Hai, hai! Pixie lihat makin banyak nih pembaca yang kasih komen dan gems. Makasiiih yaaa! Pixie doain semoga kalian sehat selalu dan rejekinya makin lancar. Aamiin ....
"Kau lupa? Kamar Louis tidak jauh dari sini," ringis Kara dengan raut panik. Sambil tersenyum simpul, Frank merangkak naik ke sisi lain dari kasur."Tidak apa-apa. Anak-anak sudah lelah bermain seharian. Mereka pasti tidur lelap. Dan aku sudah mengajak mereka ke toilet tadi. Semua aman." "Tetap saja!" Kara menyikut lengan yang hendak melingkar di tubuhnya. "Ibuku ada di sini." "Ibumu menghindari tangga. Lagi pula, kau sudah dewasa. Tidak mungkin ibumu datang ke sini, memeriksa apakah kau sudah tidur atau belum." Sebelum Kara membantah lagi, ia cepat-cepat menyelipkan diri ke dalam selimut lalu merapat. "Kau bilang kau lelah? Tidurlah, Kara." "Tapi—" "Jangan memikirkan apa-apa, termasuk omonganku tadi. Anggap saja aku melantur." Frank mendorong kening Kara agar kepalanya menyentuh bantal. "Tidur! Besok kita harus kerja." "Tapi ini kamarku. Kenapa tidak tidur di kamarmu saja? Bukankah ranjangnya lebih besar?" T
Selimut mereka tak sengaja tersingkap. Lengan Frank yang masih melingkar di pinggang Kara pun terungkap. Melihat itu, darah Isabela semakin meletup-letup. "Dasar perempuan tak tahu malu! Beraninya kau tidur dengan calon suamiku!" Kepalan tinjunya seketika berubah menjadi cakar, bersiap untuk menyerang. Namun, melihat seorang pelayan datang membawakan pesanannya, ia langsung meraih cangkir itu dan membawanya menuju Kara. "Dasar perempuan murahan!" Beruntung, Frank sigap mengangkat selimut. Teh panas itu tidak setetes pun menyentuh Kara. "Kau gila? Kau mau mengirimnya ke rumah sakit dengan lepuhan?" bentak Frank sambil menggertakkan rahang. "Dia memang pantas mendapatkan itu! Kalau perlu, sekalian saja dia mati agar langsung hangus di lahar neraka." Frank mendengus mendengar umpatan itu. "Untuk apa kau datang ke rumahku sepagi ini? Membuat keributan? Kau ingin melihat perusahaanmu hancur dilalap api neraka?"&nbs
Sambil menahan desakan panas dalam dada, Emily melirik Kara. Boneka yang didekapnya erat seakan ikut merasakan kepahitannya."Benarkah Tuan Baik Hati adalah Papa kami? Orang jahat yang sudah meninggalkan kita?"Ribuan jarum seketika menusuk paru-paru Frank. Ia tidak bisa lagi bernapas. Sambil menahan sesak, ia berlutut dan memegangi pundak putrinya. "Emily ...."Ia mencoba menjelaskan, tetapi lidahnya kebas. Tidak ada satu pun kalimat yang terasa tepat untuk menggambarkan penyesalannya. Melihat diamnya Frank, gadis jenius itu tahu jawabannya. Isak tangisnya tidak lagi tertahankan. Sambil mengusap mata, ia pun berlari melewati Louis, para pelayan, lalu lurus ke arah neneknya yang baru saja muncul dari tangga. "Ada apa, Tuan Putri? Kenapa kamu menangis?" Susan mengusap wajah cucunya. Namun, Emily tidak menjawab. Ia hanya menggeleng dan memeluk kaki sang nenek lebih erat. Susan pun melihat lurus ke depan. Dari depan pintu kamar Kara, Louis berjalan lesu menghampirinya. "Emily sedih
"Emily, apakah kau masih sedih?" tanya Louis kepada gadis mungil yang duduk di dekat rak. Sejak tadi pagi, sang adik tidak banyak bersuara. Kerjanya hanya berkedip dan bernapas.Tangannya tak sedetik pun lepas dari Yemon. "Memangnya kau tidak sedih?" balas gadis mungil itu lirih. Pipinya tampak lebih kurus tanpa senyum. Setelah mendesah samar, Louis pun duduk di samping sang adik. "Entahlah, aku bingung." Sambil melipat kaki, ia bergumam, "Menurutku, kita terlalu kecil untuk mengerti urusan orang besar. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada malam itu. Aku tidak mengerti bagaimana dia bisa menjadi Papa kita. Dan aku tidak tahu apa artinya anak haram. Kamu tahu apa itu anak haram?" Tak mendapat tanggapan, ia pun melirik. "Sepertinya, kamu juga tidak tahu. Masalah ini memang terlalu membingungkan untuk anak seumuran kita." Emily berkedip-kedip mencerna omongan sang kakak. Selang keheningan sesaat, ia akhirnya tertunduk dan
“Bu, Tuan Muda Harper datang ke sini untuk membicarakan sesuatu. Kami ... ingin membicarakan sesuatu dengan Ibu.” Kara mempertegas kalimat terakhir. Frank bergegas mengangguk. “Benar, Nyonya. Tolong izinkan saya masuk.” Ekspresi Susan sama sekali tidak berubah. Dengan bibir terkatup, ia mengamati dua orang di hadapannya. “Kau sungguh ingin masuk?” Ia menarik pintu sedikit lebih lebar dan menyentak sebelah alis. Napas Frank semakin berat. Sambil menariknya dalam-dalam, ia mengangguk. “Ya, Nyonya.” “Kalau begitu, Kara ... tunggulah di luar.” Frank dan Kara sontak terbelalak. Mereka saling menatap, seolah tak rela dipisahkan. Namun, tangan Susan bergerak, mempersilakan sang CEO lewat. Mau tidak mau, pria itu melangkah masuk. “Terima kasih, Nyonya.” Sementara Frank meletakkan tentengannya di meja, Susan menutup pintu. Sesaat kemudian, wanita paruh baya itu duduk di sofa. “Apa yang mau kau bicarakan?” Frank masih ber
“Maafkan aku. Aku sungguh menyesal atas apa yang kulakukan itu. Dulu aku sangat egois dan bodoh. Aku hanya memikirkan keselamatanku sendiri, tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap orang lain.” Pernyataan Frank lahir dari lubuk hatinya yang terdalam, tetapi Susan menolak percaya. Ia malah membuang muka dan menarik napas berat. “Tidak ada gunanya meminta maaf. Hidup putri dan cucuku tidak akan membaik karena maafmu.” Sambil menyempal paru-paru dengan harapan, Frank mendongak. “Tolong beri aku kesempatan, Nyonya. Aku bersumpah tidak akan menyakiti putrimu lagi. Aku akan selalu melindungi dan melengkapi bahagianya. Sama halnya dengan bagaimana aku akan memberikan yang terbaik untuk Emily dan Louis.” Sambil bersedekap, Susan tertawa remeh dan menggeleng. “Siapa yang percaya?” “Tolong, Nyonya ... sekali ini saja. Akan kupastikan bahwa omonganku ini bukan sekadar kata-kata. Aku serius ingin memperbaiki semuanya.” Frank menatap Susan dari bawah kerut alisnya yang dalam, menanti harapan
Kara berusaha mengatur napas. Kepalanya bergerak-gerak mengimbangi desakannya. “Aku juga tidak tahu, Bu. Pikiran itu datang begitu saja, sama seperti perasaan ini. Aku juga tidak mengerti.” “Sadarlah, Kara. Laki-laki itu sudah menghancurkan hidupmu. Dia sudah pernah meninggalkanmu. Kau masih berani menaruh harapan padanya?” Kara menggigit bibir. Ia tidak tahu jawaban apa yang tepat. Ketika melihat sang ibu mendesah kecewa, ia akhirnya memilih kejujuran. “Bukankah Ibu pernah bilang kalau aku tidak harus selalu tegar? Kalau aku ingin menangis, menangis saja. Mungkin, aku sudah benar-benar lelah, Bu.” Setetes kesedihan kembali meleleh di pipi Kara. Susan cepat-cepat mengalihkan pandangan. Ia tidak bisa berpikir jernih jika melihat kepedihan putrinya. “Selama empat tahun lebih, aku menanggung semuanya sendiri. Ya, Ibu memang selalu membantuku, tapi ....” Kara tidak tahu harus bagaimana menjelaskan porsinya tanpa menyinggung sang ibu. “Tapi
“Apakah dia sudah pulang?” tanya Louis dengan tangan masih memegang kenop pintu.Kara tersenyum kecut. “Sudah. Boleh Mama masuk?”Tanpa bersuara, Louis melebarkan pintu.“Terima kasih, Sayang.” Kara membelai kepala putranya lalu beralih menatap Emily.Putrinya itu sedang berbaring menghadap dinding. Punggungnya yang tidak terselimuti dengan sempurna tampak begitu muram.“Emily ....”Gadis mungil itu tidak menyahut. Tangannya hanya bergerak sedikit merapatkan Yemon ke dagu.“Dia sudah seharian seperti ini. Aku beberapa kali berusaha menghiburnya, tapi tidak berhasil,” lapor Louis, setengah berbisik.Mendapat keterangan semacam itu, kerongkongan Kara semakin gersang. Ia pun terpaksa berdeham. “Ada hal penting yang harus Mama bicarakan dengan kalian. Kalian mau mendengar?”Louis mengangguk, tetapi Emily pura-pura tidak tahu. Selang satu embusan napas, K