Ciee cieee, ada yang terharu gak niiih? Btw, kalian punya daftar keinginan gak, nih? Kalau belum, bikin yuk! Biar lebih mudah terwujud.
Namun, enggan mengaku, Louis kembali bersuara. “Selain itu, ada satu hal lagi yang perlu kamu lakukan.” Sambil mengacak rambut putranya, Frank berbisik, “Apa?” “Ini soal kakekmu dan laki-laki berbadan besar itu.” Senyum Frank seketika memudar. Firasat buruk telah memenuhi relung hatinya. “Ada apa dengan mereka?” Setelah memperhatikan pintu tertutup rapat, Louis mengangkat tangan di samping mulutnya. “Tadi aku tidak sengaja mendengar, kakekmu meminta laki-laki besar itu untuk meracuni seseorang. Kurasa, itu Mama.” Jantung Frank langsung berdegup kencang. Bola matanya bergetar mengamati Louis. “Kamu mendengar itu? Lalu ..., apakah kamu tidak apa-apa?” “Aku baik-baik saja, hanya sedikit kecewa. Tapi aku bersyukur Emily tidak tahu. Kalau tidak, dia bisa sakit lagi. Kakek Baik Hati ternyata sangat jahat. Dia seperti nenek sihir yang memberikan apel beracun kepada Putri Salju.” “Kamu sudah memberi tahu siapa saja?” Frank memegangi le
Melihat wajah Louis yang memerah, semua orang terbelalak. “Astaga, Louis!” Kara bangkit dari kursi dan menghampiri sang putra. Frank yang duduk di kursi tuan rumah tiba lebih cepat. Ia berlutut, memegangi sebelah lengan sang balita. Namun, bukannya memberi Louis obat penawar atau pertolongan medis lainnya, ia malah memijat bagian belakang lehernya. “Muntahkan!” Susan yang duduk di samping Louis hanya bisa menyaksikan dengan napas tertahan, sama seperti yang lain. Emily bahkan mulai mencebik, menggantung di tepi kursi. Ia tidak tahu harus ikut menghampiri atau menonton dari jauh. Sesaat kemudian, sepotong jeli terlempar keluar dari mulut Louis. Selang beberapa batuk kecil,napasnya berangsur normal. “Tidak apa-apa, Jagoan. Kamu baik-baik saja.” Frank dengan tenang memberinya minum. Semua orang kini mematung. “Louis tersedak? Bukan keracunan?” gumam Kara yang berdiri di belakang Frank. Tangannya sudah menggenggam sebuah pisau. Ia
Prang! Satu-satunya vas yang tersisa akhirnya membentur dinding. Pecahannya berserakan, menimpa puing-puing porselen lain yang sudah berjam-jam tergeletak. “Aaargh! Kenapa tidak ada satu pun media yang mau berpihak kepadaku? Aku ini Isabela Hall! Apakah mereka semua tidak tahu seberapa hebat keluargaku? Berani-beraninya mereka menolak klarifikasi dariku!” Vidi yang berdiri di samping sofa Isabela tertunduk semakin dalam. Tubuhnya yang gempal gemetar menahan degup jantung yang menggila. “M-maaf, Nona. Tapi, lawan kita adalah Frank Harper. Para media tidak berani mengambil risiko. Jika mereka menerbitkan berita bahwa bukti-bukti sebelumnya adalah hasil rekayasa, Frank bisa saja menghancurkan mereka.” “Aku tidak mau tahu! Sebentar lagi, orang tuaku tiba. Kalau bukan Frank yang menghancurkan mereka, aku yang akan diremukkan oleh orang tuaku!” pekik Isabela di puncak suaranya. Tangannya mencengkeram sofa lebih erat. Ia sudah tidak peduli dengan rambut ataupun riasan wajahnya yang ber
"Tunggu, Mama. Menunduklah sebentar. Fascinator Mama perlu dibetulkan." Emily mengangkat kedua tangannya. Kara pun membungkuk, membiarkan sang putri merapikan jaring pada topinya. "Selesai. Dengan begini, orang-orang tidak akan mengenali Mama. Mereka hanya bisa melihat kecantikan Mama." Mendengar suara manis balita itu, lengkung bibir Kara semakin lebar. "Terima kasih, Madu Kecil." "Sama-sama, Mama." Emily mengelus pipinya sendiri, memastikan tidak ada rambut yang menempel di sana. Melihat sikap manis sang putri, Frank sangat ingin memujinya. Namun, mengingat gadis mungil itu masih enggan berbasa-basi dengannya, ia terpaksa menoleh ke Jeremy."Bagaimana kondisi hari ini?" Sang asisten bergegas memeriksa ponselnya lagi. "Baik Isabela maupun keluarganya masih belum memberikan tanggapan. Kakek Anda juga tidak melakukan apa-apa. Skandal ini sedikit reda karena publik mulai jenuh bertanya-tanya."
