“Tapi aku tak yakin keabadiannya akan kekal,” ucap Ki Prabangkara.“Apa? Keabadian yang tak kekal? Aku tak mengerti, Ki?” tanya Arya. Sungguh ia tak mengerti kata-kata pria tua di hadapannya. Sejauh ia tahu, abadi dan kekal memiliki arti yang sama.“Ajian Dasa Daraka menyerap energi spiritual penggunanya. Semakin besar energi itu, maka Ajian Dasa Daraka akan lebih mudah dikuasai. Putramu juga pengguna Meraga Sukma, tak heran dia akan menguasainya dalam waktu singkat,” terang Ki Prabangkara.“Lantas apa hubungannya energi spiritual dengan keabadian?” cecar Arya. Penjelasan Ki Prabangkara sama sekali tak menjawab pertanyaannya.“Jika kau menikah dan menjalin asmara dengan seorang wanita, maka keseimbangan energi spiritual itu akan terganggu. Ia tak bisa sejalan dengan nafsumu. Aruna akan abadi sampai ia mencampuri istrinya kelak,” tandas Ki Prabangkara.Arya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Terjawab sudah mengapa abadi namun tak kekal. Juga sekaligus menjawab mengapa kekuatannya m
“Bagaimana dengan persiapan penobatanku?” tanya Danapati pada seorang abdi yang ia temui di sela antar bangunan istana. Percakapan yang rupanya didengar oleh Warasena. Pria itu memang berniat untuk menghentikan acara penobatan Danapati sebagai raja.Abdi itu menunduk tak berani menatap Danapati. Semua perintah lelaki itu ia amini meski dengan berat hati. Banyak abdi istana yang tak menghendaki Danapati naik tahta. Sedang Jenar, Arya dan Aruna tak diketahui dimana rimbanya. Namun lagi-lagi demi keselamatan diri dan keluarga, mereka harus menaati perintah pimpinan tertinggi Astagina itu.“Oi, Danapati!” seru Warasena sekaligus mencegah lelaki berkaki kanan palsu itu urung pergi.“Ah, kau, Warasena! Tampaknya kau harus membiasakan diri memanggilku dengan gelar Prabu,” tandas Danapati dengan tawa di akhir kalimatnya.“Kau sungguh konyol!” umpat Warasena.“Apa-apaan kau ini?” tantang Danapati.“Daripada menobatkan diri menjadi raja, lebih baik kau membereskan Jenar dan keluarganya itu! Dia
“Cahaya apa itu?”Orang-orang Astagina segera menoleh ke langit arah barat daya. Semuanya menganga menyaksikan cahaya biru menggapai awan. Langit menjadi biru, lebih biru dari biasanya. Angin berhembus perlahan seolah tertarik pada cahaya biru itu, sama seperti orang-orang itu. Di tepian wilayah kerajaan, bahkan ada yang bergerak mendekat demi menyaksikan sumber cahaya.Begitu pun Danapati dan Warasena. Dua pria itu sampai berdiri di menara barat demi mengetahui dari mana cahaya biru itu berasal. Mereka saling pandang. Tak ada seorang pun dari mereka yang pernah mendatangi tempat itu.“Cahaya apa ini? Apakah ini suatu pertanda?” gumam Danapati.“Itu arah barat daya, seingatku tak ada apa pun di sana. Hanya hutan dan perbukitan, serta air terjun yang airnya mengalir hingga ke mari,” tambah Warasena.“Kau benar, tapi cahaya apa? Energi ini begitu besar. Jika pun pusaka, pasti pusaka sakti!” tandas Danapati. “Prajurit!” serunya.“Sendika, Gusti!”“Cari Senopati Kalawangsa. Minta dia kiri
“Aruna!” Arya bangkit dengan gontai. Ia paksakan diri menghampiri putranya yang tergeletak tak berdaya. Ki Prabangkara dan Sanggabanu mengikuti Arya dengan langkah yang lebih santai.“A-ayahanda....”“Aruna, bertahan lah, Nak!” seru Arya setengah menangis. Ini kali ketiga ia harus berhadapan dengan ujung hidup orang terdekatnya setelah kematian Gantari dan Sanggageni.Tanpa dikomando dan mungkin juga Arya tak menyadari, kedua telapak tangan lelaki menghadap ke tubuh Aruna. Ke tempat pedang Sanggabanu menancap. Aura biru segera muncul dari telapak tangan itu. Samar terdengar suara berdesis dan asap tipis mengepul mengeluarkan aroma daging terbakar.“Tolong cabut pedang itu, Ki!” pinta Arya.Ki Prabangkara tak bereaksi apa pun. Pria tua itu hanya diam dan menganggukkan kepalanya kepada adiknya Sanggabanu. Lelaki bertubuh bocah itu segera mendekat dan mencabut pedang dengan begitu mudah. Arya sampai menatapnya sesaat.“Hentikan pengobatanmu, Arya!” pinta Ki Prabangkara.“Apa? Apa maksudm
