Jenar dan Rara Anjani sama sekali tak bergeming. Mereka tetap saling menyerang dan berusaha mengalahkan satu sama lain. Akan berbeda jika kedua perempuan itu tak menggunakan senjata tajam. Namun saat ini keduanya sama-sama saling serang menggunakan pedang dengan niat untuk membunuh.Pertarungan sejauh ini berjalan seimbang. Rara Anjani memang sempat tersungkur, namun itu salah satu bagian dari gerakan menghindar. Arya tampak terkejut, ia tak menyangka kedua istrinya menguasai ilmu pedang yang lumayan. Mulanya Jenar hanya dikenal sebagai pengguna anak panah dan Suji Pati, sedang Rara Anjani acap kali menggunakan selendangnya untuk bertarung.“Ayahanda, lakukan lah sesuatu! Mereka akan saling bunuh!” seru Aruna mulai panik.Rara Sati yang mendengar tentang pertarungan dua ibundanya segera datang. Serupa dengan Aruna, gadis itu panik dan tak tahu harus berbuat apa. Ia hanya takut kalau ibundanya terbunuh dan Jenar melepaskan Suji Pati-nya.Sebuah gerakan menghindar yang bagus dari Rara S
“Apa mau kalian?” hardik Jenar begitu mendapati Pitaka dan Saradula bersimpuh di hadapannya.“Ampun, Gusti. Kami hanya ingin mengabdi pada Gusti,” lirih Pitaka. Ia dan Saradula sama sekali tak berani menatap Jenar setelah orang yang harusnya ia jaga keselamatannya justru mereka jebloskan ke dalam penjara.“Apa yang memuat kalian yakin aku akan menerima kalian sampai jauh-jauh datang ke sini?” tanya Jenar. Ia tak mengerti mengapa dua mantan pengawalnya itu tahu ia berada di Dipa Kencana.“Ampuni kami jika kami lancang. Sesungguhnya Suradula memiliki kemampuan untuk melacak Gusti melalui energi di tusuk konde emas,” jawab Pitaka sungkan. Ia seperti telah siap akan kemarahan Jenar atau mungkin pengusiran. Namun lebih baik mencoba dari pada tidak sama sekali.“Apa? Suradula? Kau?” tanya Jenar tak yakin dengan kemampuan lelaki 27 tahun di sisi kiri Pitaka itu.Suradula adalah satu dari tujuh pengawalnya yang sangat tak diperhitungkan. Pendiam, cenderung menyendiri dan kemampuannya paling r
Konon kuda hanya akan minum di air yang bersih. Binatang berkaki empat itu mampu mengetahui sumber air dan tidak akan meminum air tercemar. Namun tetap saja hewan yang dijadikan tunggangan itu tak mampu mendeteksi adanya racun dalam air. Dan juga racun yang digunakan Rara Sati hanya bekerja pada manusia saja.Tepian Desa Bakung sudah berdiri ribuan tenda dengan berbagai bentuk dan ukuran. Orang-orang Astagina itu terlebih dulu mengusir penduduk desa dan mengambil alih tanah, hewan ternak dan tanaman mereka. Desa itu sudah seperti perkampungan baru yang ramai namun sama sekali tak ramah.Seharusnya persiapan penyerangan sudah hampir selesai. Namun terhambat karena hampir seluruh prajurit Duwana dan Andanu tiba-tiba terserang diare. Mereka memenuhi sepanjang tepian anak sungai Soma demi menuntaskan hajat. Jumlah mereka yang begitu banyak dan frekuensi buang air besar yang berulang-ulang membuat air sungai jadi tercemar. Beberapa dari para prajurit sudah mengeluh lemas dan berkeringat di
“Rupanya ada penyusup di sini!” sindir Senopati Jatiwungu yang baru saja tiba setelah melompati dinding tanah itu karena mendengar ada pertarungan. Matanya menatap sinis pada Kalawangsa, lelaki yang menjual diri demi kekuasaan.“Kau rupanya! Untuk seorang pengkhianat nasibmu benar-benar baik, Jatiwungu! Aku sangka kau tewas di Rakajiwa,” sindir Kalawangsa.“Pengkhianat? Apa kau tengah bercakap di depan cermin?” balas Senopati Jatiwungu. “Kau lah yang berkhianat atas kepercayaan mendiang Tuan Sanggageni!”“Tak perlu kau bicarakan orang yang sudah mati!” potong Kalawangsa.“Kakanda!” bentak Suraloka. “Kita dulu berjuang bersama dalam panji Baka Nirdaya. Dan atas jasa-jasamu kau diangkat oleh Tuan Sanggageni menjadi pemimpin pasukan udara. Dan kau kini berada di pihak pemberontak?”“Sudah lah, Suraloka! Di dunia ini tak ada orang yang tulus dan bersih. Lihat dirimu, apa yang kau dapat dengan setia kepada Raja boneka itu?” tandas Kalawangsa.“Lidahmu sungguh tajam, Kalawangsa. Mari bandin
Dua ratus lima puluh prajurit gabungan Dipa Kencana disiagakan di perbatasan. Tempat Senopati Jatiwungu dan Suraloka beserta orang-orangnya bertugas. Mereka berdua merasa aneh tempat sesepi tepian anak sungai Soma tiba-tiba dipenuhi prajurit.“Maaf, apa Tuan yang bernama Senopati Jatiwungu?” tanya seorang yang memimpin dua ratus lima puluh prajurit Dipa Kencana tadi.“Benar, aku Jatiwungu. Ada yang bisa aku bantu?” tanya Senopati Jatiwungu.“Hormat, Tuan. Pangeran Aruna meminta Tuan Senopati untuk memimpin kami semua,” ucap prajurit itu sembari membungkuk memberikan hormat.“Aku?” Senopati Jatiwungu tak percaya. Bagaimana mungkin seorang punggawa kerajaan luar diberi kuasa atas pasukan yang cukup banyak.“Benar, Gusti, hamba yakin tak salah dengar titah Gusti Pangeran,” timpal prajurit itu begitu yakin.“Ayo lah, Gusti Senopati. Gusti memang layak memimpin,” ucap Suraloka setengah menggoda. Sejak bertugas bersama di perbatasan Dipa Kencana, mereka berdua menjadi akrab.“Aku hanya terk
Seorang lelaki menunggang kuda memakai baju zirah mendekat. Ia sama sekali tak dikawal namun tetap bersenjata lengkap. Tubuhnya tegap dan berotot. Baju zirah itu membuatnya semakin terlihat besar. Ia mengankat tangannya setelah merasa cukup dekat pada dinding tanah di perbatasan Dipa Kencana bagian barat itu.Satu-satunya pintu pada dinding itu terbuka. Seorang pemuda mengenakan ikat kepala berwarna putih memacu kudanya menuju lelaki Astagina bertubuh besar yang berhenti menunggunya. Ini adalah tata cara perang yang dianut Astagina dan sekitarnya.“Astagina meminta Dipa Kencana untuk kembali menjadi Kadipaten dalam wilayah kekuasaan Astagina!” seru lelaki itu lantang setelah Aruna menghentikan kudanya tepat di hadapannya berjarak dua tombak.“Siapa kau, Ki Sanak? Siapa yang mengutusmu?” tanya Aruna lantang.“Aku Bagasura, utusan Gusti Prabu Bhadrika Astramaya!” jawab lelaki itu tak kalah lantang.“Siapa Bhadrika Astramaya?” tanya Aruna.“Lancang!” hardik lelaki itu geram. Ia menghunus
Senopati Jatiwungu berdiri di pucuk menara bersama Aruna dan seorang prajurit yang membawa dua bendera cukup besar. Suara riuh pasukan Astagina semakin mendesak indera pendengaran mereka. Prajurit itu mengibarkan bendera dan menggerakkannya ke kedua sisi berulang kali. Pra Prajurit Dipa Kencana pun menyadari bahwa ini sebuah isyarat.Barisan pasukan Dipa Kencana itu membelah menjadi dua bagian. Delapan puluh hasta, adalah jarak maksimal yang dibuat Atma dengan Baladhara-nya. Selebihnya serangan dari pasukan atau pun pelontar tak akan bisa dilakukan, karena dibatasi dengan jurang sampai ke dinding tanah. Prajurit Dipa Kencana pun berlindung di luar jarak itu.“Apa Gusti yakin mereka tak akan mengenai menara ini?” tanya Senopati Jatiwungu ragu. Ia justru mengkhawatirkan keselamatan Putra Mahkota di sampingnya.“Apa kau takut, Senopati?” ledek Aruna. “Kau tak mungkin jadi Senopati bila ilmumu masih rata-rata, bukan?”“Sendika, Gusti!” sahut Senopati Jatiwungu dengan senyum di ujung bibir
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar