Beranda / Pendekar / Aruna Putra Api / Bab 101 - Bab 110

Semua Bab Aruna Putra Api: Bab 101 - Bab 110

133 Bab

101. Perdebatan Dengan Ki Daksa

“Aku harus bicarakan ini dengan Ki Daksa, Ayahanda,” ujar Aruna saat Arya menghampiri dan duduk di sisinya. Ki Prabangkara memberinya waktu untuk memutuskan apakah bersedia melepaskan ilmu pengobatan warisan Ki Bayanaka itu.“Santai saja, Nak. Kau bisa pikirkan hal itu masak-masak. Hanya saja akan sangat merugi bila kita kehilangan kemampuan pengobatan Ki Bayanaka itu,” ujar Arya semakin membuat Aruna gamang.Aruna tak menjawab ayahandanya. Jauh di dalam hati, pemuda itu tentu menginginkan yang terbaik untuk Astagina dan kedua orang tuanya. Namun ia juga tak ingin kehilangan kemampuan yang terasa begitu cocok untuknya. Menyembuhkan dan menolong orang lain adalah cita-cita baginya.Arya bangkit dan menepuk pundak putranya. Ia tahu benar bahwa sangat tak mudah dihadapkan pada pilihan sulit. Peluang menyelamatkan Astagina terbuka luas andai Aruna mau mempelajari Ajian Dasa Daraka. Paling tidak ketakutan mereka berdua terhadap kayu sarayu sedikit berkurang. Tapi amat berat kehilangan kema
Baca selengkapnya

102. Mengelabui Ki Daksa

Aruna duduk bersila di sebuah balai-balai. Saling berhadapan dengan Ki Prabangkara. Semua sudah direncanakan dengan matang. Pemuda itu membantu ayahandanya untuk terlepas dari raga dan berjumpa dengan Ki Daksa. Sedang ia bersiap untuk memulai latihannya.“Sebelum memulainya, apa saja yang sudah kau kuasai, Nak?” tanya Ki Prabangkara.“Selain ilmu pengobatan, aku menguasai Meraga Sukma dan Lembat Brabat, Ki,” jawab Aruna datar.“Hmm, aku anggap itu sebagai satu ilmu. Lembat Brabat adalah lanjutan dari Meraga Sukma, bukan?” ucap Ki Prabangkara tenang. Ia seperti kebanyakan pimpinan sebuah padepokan, pengetahuannya tentang berbagai macam ilmu terbilang bagus.“Apa aku bisa mulai pelatihannya, Ki?” tanya Aruna. “Ayahanda tak bisa berlama-lama dalam wujud halusnya,” tambahnya.“Aku mengerti, Nak. Aku hanya ingin memastikan kau akan siap menerima Ajian Dasa Daraka. Tahap pertama ini akan berlangsung singkat,” ucap Ki Prabangkara dengan senyum mengembang.Pria tua berjanggut lebat itu tampak
Baca selengkapnya

103. Malunya Seorang Raja

Arya diam tak mengerti. Segera setelah Ki Daksa mengumpat, tubuhnya menguap dan tertarik ke tubuh Arya. Ada rasa pedih dan panas di dada. Ayahanda Aruna itu membuka mata dan ia sudah kembali ke tubuh kasarnya.Tak ada sensasi lain setelah peristiwa itu terjadi. Arya memperhatikan kedua telapak tangannya, tak ada yang berbeda. Namun ia merasa jauh lebih tenang. Perasaannya jauh lebih stabil, tak lagi meledak-ledak seperti api yang memang jadi kekuatan utamanya.“Apa yang terjadi pada Aruna ya? Jika Ki Daksa hampir musnah, artinya tahap pertama sudah selesai dilalui,” batin Arya.Lelaki itu bangkit dari batu besar dan berjalan cepat menuju rumah panggung tempat Ki Prabangkara menurunkan Ajian Dasa Daraka. Ia ingin segera melihat putranya. Entah bagaimana tahap berikutnya, tak begitu ia pedulikan untuk sementara.Balai-balai di beranda rumah panggung itu hancur. Bambu-bambu sebagai material penyusunnya parah beberapa bagian. Tak terlihar dimana Ki Prabangkara dan Aruna. Para penghuni pad
Baca selengkapnya

104. Serangan Pasukan Udara

“Ampun, Gusti. Hamba sama sekali tak mendapatkan kabar penyerangan dari Telik Sandi. Ini sungguh aneh,” lapor Senopati Jatiwungu setelah tergopoh-gopoh menghampiri Jenar.“Sepertinya Danapati sudah tahu. Siapkan orang-orangmu, Jatiwungu. Jangan sampai ada satu orang pun dari Rakajiwa yang terluka!” titah Jenar.“Sendika, Gusti!” seru Senopati Jatiwungu dan segera berbalik meninggalkan Jenar dan Legawa.Perdana, Atma dan Barata sebagai murid terdekat Legawa setelah Aruna segera tiba. Ketiganya sudah siap dengan senjatanya masing-masing. Ini kali kedua pasukan udara Astagina menyerang Rakajiwa. Tak mungkin mereka tak memiliki persiapan yang lebih memadai dari serangan pertama.“Perdana, kau siagakan seluruh murid yang tersedia. Utamakan para pemanah. Anak panah kita terbatas, jadi hanya siagakan murid yang mahir!” titah Legawa.“Baik, Guru!” seru Perdana dan segera pergi meninggalkan tempat itu.“Barata, naik lah ke tempat tinggi dan lakukan Ghanaswara. Aku ingin pandangan pasukan udara
Baca selengkapnya

105. Sekutu

Kabut yang menyelimuti langit Rakajiwa perlahan memudar. Alunan seruling yang terhenti sekaligus menandakan Ghanaswara pun selesai. Tubuh Barata jatuh begitu saja dari atas dahan pohon dan menghantam tanah. Pemuda itu kehabisan tenaga dan tak sadarkan diri.Jenar melompat turun demi memastikan Barata, pemuda berambut ikal itu masih hidup. Perempuan itu memeriksa denyut nadi dan jantung Barata. Ia pun memberikan pertolongan pertama agar pengguna Ghanaswara itu mampu bertahan hidup.“Mengapa mereka tak juga menyerang?” batin Jenar seraya menengadah. Pasukan udara Astagina masih terus berputar-putar di langit namun kini terbang lebih rendah.Jenar terus memperhatikan sekitar. Para pemanah segera menghunuskan senjata mereka melihat musuh berada dalam jangkauan. Tanpa dikomando mereka segera melesatkan anak panah ke arah pasukan udara itu. Seorang prajurit tertembus panah dan jatuh tak jauh dari tempat Jenar berada.Prajurit itu menyeringai. Selain luka terkena anak panah, sudah pasti jatu
Baca selengkapnya

106. Busur Anantara

“Tapi aku tak yakin keabadiannya akan kekal,” ucap Ki Prabangkara.“Apa? Keabadian yang tak kekal? Aku tak mengerti, Ki?” tanya Arya. Sungguh ia tak mengerti kata-kata pria tua di hadapannya. Sejauh ia tahu, abadi dan kekal memiliki arti yang sama.“Ajian Dasa Daraka menyerap energi spiritual penggunanya. Semakin besar energi itu, maka Ajian Dasa Daraka akan lebih mudah dikuasai. Putramu juga pengguna Meraga Sukma, tak heran dia akan menguasainya dalam waktu singkat,” terang Ki Prabangkara.“Lantas apa hubungannya energi spiritual dengan keabadian?” cecar Arya. Penjelasan Ki Prabangkara sama sekali tak menjawab pertanyaannya.“Jika kau menikah dan menjalin asmara dengan seorang wanita, maka keseimbangan energi spiritual itu akan terganggu. Ia tak bisa sejalan dengan nafsumu. Aruna akan abadi sampai ia mencampuri istrinya kelak,” tandas Ki Prabangkara.Arya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Terjawab sudah mengapa abadi namun tak kekal. Juga sekaligus menjawab mengapa kekuatannya m
Baca selengkapnya

107. Pedang Sanggabanu

“Bagaimana dengan persiapan penobatanku?” tanya Danapati pada seorang abdi yang ia temui di sela antar bangunan istana. Percakapan yang rupanya didengar oleh Warasena. Pria itu memang berniat untuk menghentikan acara penobatan Danapati sebagai raja.Abdi itu menunduk tak berani menatap Danapati. Semua perintah lelaki itu ia amini meski dengan berat hati. Banyak abdi istana yang tak menghendaki Danapati naik tahta. Sedang Jenar, Arya dan Aruna tak diketahui dimana rimbanya. Namun lagi-lagi demi keselamatan diri dan keluarga, mereka harus menaati perintah pimpinan tertinggi Astagina itu.“Oi, Danapati!” seru Warasena sekaligus mencegah lelaki berkaki kanan palsu itu urung pergi.“Ah, kau, Warasena! Tampaknya kau harus membiasakan diri memanggilku dengan gelar Prabu,” tandas Danapati dengan tawa di akhir kalimatnya.“Kau sungguh konyol!” umpat Warasena.“Apa-apaan kau ini?” tantang Danapati.“Daripada menobatkan diri menjadi raja, lebih baik kau membereskan Jenar dan keluarganya itu! Dia
Baca selengkapnya

108. Dua Cahaya Menembus Langit

“Cahaya apa itu?”Orang-orang Astagina segera menoleh ke langit arah barat daya. Semuanya menganga menyaksikan cahaya biru menggapai awan. Langit menjadi biru, lebih biru dari biasanya. Angin berhembus perlahan seolah tertarik pada cahaya biru itu, sama seperti orang-orang itu. Di tepian wilayah kerajaan, bahkan ada yang bergerak mendekat demi menyaksikan sumber cahaya.Begitu pun Danapati dan Warasena. Dua pria itu sampai berdiri di menara barat demi mengetahui dari mana cahaya biru itu berasal. Mereka saling pandang. Tak ada seorang pun dari mereka yang pernah mendatangi tempat itu.“Cahaya apa ini? Apakah ini suatu pertanda?” gumam Danapati.“Itu arah barat daya, seingatku tak ada apa pun di sana. Hanya hutan dan perbukitan, serta air terjun yang airnya mengalir hingga ke mari,” tambah Warasena.“Kau benar, tapi cahaya apa? Energi ini begitu besar. Jika pun pusaka, pasti pusaka sakti!” tandas Danapati. “Prajurit!” serunya.“Sendika, Gusti!”“Cari Senopati Kalawangsa. Minta dia kiri
Baca selengkapnya

109. Kematian Pertama

“Aruna!” Arya bangkit dengan gontai. Ia paksakan diri menghampiri putranya yang tergeletak tak berdaya. Ki Prabangkara dan Sanggabanu mengikuti Arya dengan langkah yang lebih santai.“A-ayahanda....”“Aruna, bertahan lah, Nak!” seru Arya setengah menangis. Ini kali ketiga ia harus berhadapan dengan ujung hidup orang terdekatnya setelah kematian Gantari dan Sanggageni.Tanpa dikomando dan mungkin juga Arya tak menyadari, kedua telapak tangan lelaki menghadap ke tubuh Aruna. Ke tempat pedang Sanggabanu menancap. Aura biru segera muncul dari telapak tangan itu. Samar terdengar suara berdesis dan asap tipis mengepul mengeluarkan aroma daging terbakar.“Tolong cabut pedang itu, Ki!” pinta Arya.Ki Prabangkara tak bereaksi apa pun. Pria tua itu hanya diam dan menganggukkan kepalanya kepada adiknya Sanggabanu. Lelaki bertubuh bocah itu segera mendekat dan mencabut pedang dengan begitu mudah. Arya sampai menatapnya sesaat.“Hentikan pengobatanmu, Arya!” pinta Ki Prabangkara.“Apa? Apa maksudm
Baca selengkapnya

110. Pasangan

“Paman?”“Guru?”Seru Arya dan Aruna bersamaan. Di balik tanah yang menjorok dan rumput tebal mereka melihat Legawa tengah memegangi tangannya. Pria itu lah yang berteriak kesakitan tadi. Sebuah pedang kusam menancap di batu tepat di hadapan Legawa. Arya dan Aruna serta merta mendekat.“Kalian berdua?” Legawa terkejut namun juga gembira. Tak menyangka bertemu dengan ayah dan anak itu di Wana Payoda.“Apa yang Paman lakukan di sini?” tanya Arya meski ia sesungguhnya tahu alasannya setelah melihat pedang Sanggageni.“Kau tak mungkin tak tahu. Seluruh Astagina dan dataran ini pasti melihat cahaya biru dan merah menembus langit. Aku sudah menduga berasal dari pedang ayahandamu,” terang Legawa.“Lantas apa yang terjadi dengan tanganmu, Guru?” tanya Aruna.“Sebelumnya aku pernah menyentuh pedang ini dan baik-baik saja, entah mengapa kali ini tidak. Aku seperti menyentuh api!” tandas Legawa sembari mengibaskan telapak tangannya beberapa kali.Arya mendekat. Ia raih telapak tangan Legawa dan
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status