“Aku bahagia melihat kalian berkumpul sebagai keluarga, Aruna,” ucap Perdana ketika membersamai Aruna memanggang daging rusa buruan.“Apa kami tampak seperti keluarga bahagia, Perdana?” tanya Aruna dengan senyum di sudut bibir. Ia mengibaskan asap pembakaran dengan lembar daun jati yang lebar.“Tentu saja. Aku tak menyangka ayundamu begitu dekat dengan ibundamu,” ujar Perdana lagi. Mata pemuda itu terus memperhatikan segala gerak-gerik Rara Sati.Aruna tak menjawab. Ia sibuk mengolah daging rusa bagian kaki itu untuk disajikan kepada orang tua dan ayundanya. Sejurus kemudian ia mendapati Perdana masih terus memperhatikan ayundanya dari jarak cukup dekat itu.“Aku tak mengerti, sebenarnya kau menyukai Pitaka atau ayundaku?” sindir Aruna tanpa menoleh.“Hah? Apa?” tanya Perdana pura-pura tak menyimak pertanyaan sahabatnya itu.“Aku tak keberatan bila kau menyukai ayundaku. Tapi ada banyak hal yang harus kau tunjukkan lebih dulu,” ucap Aruna tanpa sedikit pun senyum. Pemuda itu mendadak
Danapati merasa ada yang kurang di hari penobatannya. Warasena tak kembali setelah penyerangan Rakajiwa. Pitaka melaporkan bahwa pria itu bertarung dengan Legawa dan keduanya masuk ke dalam jurang yang dibuat oleh Atma dengan Baladhara. Sebuah pengakuan yang tentu saja disembunyikan dari para prajurit.Danapati, keturunan terakhir trah Anarawan menobatkan dirinya sendiri menjadi Raja Astagina bergelar Prabu Badhrika Astramaya. Badhrika berarti gagah berani, Astramaya berarti bersenjata. Tak seperti raja-raja sebelumnya yang meminta pendapat para tetua, Danapati memilih nama kebesarannya sendiri.Senopati Kalawangsa yang semula diangkat menjadi pimpinan divisi Telik Sandi, kini ia naikkan pangkatnya menjadi Patih. Beberapa abdi yang setia kepadanya ia nobatkan sebagai senopati di hari yang sama dengan penobatannya menjadi raja. Termasuk empat dari enam mantan pengawal Jenar. Kerajaan-kerajaan kecil taklukan Astagina ia minta untuk mengirimkan orang-orang terbaiknya untuk membela Astagi
Jenar dan Rara Anjani sama sekali tak bergeming. Mereka tetap saling menyerang dan berusaha mengalahkan satu sama lain. Akan berbeda jika kedua perempuan itu tak menggunakan senjata tajam. Namun saat ini keduanya sama-sama saling serang menggunakan pedang dengan niat untuk membunuh.Pertarungan sejauh ini berjalan seimbang. Rara Anjani memang sempat tersungkur, namun itu salah satu bagian dari gerakan menghindar. Arya tampak terkejut, ia tak menyangka kedua istrinya menguasai ilmu pedang yang lumayan. Mulanya Jenar hanya dikenal sebagai pengguna anak panah dan Suji Pati, sedang Rara Anjani acap kali menggunakan selendangnya untuk bertarung.“Ayahanda, lakukan lah sesuatu! Mereka akan saling bunuh!” seru Aruna mulai panik.Rara Sati yang mendengar tentang pertarungan dua ibundanya segera datang. Serupa dengan Aruna, gadis itu panik dan tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya takut kalau ibundanya terbunuh dan Jenar melepaskan Suji Pati-nya.Sebuah gerakan menghindar yang bagus dari Rara S
“Apa mau kalian?” hardik Jenar begitu mendapati Pitaka dan Saradula bersimpuh di hadapannya.“Ampun, Gusti. Kami hanya ingin mengabdi pada Gusti,” lirih Pitaka. Ia dan Saradula sama sekali tak berani menatap Jenar setelah orang yang harusnya ia jaga keselamatannya justru mereka jebloskan ke dalam penjara.“Apa yang memuat kalian yakin aku akan menerima kalian sampai jauh-jauh datang ke sini?” tanya Jenar. Ia tak mengerti mengapa dua mantan pengawalnya itu tahu ia berada di Dipa Kencana.“Ampuni kami jika kami lancang. Sesungguhnya Suradula memiliki kemampuan untuk melacak Gusti melalui energi di tusuk konde emas,” jawab Pitaka sungkan. Ia seperti telah siap akan kemarahan Jenar atau mungkin pengusiran. Namun lebih baik mencoba dari pada tidak sama sekali.“Apa? Suradula? Kau?” tanya Jenar tak yakin dengan kemampuan lelaki 27 tahun di sisi kiri Pitaka itu.Suradula adalah satu dari tujuh pengawalnya yang sangat tak diperhitungkan. Pendiam, cenderung menyendiri dan kemampuannya paling r
Konon kuda hanya akan minum di air yang bersih. Binatang berkaki empat itu mampu mengetahui sumber air dan tidak akan meminum air tercemar. Namun tetap saja hewan yang dijadikan tunggangan itu tak mampu mendeteksi adanya racun dalam air. Dan juga racun yang digunakan Rara Sati hanya bekerja pada manusia saja.Tepian Desa Bakung sudah berdiri ribuan tenda dengan berbagai bentuk dan ukuran. Orang-orang Astagina itu terlebih dulu mengusir penduduk desa dan mengambil alih tanah, hewan ternak dan tanaman mereka. Desa itu sudah seperti perkampungan baru yang ramai namun sama sekali tak ramah.Seharusnya persiapan penyerangan sudah hampir selesai. Namun terhambat karena hampir seluruh prajurit Duwana dan Andanu tiba-tiba terserang diare. Mereka memenuhi sepanjang tepian anak sungai Soma demi menuntaskan hajat. Jumlah mereka yang begitu banyak dan frekuensi buang air besar yang berulang-ulang membuat air sungai jadi tercemar. Beberapa dari para prajurit sudah mengeluh lemas dan berkeringat di
“Rupanya ada penyusup di sini!” sindir Senopati Jatiwungu yang baru saja tiba setelah melompati dinding tanah itu karena mendengar ada pertarungan. Matanya menatap sinis pada Kalawangsa, lelaki yang menjual diri demi kekuasaan.“Kau rupanya! Untuk seorang pengkhianat nasibmu benar-benar baik, Jatiwungu! Aku sangka kau tewas di Rakajiwa,” sindir Kalawangsa.“Pengkhianat? Apa kau tengah bercakap di depan cermin?” balas Senopati Jatiwungu. “Kau lah yang berkhianat atas kepercayaan mendiang Tuan Sanggageni!”“Tak perlu kau bicarakan orang yang sudah mati!” potong Kalawangsa.“Kakanda!” bentak Suraloka. “Kita dulu berjuang bersama dalam panji Baka Nirdaya. Dan atas jasa-jasamu kau diangkat oleh Tuan Sanggageni menjadi pemimpin pasukan udara. Dan kau kini berada di pihak pemberontak?”“Sudah lah, Suraloka! Di dunia ini tak ada orang yang tulus dan bersih. Lihat dirimu, apa yang kau dapat dengan setia kepada Raja boneka itu?” tandas Kalawangsa.“Lidahmu sungguh tajam, Kalawangsa. Mari bandin
Dua ratus lima puluh prajurit gabungan Dipa Kencana disiagakan di perbatasan. Tempat Senopati Jatiwungu dan Suraloka beserta orang-orangnya bertugas. Mereka berdua merasa aneh tempat sesepi tepian anak sungai Soma tiba-tiba dipenuhi prajurit.“Maaf, apa Tuan yang bernama Senopati Jatiwungu?” tanya seorang yang memimpin dua ratus lima puluh prajurit Dipa Kencana tadi.“Benar, aku Jatiwungu. Ada yang bisa aku bantu?” tanya Senopati Jatiwungu.“Hormat, Tuan. Pangeran Aruna meminta Tuan Senopati untuk memimpin kami semua,” ucap prajurit itu sembari membungkuk memberikan hormat.“Aku?” Senopati Jatiwungu tak percaya. Bagaimana mungkin seorang punggawa kerajaan luar diberi kuasa atas pasukan yang cukup banyak.“Benar, Gusti, hamba yakin tak salah dengar titah Gusti Pangeran,” timpal prajurit itu begitu yakin.“Ayo lah, Gusti Senopati. Gusti memang layak memimpin,” ucap Suraloka setengah menggoda. Sejak bertugas bersama di perbatasan Dipa Kencana, mereka berdua menjadi akrab.“Aku hanya terk
Seorang lelaki menunggang kuda memakai baju zirah mendekat. Ia sama sekali tak dikawal namun tetap bersenjata lengkap. Tubuhnya tegap dan berotot. Baju zirah itu membuatnya semakin terlihat besar. Ia mengankat tangannya setelah merasa cukup dekat pada dinding tanah di perbatasan Dipa Kencana bagian barat itu.Satu-satunya pintu pada dinding itu terbuka. Seorang pemuda mengenakan ikat kepala berwarna putih memacu kudanya menuju lelaki Astagina bertubuh besar yang berhenti menunggunya. Ini adalah tata cara perang yang dianut Astagina dan sekitarnya.“Astagina meminta Dipa Kencana untuk kembali menjadi Kadipaten dalam wilayah kekuasaan Astagina!” seru lelaki itu lantang setelah Aruna menghentikan kudanya tepat di hadapannya berjarak dua tombak.“Siapa kau, Ki Sanak? Siapa yang mengutusmu?” tanya Aruna lantang.“Aku Bagasura, utusan Gusti Prabu Bhadrika Astramaya!” jawab lelaki itu tak kalah lantang.“Siapa Bhadrika Astramaya?” tanya Aruna.“Lancang!” hardik lelaki itu geram. Ia menghunus
“Sendika, Tuanku!” sahut Lokawigna yang segera muncul dengan tampilan paling tampan. Makhluk itu tampak terkejut dengan keadaan di sekitarnya. Apa lagi setelah melihat Arya hanya memiliki satu tangan saja.“Lokawigna.”“Tuanku, apa yang terjadi dengan lengan Tuan?” tanya Lokawigna khawatir. Apa lagi terdapat banyak berkas darah di tubuh Arya.“Lupakan tentang aku. Aku butuh bantuanmu!” tandas Arya.“Sampaikan titahmu, Tuan,” ucap Lokawigna begitu patuh.“Kau lihat perempuan di atas kuda itu?” tanya Arya sambil menunjuk Rara Anjani.“Maksud Tuan, Gusti Rara Anjani?” tanya Lokawigna. Arya mengangguk cepat.“Pindahkan dia ke sini!” titah Arya.“Sendika, Tuan!”Lokawigna berkedip dan Rara Anjani beserta kudanya sudah berpindah tempat di belakang Arya. Perempuan itu tampak terkejut. Namun setelah melihat suaminya, ia paham bahwa lelaki itu lah yang telah memindahkannya, entah bagaimana caranya.“Apa ada lagi tugas untuk hamba, Tuan?” tanya Lokawigna. Selama ini Arya hanya meminta satu kali
“Kaki kanannya itu palsu. Sedang kaki kirinya tak menyentuh air. Alas kaki Raja Astagina terbuat dari kulit berkualitas tinggi hingga ia tahan air!” terang Arya menyampaikan analisanya.“Dia cukup cerdik. Pantas saja ibunda terpedaya hingga bisa dikudeta,” gumam Aruna. Entah Perdana mendengarnya atau tidak.“Oh, jadi bocah itu lah penyebab pasukanku kesakitan meski sama sekali tak terluka. Dan air ini menjadi penghantarnya,” batin Danapati. “Artinya aku harus melumpuhkan bocah itu dulu!”Danapati mengangguk dalam riuh suara erangan pasukannya. Ia memahami bahwa Perdana adalah pemilik ajian yang mampu menyebabkan rasa sakit meski tak terluka. Keadaan kini berbalik. Danapati harus menghadapi empat orang, meski ia sudah memilih siapa yang harus ia kalahkan lebih dulu.Danapati melompat ke dataran yang lebih tinggi. Tujuannya untuk menghindari air beku yang diciptakan Rara Sati. Meski belum tentu Mandaraji milik Perdana masih berguna, ia tetap harus hati-hati. Empat kepala lebih baik dari
Arya mendekat, bisa ia pastikan bahwa pria yang menyerupai Danapati memang lah Sakuntala. Pria itu pengguna Wikararupa meski Arya tak bisa menemukan alasan mengapa ia tak mati dalam pertarungan di menara utama Astagina.“Jika dia hanya menyerupai Danapati, lantas dimana Danapati yang asli?” gumam Arya.Lelaki itu mencari kemungkinan posisi Danapati mengingat Brajawidya Jatiwungu sudah memberi batas antara dirinya dan pasukan Astagina. Arya mendongak ke atas, ke arah Jatiwungu terakhir kali terlihat. Namun senopati itu tak ada di sana.“Tunggu, Jatiwungu tak ada di sana. Lantas bagaimana dengan Brajawidya-nya?” batin Arya. “Jika tak ada lagi Brajawidya mengapa mereka tak menyerangku?”“Arya sang Ksatria Cundhamani yang kehilangan lengannya,” sapa seorang yang muncul dari balik pasukan berkuda Astagina. “Apa benar karena tertebas salah satu istrimu yang tengah berkelahi, hah?” ledeknya.“Danapati,” lirih Arya. “Dimana Jatiwungu?”“Siapa? Jati ... Ah, maaf aku tak bisa menyebutkan nama m
“Aruna, urus jasad ibundamu!” titah Arya. Lelaki itu meraih tusuk konde emas dari genggaman lemah istrinya. Ia merasa sudah saatnya bertindak. Ia punya kepentingan dengan pelaku pembunuhan Jenar.“Apa yang akan kau lakukan, Ayahanda? Biar aku saja yang menghadapinya!” tolak Aruna.“Tidak, Aruna. Ayah yakin orang ini bukan Danapati. Biarkan Ayah menuntaskan dendam ini. Dia telah membunuh nenek dan ibundamu. Tak akan Ayah biarkan dia masih bernapas malam ini!” tandas Arya.Lelaki itu bangkit dan menghampiri Senopati Jatiwungu yang tertunduk lesu menyaksikan junjungannya tewas mengenaskan. Ia merasa gagal menyandang gelar Senopati. Tugasnya untuk melindungi Jenar kandas. Senopati macam apa yang tetap hidup sedang rajanya tewas.“Kuatkan hatimu, Jatiwungu. Sekarang tunjukkan padaku pelakunya!” pinta Arya sambil menepuk pundak Senopati Jatiwungu.“Sendika, Gusti!”Kedua lelaki itu melompat dan mendarat di atas dinding pagar istana. Mata Senopati Jatiwungu mengedar mencari keberadaan pria y
Tak ada yang lebih menggembirakan bagi Danapati selain melihat buruannya di depan mata. Jenar menggenggam tusuk konde emas yang berlumuran darah. Menatapnya penuh kebencian. Rambut hitamnya berkibar di tiup angin. Ia jauh lebih dingin dan kejam dari pada saat duduk di singgasana emasnya.Tak akan ada gerakan yang dilakukan Jenar selain berdiri di tempatnya. Selebihnya pun bila Suji Pati sudah dilepaskan, maka ia akan menari di atas dinding pagar istana. Ilmu jarak jauhnya itu akan sangat berisiko bila musuh cukup dekat. Sekali waktu ia pernah menggunakan Suji Pati di jarak dekat, itu pun dibantu dan dilindungi oleh mendiang Sanggageni dan Ki Bayanaka.“Ini sulit. Suji Pati membutuhkan jarak, sedang aku pasti akan kesulitan untuk didekati,” batin Danapati. Matanya terus mengedar mencari orang-orang yang berpotensi melindungi Jenar. Tak mungkin perempuan itu berdiri di atas dinding tanpa perlindungan.Danapati bergerak menjauh. Ia sendiri tak mengerti mengapa Jenar tak segera menyerang.
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar