“Aruna!” Arya bangkit dengan gontai. Ia paksakan diri menghampiri putranya yang tergeletak tak berdaya. Ki Prabangkara dan Sanggabanu mengikuti Arya dengan langkah yang lebih santai.“A-ayahanda....”“Aruna, bertahan lah, Nak!” seru Arya setengah menangis. Ini kali ketiga ia harus berhadapan dengan ujung hidup orang terdekatnya setelah kematian Gantari dan Sanggageni.Tanpa dikomando dan mungkin juga Arya tak menyadari, kedua telapak tangan lelaki menghadap ke tubuh Aruna. Ke tempat pedang Sanggabanu menancap. Aura biru segera muncul dari telapak tangan itu. Samar terdengar suara berdesis dan asap tipis mengepul mengeluarkan aroma daging terbakar.“Tolong cabut pedang itu, Ki!” pinta Arya.Ki Prabangkara tak bereaksi apa pun. Pria tua itu hanya diam dan menganggukkan kepalanya kepada adiknya Sanggabanu. Lelaki bertubuh bocah itu segera mendekat dan mencabut pedang dengan begitu mudah. Arya sampai menatapnya sesaat.“Hentikan pengobatanmu, Arya!” pinta Ki Prabangkara.“Apa? Apa maksudm
“Paman?”“Guru?”Seru Arya dan Aruna bersamaan. Di balik tanah yang menjorok dan rumput tebal mereka melihat Legawa tengah memegangi tangannya. Pria itu lah yang berteriak kesakitan tadi. Sebuah pedang kusam menancap di batu tepat di hadapan Legawa. Arya dan Aruna serta merta mendekat.“Kalian berdua?” Legawa terkejut namun juga gembira. Tak menyangka bertemu dengan ayah dan anak itu di Wana Payoda.“Apa yang Paman lakukan di sini?” tanya Arya meski ia sesungguhnya tahu alasannya setelah melihat pedang Sanggageni.“Kau tak mungkin tak tahu. Seluruh Astagina dan dataran ini pasti melihat cahaya biru dan merah menembus langit. Aku sudah menduga berasal dari pedang ayahandamu,” terang Legawa.“Lantas apa yang terjadi dengan tanganmu, Guru?” tanya Aruna.“Sebelumnya aku pernah menyentuh pedang ini dan baik-baik saja, entah mengapa kali ini tidak. Aku seperti menyentuh api!” tandas Legawa sembari mengibaskan telapak tangannya beberapa kali.Arya mendekat. Ia raih telapak tangan Legawa dan
“Ah, sepertinya kau harus tahu. Selama ini pedang yang digunakan ayahandaku rupanya memiliki pasangan. Pedang Sanggabanu dari Pasimutara. Kedua pedang ini lah yang memancarkan cahaya merah dan biru tadi,” terang Arya seraya meraih sepasang pedang dari tangan Rara Sati.Rara Anjani dan putrinya saling pandang. Mereka masih mengingat jelas bagaimana ketakutan Nyai Padmi melihat kedua cahaya itu. Juga kata-kata terakhirnya untuk berpihak pada seseorang yang membawa benda berpasangan jika ingin selamat.“Suamiku, aku akan memberikan bantuan apa pun asal semua itu keinginanmu!” tandas Rara Anjani.Rara Sati tersenyum mendengar kalimat ibundanya. Sedang Arya dan Aruna saling pandang tak percaya. Tanpa mengucapkan apa pun Arya merengkuh tubuh istrinya itu dan membisikkan kalimat cinta di telinganya. Terserah apa yang terjadi, mendapatkan bantuan lah yang terpenting.“Tapi aku punya satu syarat,” potong Rara Anjani menghentikan kegembiraan Arya.“Apa itu, Rara?”“Pusatkan lah kekuatan sini. A
“Bagus!” seru Jenar setelah Sasra Dasa milik Adisatya mengenai sasaran. Sepuluh prajurit udara Astagina hilang kendali dan saling bertabrakan di udara. Mereka pun terjun bebas ke tanah Rakajiwa. Sebagian bahkan terjun ke dalam api yang mereka buat sendiri di atap-atap daun rumbia itu.Sepuluh tumbang. Masih ada lima puluh lagi melayang-layang di langit Rakajiwa. Mereka semakin merendah. Bagaimana pun tak ada yang terima rekannya tewas. Mereka ingin melancarkan serangan balasan.“Para pemanah, sekarang!” seru Jenar memberikan komando. Puluhan anak panah melesat menyongsong pasukan udara itu. Beberapa lupur dari sasaran, beberapa lagi berhasil mengenainya. Pasukan udara tersisa segera terbang meninggalkan Rakajiwa.“Untuk sementara serangan dari udara sudah berhenti. Atma, bisa kah kau tinggikan tanah ini?” tanya Jenar pada pengguna Baladhara itu. Ia memiliki rencana yang mungkin efektif menangkal serangan dua ribu prajurit Astagina.Pada masa pembentukannya, Padepokan Rakajiwa berbentu
Anak panah yang dilepaskan Jenar dari busur Anantara melesat cepat membelah udara pagi Wana Praya. Lesatannya nyaris tak terlihat oleh prajurit yang sibuk berdesakan demi naik ke anak tangga, satu-satunya jalan menyerang Rakajiwa. Tak ada yang menyadari, termasuk Warasena sendiri. Pria itu masih sibuk mengendalikan pedang Candralawa manakala sebuah anak panah menembus dadanya.Warasena terpaksa mengakhiri Candralawa yang sudah melukai Senopati Jatiwungu dan beberapa murid Rakajiwa. Dua pedangnya luruh ke tanah, bersamaan dengan tubuh mantan Raja Candikapura itu. Ia ambruk cukup keras dari atas kudanya. Para prajurit yang berada di sekitarnya panik dan berteriak memberitahu punggawa terdekat agar menggantikannya memimpin pasukan.“Berhasil!” seru Jenar dengan senyum lebar.“Luar biasa, Gusti!” puji Senopati Jatiwungu yang belum juga beranjak dari sisi Jenar. Luka sayatan di kedua tangannya sudah dibalut dengan kain putih. Pria itu merasa sudah mampu untuk bertarung lagi.“Akurasi yang
Jenar dan Perdana berupaya bergerak menembus pusaran angin itu, namun sia-sia. Perlahan pusaran angin itu menjadi semakin cepat dan pekat. Lima puluh lima orang itu nyaris semuanya memejamkan mata agar tak ada benda asing yang menyakiti mata. Mereka meninggalkan Legawa yang terakhir terlihat mulai didekati para prajurit Astagina.Hanya hitungan detik pusaran angin itu menghilang. Jenar sudah mampu membuka mata dan menggerakkan tangan dan kaki. Namun mereka semua sudah berada di tempat berbeda. Raja Astagina itu termangu karena mengenali tempat yang ia pijak, Wana Payoda. Lima tahun lalu pertarungan hebatnya dengan Arya menewaskan Sanggageni yang amat ia sesali.“Tempat ini ... Paman Legawa,” lirih Jenar dan bersimpuh mendalami keharuan di hati. Hati kerasnya kembali hancur saat seorang panutan rela mengorbankan diri demi dirinya dan Astagina. Hilang tempat bertanya dan mencari petuah.“Gusti, apa Gusti baik-baik saja?” tanya Perdana.“Ya, kau urus saja yang lainnya,” lirih Jenar.Perd
“Darbajangka!” Warasena panik melihat kakinya menginjak sebuah lingkaran hitam di tanah, di antara ilalang. Lingkaran itu menyala sejenak lalu padam kembali.“Bagaimana?” ledek Legawa.“Pengunci Langkah, bedebah!” umpat Warasena.Darbajangka, jurus pengunci langkah khas Dipa Kencana murni. Jurus yang hanya dikuasai oleh keluarga istana, keturunan mendiang Prabu Indrawan. Setelah Kertajaya menguasai Dipa Kencana, praktis jurus itu seolah menghilang di telan bumi.“Siapa kau sebenarnya? Bagaimana mungkin kau menguasai Darbajangka?” tanya Warasena mulai menyadari bahwa pria di hadapannya bukan orang sembarangan.“Sebenarnya aku tak ada urusan denganmu. Tapi kau dan Sena mengadu domba Candrapurwa dan Dipa Kencana hingga kami kehilangan nyawa dan tempat seharusnya kami berada,” ucap Legawa dan perlahan bangkit, masih bertumpu pada toya miliknya.“Jadi, selain Danapati masih ada keturunan Prabu Anarawan yang masih hidup?” tebak Warasena.“Tidak, Warasena. Aku keturunan Prabu Indrawan dari D
“Aku bahagia melihat kalian berkumpul sebagai keluarga, Aruna,” ucap Perdana ketika membersamai Aruna memanggang daging rusa buruan.“Apa kami tampak seperti keluarga bahagia, Perdana?” tanya Aruna dengan senyum di sudut bibir. Ia mengibaskan asap pembakaran dengan lembar daun jati yang lebar.“Tentu saja. Aku tak menyangka ayundamu begitu dekat dengan ibundamu,” ujar Perdana lagi. Mata pemuda itu terus memperhatikan segala gerak-gerik Rara Sati.Aruna tak menjawab. Ia sibuk mengolah daging rusa bagian kaki itu untuk disajikan kepada orang tua dan ayundanya. Sejurus kemudian ia mendapati Perdana masih terus memperhatikan ayundanya dari jarak cukup dekat itu.“Aku tak mengerti, sebenarnya kau menyukai Pitaka atau ayundaku?” sindir Aruna tanpa menoleh.“Hah? Apa?” tanya Perdana pura-pura tak menyimak pertanyaan sahabatnya itu.“Aku tak keberatan bila kau menyukai ayundaku. Tapi ada banyak hal yang harus kau tunjukkan lebih dulu,” ucap Aruna tanpa sedikit pun senyum. Pemuda itu mendadak