut. Tangannya hanya bergerak sedikit merapatkan Yemon ke dagu.“Dia sudah seharian seperti ini. Aku beberapa kali berusaha menghiburnya, tapi tidak berhasil,” lapor Louis, setengah berbisik.Mendapat keterangan semacam itu, kerongkongan Kara semakin gersang. Ia pun terpaksa berdeham. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan dengan kalian. Kalian mau mendengar?”Louis mengangguk, tetapi Emily pura-pura tidak tahu. Selang satu embusan napas, K
“Bagaimana kalau Mama membuatkan roti lapis? Mama akan menambahkan tomat yang banyak supaya kulitmu semakin cantik. Kamu mau?” bujuk Kara lembut. “Makanlah, Emily. Kalau tidak, kamu bisa sakit.” Louis mengguncang pundak sang adik, tetapi gadis mungil itu menggeleng. Sambil ikut memajukan bibir, Louis menatap sang ibu. “Mama, bagaimana ini?” Kara menatap Emily dengan kedipan khawatir. “Kalau kamu tidak mau makan, Mama akan membuatkan susu. Kamu harus minum, oke?” Emily tidak menimpali. Ia hanya bergeming. Bahkan saat sang ibu mendaratkan kecupan di pelipis, ia tidak menggubris. “Louis, jaga adikmu.” Balita laki-laki itu mengangguk. Ketika sang ibu melewati pintu, ia cepat-cepat berbisik, “Emily, kenapa kamu masih marah? Mama sudah menjelaskan alasannya. Menurutku, itu wajar.” “Tetap saja, Papa kita orang jahat. Kalau kita tidak pindah ke sini, dia pasti tidak akan mencari kita.” Emily akhirnya mengeluarkan suaranya yang tipis dan bergetar. “Tapi itu bukan salah Mama.” “Mama ju
Kara termenung sejenak. Selang satu kedipan, ia memegangi lengan Susan. “Maaf, Bu. Kurasa, Frank benar. Emily bisa lebih cepat pulih di tangan dokter pribadinya. Dia pernah merawatku. Dia memang dokter yang hebat. Sedangkan kalau ke rumah sakit, Ibu tahu sendiri bagaimana pasien biasa harus menunggu antrean.” Susan bergeming menatap sang putri. Entah kapan terakhir kali ia menemukan sorot mata itu. Putrinya yang dulu akhirnya kembali? Putrinya yang selalu yakin dengan apa yang ia pahami. “Baiklah, jaga diri kalian baik-baik, dan tidak usah panik. Demam Emily tidak mungkin berbahaya. Sudah menyiapkan kain kompresnya?” Bibir Kara menggeleng. “Belum. Aku terlalu bingung tadi.” “Jangan bingung. Masalah tidak akan teratasi dengan pikiran runyammu itu.” Keharuan diam-diam merayap melapisi wajah Kara. “Bisakah Ibu ikut dengan kami? Aku tidak tenang kalau meninggalkan ibu sendirian di sini?” Tanpa terduga, Susan melengkungkan senyum. “
Wela sontak memegang dada dan berdengung kecil. Dengan raut iba, ia menatap wajah Emily. “Oh, kasihan sekali. Pantas saja dia sampai demam.” Tiba-tiba, dengan gerak cepat, ia menampar lengan kekar di sebelahnya. “Kau ... apakah sudah meminta maaf kepada Louis dan Emily?” Sambil mengusap-usap lengannya, Frank menggerutu, “Sudah dan belum.” “Bersikaplah lebih jantan lagi. Kau seharusnya langsung berlutut saat itu juga. Dengan begitu, Emily tidak akan pergi dan mogok makan seharian.” Rahang sang pria berdenyut-denyut geram. Ia tidak pernah terima diomeli, tetapi apa yang disebutkan oleh sahabatnya memang benar. Alhasil, ia memilih diam. “Maaf, Dokter Wela. Bolehkah saya menanyakan sesuatu?” bisik Kara tanpa terduga. Wela seketika menyejukkan ekspresi. “Kau tidak perlu seformal itu kepadaku, Nona Manis. Aku adalah sahabat Frank, anggap aku sebagai sahabatmu juga.” Kara mengangguk kecil. “Kau pasti tahu kalau sebentar lagi Frank aka
