All Chapters of Anak Kembar sang Miliarder yang Dirahasiakan: Chapter 131 - Chapter 140

525 Chapters

131. Kamu Papa Kami?

Sambil menahan desakan panas dalam dada, Emily melirik Kara. Boneka yang didekapnya erat seakan ikut merasakan kepahitannya."Benarkah Tuan Baik Hati adalah Papa kami? Orang jahat yang sudah meninggalkan kita?"Ribuan jarum seketika menusuk paru-paru Frank. Ia tidak bisa lagi bernapas. Sambil menahan sesak, ia berlutut dan memegangi pundak putrinya. "Emily ...."Ia mencoba menjelaskan, tetapi lidahnya kebas. Tidak ada satu pun kalimat yang terasa tepat untuk menggambarkan penyesalannya. Melihat diamnya Frank, gadis jenius itu tahu jawabannya. Isak tangisnya tidak lagi tertahankan. Sambil mengusap mata, ia pun berlari melewati Louis, para pelayan, lalu lurus ke arah neneknya yang baru saja muncul dari tangga. "Ada apa, Tuan Putri? Kenapa kamu menangis?" Susan mengusap wajah cucunya. Namun, Emily tidak menjawab. Ia hanya menggeleng dan memeluk kaki sang nenek lebih erat. Susan pun melihat lurus ke depan. Dari depan pintu kamar Kara, Louis berjalan lesu menghampirinya. "Emily sedih
Read more

132. Apa Artinya Anak Haram?

"Emily, apakah kau masih sedih?" tanya Louis kepada gadis mungil yang duduk di dekat rak.  Sejak tadi pagi, sang adik tidak banyak bersuara. Kerjanya hanya berkedip dan bernapas. Tangannya tak sedetik pun lepas dari Yemon. "Memangnya kau tidak sedih?" balas gadis mungil itu lirih. Pipinya tampak lebih kurus tanpa senyum.  Setelah mendesah samar, Louis pun duduk di samping sang adik. "Entahlah, aku bingung." Sambil melipat kaki, ia bergumam, "Menurutku, kita terlalu kecil untuk mengerti urusan orang besar. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada malam itu. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa menjadi Papa kita. Dan aku tidak tahu apa artinya anak haram. Kamu tahu apa itu anak haram?" Tak mendapat tanggapan, ia pun melirik. "Sepertinya, kamu juga tidak tahu. Masalah ini memang terlalu membingungkan untuk anak seumuran kita." Emily berkedip-kedip mencerna omongan sang kakak. Selang keheningan sesaat, ia akhirnya tertunduk dan
Read more

133. Kau Sadar Apa Salahmu?

“Bu, Tuan Muda Harper datang ke sini untuk membicarakan sesuatu. Kami ... ingin membicarakan sesuatu dengan Ibu.” Kara mempertegas kalimat terakhir. Frank bergegas mengangguk. “Benar, Nyonya. Tolong izinkan saya masuk.” Ekspresi Susan sama sekali tidak berubah. Dengan bibir terkatup, ia mengamati dua orang di hadapannya. “Kau sungguh ingin masuk?” Ia menarik pintu sedikit lebih lebar dan menyentak sebelah alis. Napas Frank semakin berat. Sambil menariknya dalam-dalam, ia mengangguk. “Ya, Nyonya.” “Kalau begitu, Kara ... tunggulah di luar.” Frank dan Kara sontak terbelalak. Mereka saling menatap, seolah tak rela dipisahkan. Namun, tangan Susan bergerak, mempersilakan sang CEO lewat. Mau tidak mau, pria itu melangkah masuk. “Terima kasih, Nyonya.” Sementara Frank meletakkan tentengannya di meja, Susan menutup pintu. Sesaat kemudian, wanita paruh baya itu duduk di sofa. “Apa yang mau kau bicarakan?” Frank masih ber
Read more

134. Kenapa Dulu Kau Meninggalkan Mama?

“Maafkan aku. Aku sungguh menyesal atas apa yang kulakukan itu. Dulu aku sangat egois dan bodoh. Aku hanya memikirkan keselamatanku sendiri, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap orang lain.” Pernyataan Frank lahir dari lubuk hatinya yang terdalam, tetapi Susan menolak percaya. Ia malah membuang muka dan menarik napas berat. “Tidak ada gunanya meminta maaf. Hidup putri dan cucuku tidak akan membaik karena maafmu.” Sambil menyempal paru-paru dengan harapan, Frank mendongak. “Tolong beri aku kesempatan, Nyonya. Aku bersumpah tidak akan menyakiti putrimu lagi. Aku akan selalu melindungi dan melengkapi bahagianya. Sama halnya dengan bagaimana aku akan memberikan yang terbaik untuk Emily dan Louis.” Sambil bersedekap, Susan tertawa remeh dan menggeleng. “Siapa yang percaya?” “Tolong, Nyonya ... sekali ini saja. Akan kupastikan bahwa omonganku ini bukan sekadar kata-kata. Aku serius ingin memperbaiki semuanya.” Frank menatap Susan dari bawah kerut alisnya yang dalam, menanti harapan
Read more

135. Aku Benar-Benar Sudah Lelah

Kara berusaha mengatur napas. Kepalanya bergerak-gerak mengimbangi desakannya. “Aku juga tidak tahu, Bu. Pikiran itu datang begitu saja, sama seperti perasaan ini. Aku juga tidak mengerti.” “Sadarlah, Kara. Laki-laki itu sudah menghancurkan hidupmu. Dia sudah pernah meninggalkanmu. Kau masih berani menaruh harapan padanya?” Kara menggigit bibir. Ia tidak tahu jawaban apa yang tepat. Ketika melihat sang ibu mendesah kecewa, ia akhirnya memilih kejujuran. “Bukankah Ibu pernah bilang kalau aku tidak harus selalu tegar? Kalau aku ingin menangis, menangis saja. Mungkin, aku sudah benar-benar lelah, Bu.” Setetes kesedihan kembali meleleh di pipi Kara. Susan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Ia tidak bisa berpikir jernih jika melihat kepedihan putrinya. “Selama empat tahun lebih, aku menanggung semuanya sendiri. Ya, Ibu memang selalu membantuku, tapi ....” Kara tidak tahu harus bagaimana menjelaskan porsinya tanpa menyinggung sang ibu. “Tapi
Read more

136. Terpaksa Berbohong

“Apakah dia sudah pulang?” tanya Louis dengan tangan masih memegang kenop pintu.Kara tersenyum kecut. “Sudah. Boleh Mama masuk?”Tanpa bersuara, Louis melebarkan pintu.“Terima kasih, Sayang.” Kara membelai kepala putranya lalu beralih menatap Emily.Putrinya itu sedang berbaring menghadap dinding. Punggungnya yang tidak terselimuti dengan sempurna tampak begitu muram.“Emily ....”Gadis mungil itu tidak menyahut. Tangannya hanya bergerak sedikit merapatkan Yemon ke dagu.“Dia sudah seharian seperti ini. Aku beberapa kali berusaha menghiburnya, tapi tidak berhasil,” lapor Louis, setengah berbisik.Mendapat keterangan semacam itu, kerongkongan Kara semakin gersang. Ia pun terpaksa berdeham. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan dengan kalian. Kalian mau mendengar?”Louis mengangguk, tetapi Emily pura-pura tidak tahu. Selang satu embusan napas, K
Read more

137. Kita Harus Membawanya ke Rumah Sakit

“Bagaimana kalau Mama membuatkan roti lapis? Mama akan menambahkan tomat yang banyak supaya kulitmu semakin cantik. Kamu mau?” bujuk Kara lembut. “Makanlah, Emily. Kalau tidak, kamu bisa sakit.” Louis mengguncang pundak sang adik, tetapi gadis mungil itu menggeleng. Sambil ikut memajukan bibir, Louis menatap sang ibu. “Mama, bagaimana ini?” Kara menatap Emily dengan kedipan khawatir. “Kalau kamu tidak mau makan, Mama akan membuatkan susu. Kamu harus minum, oke?” Emily tidak menimpali. Ia hanya bergeming. Bahkan saat sang ibu mendaratkan kecupan di pelipis, ia tidak menggubris. “Louis, jaga adikmu.” Balita laki-laki itu mengangguk. Ketika sang ibu melewati pintu, ia cepat-cepat berbisik, “Emily, kenapa kamu masih marah? Mama sudah menjelaskan alasannya. Menurutku, itu wajar.” “Tetap saja, Papa kita orang jahat. Kalau kita tidak pindah ke sini, dia pasti tidak akan mencari kita.” Emily akhirnya mengeluarkan suaranya yang tipis dan bergetar. “Tapi itu bukan salah Mama.” “Mama ju
Read more

138. Keinginan Anak-Anak Itu Sederhana

Kara termenung sejenak. Selang satu kedipan, ia memegangi lengan Susan. “Maaf, Bu. Kurasa, Frank benar. Emily bisa lebih cepat pulih di tangan dokter pribadinya. Dia pernah merawatku. Dia memang dokter yang hebat. Sedangkan kalau ke rumah sakit, Ibu tahu sendiri bagaimana pasien biasa harus menunggu antrean.” Susan bergeming menatap sang putri. Entah kapan terakhir kali ia menemukan sorot mata itu. Putrinya yang dulu akhirnya kembali? Putrinya yang selalu yakin dengan apa yang ia pahami. “Baiklah, jaga diri kalian baik-baik, dan tidak usah panik. Demam Emily tidak mungkin berbahaya. Sudah menyiapkan kain kompresnya?” Bibir Kara menggeleng. “Belum. Aku terlalu bingung tadi.” “Jangan bingung. Masalah tidak akan teratasi dengan pikiran runyammu itu.” Keharuan diam-diam merayap melapisi wajah Kara. “Bisakah Ibu ikut dengan kami? Aku tidak tenang kalau meninggalkan ibu sendirian di sini?” Tanpa terduga, Susan melengkungkan senyum. “
Read more

139. Apakah Frank Bisa Jadi Papa yang Baik?

Wela sontak memegang dada dan berdengung kecil. Dengan raut iba, ia menatap wajah Emily. “Oh, kasihan sekali. Pantas saja dia sampai demam.” Tiba-tiba, dengan gerak cepat, ia menampar lengan kekar di sebelahnya. “Kau ... apakah sudah meminta maaf kepada Louis dan Emily?” Sambil mengusap-usap lengannya, Frank menggerutu, “Sudah dan belum.” “Bersikaplah lebih jantan lagi. Kau seharusnya langsung berlutut saat itu juga. Dengan begitu, Emily tidak akan pergi dan mogok makan seharian.” Rahang sang pria berdenyut-denyut geram. Ia tidak pernah terima diomeli, tetapi apa yang disebutkan oleh sahabatnya memang benar. Alhasil, ia memilih diam. “Maaf, Dokter Wela. Bolehkah saya menanyakan sesuatu?” bisik Kara tanpa terduga. Wela seketika menyejukkan ekspresi. “Kau tidak perlu seformal itu kepadaku, Nona Manis. Aku adalah sahabat Frank, anggap aku sebagai sahabatmu juga.” Kara mengangguk kecil. “Kau pasti tahu kalau sebentar lagi Frank aka
Read more

140. Nenek Kenal Finnic?

“Kenapa kamu menanyakan nama itu, Louis?” selidik Susan, berusaha menahan mimik wajah agar tidak melukiskan perasaan. “Kami bertemu dengannya saat piknik di pantai. Namanya Finnic Miller. Kurasa Mama kenal dengannya, tapi hubungan mereka mencurigakan. Sewaktu Mama melihatnya, wajah Mama langsung pucat, seperti melihat hantu.” Susan spontan menelan ludah, tetapi mulutnya terlalu kering. Suaranya terancam serak. “Lalu, apa yang kalian lakukan? Kalian mengobrol?” “Kurasa itu bukan mengobrol, tapi berdebat. Nenek tahu kenapa kami bisa bertemu dengannya? Itu karena bolanya menghancurkan istana pasir kami. Dia tidak mau meminta maaf dengan tulus, jadi aku tidak mengembalikan bolanya. Tapi ternyata, dia malah meledek tanganku. Untung saja, Frank Harper datang membela kami.” Mata Susan melebar. “Frank membela kalian?” “Ya!” Louis mengangguk tegas. “Dia dengan gagah berani menegur laki-laki itu. Tapi kemudian, Mama datang. Mama meminta kami untuk melupakan kesalahan Finnic dan mengembalika
Read more
PREV
1
...
1213141516
...
53
DMCA.com Protection Status