Kara termenung sejenak. Selang satu kedipan, ia memegangi lengan Susan.
“Maaf, Bu. Kurasa, Frank benar. Emily bisa lebih cepat pulih di tangan dokter pribadinya. Dia pernah merawatku. Dia memang dokter yang hebat. Sedangkan kalau ke rumah sakit, Ibu tahu sendiri bagaimana pasien biasa harus menunggu antrean.”
Susan bergeming menatap sang putri. Entah kapan terakhir kali ia menemukan sorot mata itu. Putrinya yang dulu akhirnya kembali? Putrinya yang selalu yakin dengan apa yang ia pahami.
“Baiklah, jaga diri kalian baik-baik, dan tidak usah panik. Demam Emily tidak mungkin berbahaya. Sudah menyiapkan kain kompresnya?”
Bibir Kara menggeleng. “Belum. Aku terlalu bingung tadi.”
“Jangan bingung. Masalah tidak akan teratasi dengan pikiran runyammu itu.”
Keharuan diam-diam merayap melapisi wajah Kara. “Bisakah Ibu ikut dengan kami? Aku tidak tenang kalau meninggalkan ibu sendirian di sini?”
Tanpa terduga, Susan melengkungkan senyum. “
Wela sontak memegang dada dan berdengung kecil. Dengan raut iba, ia menatap wajah Emily. “Oh, kasihan sekali. Pantas saja dia sampai demam.” Tiba-tiba, dengan gerak cepat, ia menampar lengan kekar di sebelahnya. “Kau ... apakah sudah meminta maaf kepada Louis dan Emily?” Sambil mengusap-usap lengannya, Frank menggerutu, “Sudah dan belum.” “Bersikaplah lebih jantan lagi. Kau seharusnya langsung berlutut saat itu juga. Dengan begitu, Emily tidak akan pergi dan mogok makan seharian.” Rahang sang pria berdenyut-denyut geram. Ia tidak pernah terima diomeli, tetapi apa yang disebutkan oleh sahabatnya memang benar. Alhasil, ia memilih diam. “Maaf, Dokter Wela. Bolehkah saya menanyakan sesuatu?” bisik Kara tanpa terduga. Wela seketika menyejukkan ekspresi. “Kau tidak perlu seformal itu kepadaku, Nona Manis. Aku adalah sahabat Frank, anggap aku sebagai sahabatmu juga.” Kara mengangguk kecil. “Kau pasti tahu kalau sebentar lagi Frank aka
“Kenapa kamu menanyakan nama itu, Louis?” selidik Susan, berusaha menahan mimik wajah agar tidak melukiskan perasaan. “Kami bertemu dengannya saat piknik di pantai. Namanya Finnic Miller. Kurasa Mama kenal dengannya, tapi hubungan mereka mencurigakan. Sewaktu Mama melihatnya, wajah Mama langsung pucat, seperti melihat hantu.” Susan spontan menelan ludah, tetapi mulutnya terlalu kering. Suaranya terancam serak. “Lalu, apa yang kalian lakukan? Kalian mengobrol?” “Kurasa itu bukan mengobrol, tapi berdebat. Nenek tahu kenapa kami bisa bertemu dengannya? Itu karena bolanya menghancurkan istana pasir kami. Dia tidak mau meminta maaf dengan tulus, jadi aku tidak mengembalikan bolanya. Tapi ternyata, dia malah meledek tanganku. Untung saja, Frank Harper datang membela kami.” Mata Susan melebar. “Frank membela kalian?” “Ya!” Louis mengangguk tegas. “Dia dengan gagah berani menegur laki-laki itu. Tapi kemudian, Mama datang. Mama meminta kami untuk melupakan kesalahan Finnic dan mengembalika
Frank tersentak dan berbalik. Susan kini dapat melihat dengan jelas wajah kusut yang penuh air mata itu. “Nyonya Martin?” Cepat-cepat, sang CEO tertunduk dan menyeka wajahnya dengan sapu tangan. “Bagaimana rasanya ditolak oleh putrimu sendiri? Apakah perih?” Suara Susan lembut. Namun, kata-katanya menancap tepat pada luka batin Frank. “Ya, aku tahu. Apa yang kurasakan ini pasti tidak sebanding dengan apa yang mereka rasakan selama ini. Aku mengerti,” pria itu mengangguk dengan dagu yang berkedut. Melihat betapa menyedihkannya sang CEO, Susan tersenyum kecut. Tanpa sepatah kata pun, ia melangkah masuk lalu duduk di salah satu kursi dekat meja itu. “Bagus kalau kamu tahu. Penderitaan yang mereka alami memang tidak akan pernah sebanding dengan penderitaanmu. Bagaimana bisa?” Susan mengangkat pandangan, menelusuri interior mewah ruangan itu. “Kamu tinggal di tempat sebagus ini, sedangkan kami terpaksa menyewa apartemen kumuh. Louis
Dengan gagah berani, Louis merentangkan sebelah tangan di hadapan Isabel. Pipinya menggembung, matanya terlihat cekung. “Berhenti! Kau tidak boleh lewat!” Mendapat sambutan yang mengejutkan itu, Isabela mengerjap. Ia nyaris saja tertawa remeh. Bocah laki-laki itu bahkan tidak lebih tinggi dari pinggangnya, tetapi berani menantangnya? Namun, mengingat tugas yang diberikan oleh Rowan, ia cepat-cepat menyunggingkan senyum. “Halo, Anjing Kecil. Selamat pagi! Apa kabarmu hari ini?” Louis menurunkan tangan. Akan tetapi, kerut alisnya masih terpasang. “Kau memanggilku anjing?” Isabel tersentak. “Ini tidak seperti yang kau pikirkan. Anak anjing itu panggilan sayang. Jangan tersinggung. Aku tidak bermaksud menghinamu. Sebaliknya ....” Gadis itu mempermanis senyum. “Aku datang ke sini untuk meminta maaf kepadamu dan saudaramu. Aku sadar kalau kedatanganku kemarin telah membawa masalah besar untuk kalian. Ucapanku memang terlalu kasar.” L
Frank nyaris menyemburkan tawa. Ia diam-diam bangga mendengar ketegasan putranya. “Kau dengar itu, Isabel? Anak-anak saja pandai menilai.” Napas sang gadis mulai menderu. Sekeras apa pun ia menusuk jempol dengan telunjuk, rasa sakitnya tak mampu mengalihkan kesal. “Hubby, tidakkah kau berpikir untuk mendisiplinkan anak ini? Sebentar lagi kita akan menikah dan aku akan menjadi ibunya. Keluarga kita butuh keharmonisan. Tidak bisakah kita berdamai sekarang dan mulai membangun hubungan?” Frank tersenyum mendengar getar suara Isabel. Perempuan itu memang tidak pernah tulus. Ia bahkan tidak pernah bersabar dalam menggapai apa yang ia mau. “Kau yakin bersedia menjadi ibu untuk anak-anakku?” tanyanya ragu. “Tentu saja. Kara saja mampu, apalagi aku,” jawabnya sambil mengernyit sekilas. Frank mengangkat alis dan mengangguk-angguk. “Memangnya kau bisa menyuap mereka makan? Memandikan mereka? Membacakan cerita sampai mereka tertidur?” Isabela melipat tangan dan mengangkat wajah. “Apa susahn
“Hei,” Frank menangkup pipi yang agak pucat itu, “jangan khawatir. Semuanya ada dalam kendaliku. Tidak akan ada masalah baru.” “Kau selalu saja bilang begitu,” desah Kara sambil menunduk, menghindar dari tatapan sang CEO. Dengan lembut, Frank mengangkat dagu yang tampak berat itu. “Aku hanya mengungkapkan kebenaran dan inilah cara terampuh untuk membatalkan pernikahanku dengan Isabela.” “Bagaimana jika dia membalas dengan menerbitkan artikel tentang kita? Perusahaan Savior dan Perusahaan Hall bisa berperang.” “Kalau itu terjadi, bagus! Savior akan menang dan hubungan kita tidak perlu ditutupi lagi,” timpal Frank ringan. Kara sontak mengernyitkan dahi dan mendesah, “Frank?” “Aku serius. Itu sama sekali bukan masalah besar bagiku. Setiap orang memang pernah melakukan kesalahan, Kara. Yang membedakannya adalah bagaimana orang itu bertanggung jawab. Jadi, apa yang kau khawatirkan?” “Kau tidak mendekatiku untuk mengantisipasi
“Omong kosong! Kau lupa? Nama belakangnya adalah Hall? Dia adalah jembatan untuk memperluas koneksi kita. Kau seharusnya mengubur aibnya itu, bukan malah menaikkannya ke permukaan!” Suara Rowan semakin memuncak. Akan tetapi, sang cucu tetap menanggapi dengan santai. “Aku heran mengapa Kakek bersikeras ingin menjalin relasi dengan keluarga Hall? Bukankah mereka sudah terbukti tidak kuat? Lihatlah bagaimana mereka menangani skandal ini. Berita ini tidak akan sempat naik jika mereka benar-benar sigap.” “Frank Harper!” bentak Rowan bergema. Wajahnya telah sangat merah. “Aku tidak mau mendengar apa-apa lagi darimu. Sudahi permainanmu! Kali ini, aku tidak akan membiarkanmu berulah lagi.” Alih-alih menutup mulut, Frank malah melebarkan senyum. “Memangnya apa yang Kakek inginkan dariku? Menarik semua berita tentang kebobrokan Isabela? Tapi seluruh dunia sudah tahu. Kalau mau menerima Isabela sebagai istriku, aku akan dicap bodoh oleh semua orang. Kakek tidak
Louis terkekeh. “Apakah kalian terkejut? Aku sedang bermain polisi-polisi. Aku datang ke sini untuk berpatroli dan menghibur Emily.” “Kau datang untuk membuatku kesal, bukan menghibur! Lihatlah teh itu! Untung saja tidak mengenai buku ceritaku,” gerutu Emily seraya menunjuk buku di pangkuan sang ibu. “Maaf,” ujar Louis sembari melangkah masuk. Bibirnya melengkung melihat kaki pelayan yang gemetar itu. “Apakah kau juga kesal padaku?” Perempuan muda itu tertunduk. Alisnya masih berkerut. “Tentu saja tidak, Tuan Muda. Tunggu sebentar. Saya akan membersihkan teh yang tumpah ini.” Dengan hati-hati, ia membawa keluar sisa teh yang tertampung pada baki. Seperginya pelayan itu, Louis tersenyum lebar kepada Emily. “Bagaimana keadaanmu? Sepertinya kamu sudah sehat.” Bibir Emily mengerucut. “Ya, tapi aku malas keluar. Aku belum mau bertemu orang itu.” Ia masih malas menyebut nama Frank. “Apakah itu berarti kita tidak jadi makan siang bersama?” Alis Louis kembali terangkat. Situasi itu lebih