“Paman?”“Guru?”Seru Arya dan Aruna bersamaan. Di balik tanah yang menjorok dan rumput tebal mereka melihat Legawa tengah memegangi tangannya. Pria itu lah yang berteriak kesakitan tadi. Sebuah pedang kusam menancap di batu tepat di hadapan Legawa. Arya dan Aruna serta merta mendekat.“Kalian berdua?” Legawa terkejut namun juga gembira. Tak menyangka bertemu dengan ayah dan anak itu di Wana Payoda.“Apa yang Paman lakukan di sini?” tanya Arya meski ia sesungguhnya tahu alasannya setelah melihat pedang Sanggageni.“Kau tak mungkin tak tahu. Seluruh Astagina dan dataran ini pasti melihat cahaya biru dan merah menembus langit. Aku sudah menduga berasal dari pedang ayahandamu,” terang Legawa.“Lantas apa yang terjadi dengan tanganmu, Guru?” tanya Aruna.“Sebelumnya aku pernah menyentuh pedang ini dan baik-baik saja, entah mengapa kali ini tidak. Aku seperti menyentuh api!” tandas Legawa sembari mengibaskan telapak tangannya beberapa kali.Arya mendekat. Ia raih telapak tangan Legawa dan
“Ah, sepertinya kau harus tahu. Selama ini pedang yang digunakan ayahandaku rupanya memiliki pasangan. Pedang Sanggabanu dari Pasimutara. Kedua pedang ini lah yang memancarkan cahaya merah dan biru tadi,” terang Arya seraya meraih sepasang pedang dari tangan Rara Sati.Rara Anjani dan putrinya saling pandang. Mereka masih mengingat jelas bagaimana ketakutan Nyai Padmi melihat kedua cahaya itu. Juga kata-kata terakhirnya untuk berpihak pada seseorang yang membawa benda berpasangan jika ingin selamat.“Suamiku, aku akan memberikan bantuan apa pun asal semua itu keinginanmu!” tandas Rara Anjani.Rara Sati tersenyum mendengar kalimat ibundanya. Sedang Arya dan Aruna saling pandang tak percaya. Tanpa mengucapkan apa pun Arya merengkuh tubuh istrinya itu dan membisikkan kalimat cinta di telinganya. Terserah apa yang terjadi, mendapatkan bantuan lah yang terpenting.“Tapi aku punya satu syarat,” potong Rara Anjani menghentikan kegembiraan Arya.“Apa itu, Rara?”“Pusatkan lah kekuatan sini. A
“Bagus!” seru Jenar setelah Sasra Dasa milik Adisatya mengenai sasaran. Sepuluh prajurit udara Astagina hilang kendali dan saling bertabrakan di udara. Mereka pun terjun bebas ke tanah Rakajiwa. Sebagian bahkan terjun ke dalam api yang mereka buat sendiri di atap-atap daun rumbia itu.Sepuluh tumbang. Masih ada lima puluh lagi melayang-layang di langit Rakajiwa. Mereka semakin merendah. Bagaimana pun tak ada yang terima rekannya tewas. Mereka ingin melancarkan serangan balasan.“Para pemanah, sekarang!” seru Jenar memberikan komando. Puluhan anak panah melesat menyongsong pasukan udara itu. Beberapa lupur dari sasaran, beberapa lagi berhasil mengenainya. Pasukan udara tersisa segera terbang meninggalkan Rakajiwa.“Untuk sementara serangan dari udara sudah berhenti. Atma, bisa kah kau tinggikan tanah ini?” tanya Jenar pada pengguna Baladhara itu. Ia memiliki rencana yang mungkin efektif menangkal serangan dua ribu prajurit Astagina.Pada masa pembentukannya, Padepokan Rakajiwa berbentu
Anak panah yang dilepaskan Jenar dari busur Anantara melesat cepat membelah udara pagi Wana Praya. Lesatannya nyaris tak terlihat oleh prajurit yang sibuk berdesakan demi naik ke anak tangga, satu-satunya jalan menyerang Rakajiwa. Tak ada yang menyadari, termasuk Warasena sendiri. Pria itu masih sibuk mengendalikan pedang Candralawa manakala sebuah anak panah menembus dadanya.Warasena terpaksa mengakhiri Candralawa yang sudah melukai Senopati Jatiwungu dan beberapa murid Rakajiwa. Dua pedangnya luruh ke tanah, bersamaan dengan tubuh mantan Raja Candikapura itu. Ia ambruk cukup keras dari atas kudanya. Para prajurit yang berada di sekitarnya panik dan berteriak memberitahu punggawa terdekat agar menggantikannya memimpin pasukan.“Berhasil!” seru Jenar dengan senyum lebar.“Luar biasa, Gusti!” puji Senopati Jatiwungu yang belum juga beranjak dari sisi Jenar. Luka sayatan di kedua tangannya sudah dibalut dengan kain putih. Pria itu merasa sudah mampu untuk bertarung lagi.“Akurasi yang
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar