Sambil berpikir, Kara mengamati si Kembar. Kedua balita itu masih asyik berkomentar dan menunjuk ke luar, tetapi tidak ada yang terdengar dari headsetnya. Apakah Frank sengaja membagi komunikasi mereka? Helikopter ternyata secanggih itu? "Kara, apakah kau masih memikirkan laki-laki itu?" tanya Frank lagi. Sang wanita tidak menjawab. Ia hanya menelan ludah. "Jangan. Dia tidak layak mendapatkan perhatianmu. Laki-laki yang hanya memikirkan perasaannya sendiri, tidak akan pernah bersungguh-sungguh mencintaimu. Mereka terlalu mencintai diri sendiri." Kara termenung. Matanya bergetar menatap tampak belakang sang CEO."Lalu, laki-laki seperti apa yang sungguh-sungguh mencintaiku?" Frank terdiam sejenak. "Kenapa kau bertanya? Padahal, kau sendiri yang mengajariku." Alis Kara tertaut. "Aku?" Frank memantau situasi sejenak sebelum lanjut bicara."Darimu, aku belajar bahwa cinta itu memahami dan m
“Jadi,” Kara mengerucutkan bibir dan mengangguk, “ya, Louis dan Emily-lah sumber kebahagiaanku sekarang.” Frank tersenyum miris. Kesenduan Kara membuat hatinya teriris. “Apakah kau masih membenciku?” “Apakah itu penting?” Sang wanita menaikkan sebelah alis. Frank mendengus kecil. “Kita tidak akan pernah bisa membenci orang yang kita cintai, sebesar apa pun kesalahan yang dia lakukan. Ya, kita mungkin akan marah dan kecewa awalnya. Tapi pada akhirnya, kita akan tetap membuka pintu maaf.” “Bagaimana kalau ternyata, aku masih membencimu?” Kara mengangkat alis. Sambil mengernyit, Frank mengelus pipi pucat itu. “Tidak apa-apa. Kau boleh membenciku, tapi tolong jangan kau tutup pintu maafmu. Jadi, ketika kau sudah bisa memaafkanku, aku tahu kalau kau mulai mencintaiku.” Kara terpaku. Kata-kata itu terasa sejuk di kalbu. “Kau yakin bisa membuatku cinta padamu?” “Kau sudah punya rasa itu, hanya belum mau mengaku.” Frank sangat percaya
Alih-alih tersentuh, Kara malah mendengus. “Kau bilang cinta itu tidak egois. Kita menempatkan kebahagiaannya di atas kepentingan kita. Kalau itu alasanmu menyukaiku, apakah itu cinta yang sebenarnya? Kau menginginkan aku agar hidupmu tidak membosankan.” Bibir sang pria kini mengerucut. Pernyataan yang sebelumnya ia susun kini malah kusut. “Justru itu ... bersamamu, aku tidak perlu egois. Aku tidak perlu memasang topeng ataupun menjaga gengsi, karena kau sudah tahu semua kelemahanku. Kau adalah tempat yang tepat untukku beristirahat, Kara, menjadi diri sendiri tanpa perlu malu. Di hadapanmu, aku merasa tidak perlu berusaha. Aku suka bagaimana kau membuatku mau menerima diri sendiri, apa adanya.” Sambil mengerutkan bibir, Kara menyudutkan pandangan ke sudut atas. "Berarti aku benar. Dengan kau mencintaiku, itu egois. Kau hanya butuh aku demi kebaikanmu." Frank kehabisan kata-kata. Ia tidak tahu lagi bagaimana harus meyakinkan Kara. "Ya, menginginkanmu adalah salah satu bentuk kee
"Kau lupa? Kamar Louis tidak jauh dari sini," ringis Kara dengan raut panik. Sambil tersenyum simpul, Frank merangkak naik ke sisi lain dari kasur."Tidak apa-apa. Anak-anak sudah lelah bermain seharian. Mereka pasti tidur lelap. Dan aku sudah mengajak mereka ke toilet tadi. Semua aman." "Tetap saja!" Kara menyikut lengan yang hendak melingkar di tubuhnya. "Ibuku ada di sini." "Ibumu menghindari tangga. Lagi pula, kau sudah dewasa. Tidak mungkin ibumu datang ke sini, memeriksa apakah kau sudah tidur atau belum." Sebelum Kara membantah lagi, ia cepat-cepat menyelipkan diri ke dalam selimut lalu merapat. "Kau bilang kau lelah? Tidurlah, Kara." "Tapi—" "Jangan memikirkan apa-apa, termasuk omonganku tadi. Anggap saja aku melantur." Frank mendorong kening Kara agar kepalanya menyentuh bantal. "Tidur! Besok kita harus kerja." "Tapi ini kamarku. Kenapa tidak tidur di kamarmu saja? Bukankah ranjangnya lebih besar?" T
Selimut mereka tak sengaja tersingkap. Lengan Frank yang masih melingkar di pinggang Kara pun terungkap. Melihat itu, darah Isabela semakin meletup-letup. "Dasar perempuan tak tahu malu! Beraninya kau tidur dengan calon suamiku!" Kepalan tinjunya seketika berubah menjadi cakar, bersiap untuk menyerang. Namun, melihat seorang pelayan datang membawakan pesanannya, ia langsung meraih cangkir itu dan membawanya menuju Kara. "Dasar perempuan murahan!" Beruntung, Frank sigap mengangkat selimut. Teh panas itu tidak setetes pun menyentuh Kara. "Kau gila? Kau mau mengirimnya ke rumah sakit dengan lepuhan?" bentak Frank sambil menggertakkan rahang. "Dia memang pantas mendapatkan itu! Kalau perlu, sekalian saja dia mati agar langsung hangus di lahar neraka." Frank mendengus mendengar umpatan itu. "Untuk apa kau datang ke rumahku sepagi ini? Membuat keributan? Kau ingin melihat perusahaanmu hancur dilalap api neraka?"&nbs
Sambil menahan desakan panas dalam dada, Emily melirik Kara. Boneka yang didekapnya erat seakan ikut merasakan kepahitannya."Benarkah Tuan Baik Hati adalah Papa kami? Orang jahat yang sudah meninggalkan kita?"Ribuan jarum seketika menusuk paru-paru Frank. Ia tidak bisa lagi bernapas. Sambil menahan sesak, ia berlutut dan memegangi pundak putrinya. "Emily ...."Ia mencoba menjelaskan, tetapi lidahnya kebas. Tidak ada satu pun kalimat yang terasa tepat untuk menggambarkan penyesalannya. Melihat diamnya Frank, gadis jenius itu tahu jawabannya. Isak tangisnya tidak lagi tertahankan. Sambil mengusap mata, ia pun berlari melewati Louis, para pelayan, lalu lurus ke arah neneknya yang baru saja muncul dari tangga. "Ada apa, Tuan Putri? Kenapa kamu menangis?" Susan mengusap wajah cucunya. Namun, Emily tidak menjawab. Ia hanya menggeleng dan memeluk kaki sang nenek lebih erat. Susan pun melihat lurus ke depan. Dari depan pintu kamar Kara, Louis berjalan lesu menghampirinya. "Emily sedih
"Emily, apakah kau masih sedih?" tanya Louis kepada gadis mungil yang duduk di dekat rak. Sejak tadi pagi, sang adik tidak banyak bersuara. Kerjanya hanya berkedip dan bernapas.Tangannya tak sedetik pun lepas dari Yemon. "Memangnya kau tidak sedih?" balas gadis mungil itu lirih. Pipinya tampak lebih kurus tanpa senyum. Setelah mendesah samar, Louis pun duduk di samping sang adik. "Entahlah, aku bingung." Sambil melipat kaki, ia bergumam, "Menurutku, kita terlalu kecil untuk mengerti urusan orang besar. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada malam itu. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa menjadi Papa kita. Dan aku tidak tahu apa artinya anak haram. Kamu tahu apa itu anak haram?" Tak mendapat tanggapan, ia pun melirik. "Sepertinya, kamu juga tidak tahu. Masalah ini memang terlalu membingungkan untuk anak seumuran kita." Emily berkedip-kedip mencerna omongan sang kakak. Selang keheningan sesaat, ia akhirnya tertunduk dan
“Bu, Tuan Muda Harper datang ke sini untuk membicarakan sesuatu. Kami ... ingin membicarakan sesuatu dengan Ibu.” Kara mempertegas kalimat terakhir. Frank bergegas mengangguk. “Benar, Nyonya. Tolong izinkan saya masuk.” Ekspresi Susan sama sekali tidak berubah. Dengan bibir terkatup, ia mengamati dua orang di hadapannya. “Kau sungguh ingin masuk?” Ia menarik pintu sedikit lebih lebar dan menyentak sebelah alis. Napas Frank semakin berat. Sambil menariknya dalam-dalam, ia mengangguk. “Ya, Nyonya.” “Kalau begitu, Kara ... tunggulah di luar.” Frank dan Kara sontak terbelalak. Mereka saling menatap, seolah tak rela dipisahkan. Namun, tangan Susan bergerak, mempersilakan sang CEO lewat. Mau tidak mau, pria itu melangkah masuk. “Terima kasih, Nyonya.” Sementara Frank meletakkan tentengannya di meja, Susan menutup pintu. Sesaat kemudian, wanita paruh baya itu duduk di sofa. “Apa yang mau kau bicarakan?” Frank masih ber