Selang satu kedipan, Kara mendesah,"Baiklah. Tapi tolong jangan terlalu memanjakan si Kembar. Aku tidak mau mereka jadi boros dan terlena." Frank tersenyum kecil dan mengangguk. "Ya, tapi kau tidak keberatan jika aku memanjakanmu sekarang, kan? Mumpung kita hanya berdua, bagaimana kalau kita menganggap misi ini sebagai liburan singkat?" "Itu juga ada dalam daftar?" Kara memeriksa halaman tentang keinginannya.“Menemani Mama liburan? Oke, Louis menulisnya.” Frank sontak meloloskan tawa. "Ya, tapi bukan itu maksudku. Aku hanya ingin kau relaks. Liburan sesungguhnya bisa kita lakukan bersama anak-anak." Melihat ketulusan pria itu, hati Kara menghangat. "Aku senang kau memberi kami kesempatan untuk bersenang-senang denganmu. Tapi, kau harus ingat Frank. Bukan kemewahan yang diinginkan si Kembar darimu. Kehadiran dan kasih sayangmu saja, itu sudah lebih dari cukup." Sambil mengelus-elus punggung tangan Kara dengan ibu
"Frank Harper, mohon konfirmasi. Inikah perempuan yang Anda sebut dalam klarifikasi tempo hari?" "Nona, bisa perkenalkan diri Anda?" "Nona, tolong perlihatkan wajah Anda!" Meskipun beragam pertanyaan menghujani mereka, Frank terus berjalan santai. Tangannya dengan kokoh melindungi Kara. Sesekali ia tersenyum miring ke arah kamera. Sementara itu, Kara terus menundukkan kepala. Sebelah tangannya terangkat, membiarkan tas menghalangi wajahnya dari sorotan kamera maupun lampu kilat yang tidak juga redup meski tersaring kacamata hitamnya. Ia baru menaikkan dagunya saat mereka sudah tiba di dalam lift. "Seperti inikah kehidupan selebriti? Sungguh menyilaukan," gumamnya. Sembari tersenyum, Frank menggosok-gosok punggung Kara. "Kalau kau tidak suka dengan blitz itu, aku bisa menyingkirkan mereka. Aku bisa melarang semua media untuk meliput kita di masa mendatang. Tapi, untuk hari ini, bersabarlah." Lengkung bibir Kara berubah kecut. Selang satu anggukan, ia menoleh ke arah pengawal
Dengan raut sendu, Frank membelai wajah Kara. “Kau yakin ingin tahu?” Mata bulat sang wanita seketika menyusut. Napasnya berubah berat. “Memangnya kenapa?” “Menurutku, kau sebaiknya tidak perlu tahu. Beban pikiranmu sudah terlalu berat. Aku tidak mau kau tertekan oleh pertanyaan baru.” Pundak Kara perlahan bergerak turun. Bibirnya terkatup setuju. “Sekarang,” Frank menaikkan dagunya dengan telunjuk, “kau lebih baik fokus dengan misi kita. Si Kembar menunggu keberhasilan kita.” Sambil menautkan alis, Kara mengerucutkan bibir. "Kita tidak boleh membuat si Kembar kecewa." "Ya," sahut Frank tipis dan serak. "Demi si Kembar, kau harus berdiri tegar. Ingat! Jika semua kesalahpahaman sudah diluruskan, tidak ada lagi yang bisa menghalangi kita. Kau dan anak-anak akan segera menyandang nama belakangku." Ia mencolek hidung lancip sang kekasih. Saat bibirnya melengkung, sang kekasih ikut tersenyum. "Terima kasih, Frank.” “Melindun
“Halo, teman-teman! Lama tidak berjumpa,” sapa Kara, dua langkah dari belakang gadis bergaun jingga. Dalam sekejap, gerombolan itu berhenti tertawa. Mereka menoleh dan terbelalak. “K-Kara?” Jenny tergagap. Kakinya tanpa sadar bergeser menjauh. Melihat reaksi teman-teman lamanya yang seperti melihat hantu, lengkung bibir Kara semakin sendu. Matanya perlahan terisi oleh kepahitan dan kerinduan. Wajah-wajah itu dulu pernah tertawa bersamanya. Mereka pernah berjuang bersama dalam mewujudkan impian. Namun sekarang, mengapa mereka begitu jauh? “Ya, ini aku. Kara Martin. Masih Kara Martin,” sahut Kara dengan suara yang agak goyah. Kerongkongannya terasa panas. Sebisa mungkin, ia meredamnya dengan gerak bahu yang canggung. Tiba-tiba, seorang pria di circle itu mendesah cepat. Sambil memiringkan kepala, ia berkacak pinggang. “Berani sekali kau datang ke sini? Apakah kau tidak takut diusir?” Sambil memajukan bibir, Kara meninggikan alis.