“Kenapa kamu menanyakan nama itu, Louis?” selidik Susan, berusaha menahan mimik wajah agar tidak melukiskan perasaan. “Kami bertemu dengannya saat piknik di pantai. Namanya Finnic Miller. Kurasa Mama kenal dengannya, tapi hubungan mereka mencurigakan. Sewaktu Mama melihatnya, wajah Mama langsung pucat, seperti melihat hantu.” Susan spontan menelan ludah, tetapi mulutnya terlalu kering. Suaranya terancam serak. “Lalu, apa yang kalian lakukan? Kalian mengobrol?” “Kurasa itu bukan mengobrol, tapi berdebat. Nenek tahu kenapa kami bisa bertemu dengannya? Itu karena bolanya menghancurkan istana pasir kami. Dia tidak mau meminta maaf dengan tulus, jadi aku tidak mengembalikan bolanya. Tapi ternyata, dia malah meledek tanganku. Untung saja, Frank Harper datang membela kami.” Mata Susan melebar. “Frank membela kalian?” “Ya!” Louis mengangguk tegas. “Dia dengan gagah berani menegur laki-laki itu. Tapi kemudian, Mama datang. Mama meminta kami untuk melupakan kesalahan Finnic dan mengembalika
Frank tersentak dan berbalik. Susan kini dapat melihat dengan jelas wajah kusut yang penuh air mata itu. “Nyonya Martin?” Cepat-cepat, sang CEO tertunduk dan menyeka wajahnya dengan sapu tangan. “Bagaimana rasanya ditolak oleh putrimu sendiri? Apakah perih?” Suara Susan lembut. Namun, kata-katanya menancap tepat pada luka batin Frank. “Ya, aku tahu. Apa yang kurasakan ini pasti tidak sebanding dengan apa yang mereka rasakan selama ini. Aku mengerti,” pria itu mengangguk dengan dagu yang berkedut. Melihat betapa menyedihkannya sang CEO, Susan tersenyum kecut. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah masuk lalu duduk di salah satu kursi dekat meja itu. “Bagus kalau kamu tahu. Penderitaan yang mereka alami memang tidak akan pernah sebanding dengan penderitaanmu. Bagaimana bisa?” Susan mengangkat pandangan, menelusuri interior mewah ruangan itu. “Kamu tinggal di tempat sebagus ini, sedangkan kami terpaksa menyewa apartemen kumuh. Louis
Dengan gagah berani, Louis merentangkan sebelah tangan di hadapan Isabel. Pipinya menggembung, matanya terlihat cekung. “Berhenti! Kau tidak boleh lewat!” Mendapat sambutan yang mengejutkan itu, Isabela mengerjap. Ia nyaris saja tertawa remeh. Bocah laki-laki itu bahkan tidak lebih tinggi dari pinggangnya, tetapi berani menantangnya? Namun, mengingat tugas yang diberikan oleh Rowan, ia cepat-cepat menyunggingkan senyum. “Halo, Anjing Kecil. Selamat pagi! Apa kabarmu hari ini?” Louis menurunkan tangan. Akan tetapi, kerut alisnya masih terpasang. “Kau memanggilku anjing?” Isabel tersentak. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Anak anjing itu panggilan sayang. Jangan tersinggung. Aku tidak bermaksud menghinamu. Sebaliknya ....” Gadis itu mempermanis senyum. “Aku datang ke sini untuk meminta maaf kepadamu dan saudaramu. Aku sadar kalau kedatanganku kemarin telah membawa masalah besar untuk kalian. Ucapanku memang terlalu kasar.” L
Frank nyaris menyemburkan tawa. Ia diam-diam bangga mendengar ketegasan putranya. “Kau dengar itu, Isabel? Anak-anak saja pandai menilai.” Napas sang gadis mulai menderu. Sekeras apa pun ia menusuk jempol dengan telunjuk, rasa sakitnya tak mampu mengalihkan kesal. “Hubby, tidakkah kau berpikir untuk mendisiplinkan anak ini? Sebentar lagi kita akan menikah dan aku akan menjadi ibunya. Keluarga kita butuh keharmonisan. Tidak bisakah kita berdamai sekarang dan mulai membangun hubungan?” Frank tersenyum mendengar getar suara Isabel. Perempuan itu memang tidak pernah tulus. Ia bahkan tidak pernah bersabar dalam menggapai apa yang ia mau. “Kau yakin bersedia menjadi ibu untuk anak-anakku?” tanyanya ragu. “Tentu saja. Kara saja mampu, apalagi aku,” jawabnya sambil mengernyit sekilas. Frank mengangkat alis dan mengangguk-angguk. “Memangnya kau bisa menyuap mereka makan? Memandikan mereka? Membacakan cerita sampai mereka tertidur?” Isabela melipat tangan dan mengangkat wajah. “Apa susahn