“Rupanya ada penyusup di sini!” sindir Senopati Jatiwungu yang baru saja tiba setelah melompati dinding tanah itu karena mendengar ada pertarungan. Matanya menatap sinis pada Kalawangsa, lelaki yang menjual diri demi kekuasaan.“Kau rupanya! Untuk seorang pengkhianat nasibmu benar-benar baik, Jatiwungu! Aku sangka kau tewas di Rakajiwa,” sindir Kalawangsa.“Pengkhianat? Apa kau tengah bercakap di depan cermin?” balas Senopati Jatiwungu. “Kau lah yang berkhianat atas kepercayaan mendiang Tuan Sanggageni!”“Tak perlu kau bicarakan orang yang sudah mati!” potong Kalawangsa.“Kakanda!” bentak Suraloka. “Kita dulu berjuang bersama dalam panji Baka Nirdaya. Dan atas jasa-jasamu kau diangkat oleh Tuan Sanggageni menjadi pemimpin pasukan udara. Dan kau kini berada di pihak pemberontak?”“Sudah lah, Suraloka! Di dunia ini tak ada orang yang tulus dan bersih. Lihat dirimu, apa yang kau dapat dengan setia kepada Raja boneka itu?” tandas Kalawangsa.“Lidahmu sungguh tajam, Kalawangsa. Mari bandin
Dua ratus lima puluh prajurit gabungan Dipa Kencana disiagakan di perbatasan. Tempat Senopati Jatiwungu dan Suraloka beserta orang-orangnya bertugas. Mereka berdua merasa aneh tempat sesepi tepian anak sungai Soma tiba-tiba dipenuhi prajurit.“Maaf, apa Tuan yang bernama Senopati Jatiwungu?” tanya seorang yang memimpin dua ratus lima puluh prajurit Dipa Kencana tadi.“Benar, aku Jatiwungu. Ada yang bisa aku bantu?” tanya Senopati Jatiwungu.“Hormat, Tuan. Pangeran Aruna meminta Tuan Senopati untuk memimpin kami semua,” ucap prajurit itu sembari membungkuk memberikan hormat.“Aku?” Senopati Jatiwungu tak percaya. Bagaimana mungkin seorang punggawa kerajaan luar diberi kuasa atas pasukan yang cukup banyak.“Benar, Gusti, hamba yakin tak salah dengar titah Gusti Pangeran,” timpal prajurit itu begitu yakin.“Ayo lah, Gusti Senopati. Gusti memang layak memimpin,” ucap Suraloka setengah menggoda. Sejak bertugas bersama di perbatasan Dipa Kencana, mereka berdua menjadi akrab.“Aku hanya terk
Seorang lelaki menunggang kuda memakai baju zirah mendekat. Ia sama sekali tak dikawal namun tetap bersenjata lengkap. Tubuhnya tegap dan berotot. Baju zirah itu membuatnya semakin terlihat besar. Ia mengankat tangannya setelah merasa cukup dekat pada dinding tanah di perbatasan Dipa Kencana bagian barat itu.Satu-satunya pintu pada dinding itu terbuka. Seorang pemuda mengenakan ikat kepala berwarna putih memacu kudanya menuju lelaki Astagina bertubuh besar yang berhenti menunggunya. Ini adalah tata cara perang yang dianut Astagina dan sekitarnya.“Astagina meminta Dipa Kencana untuk kembali menjadi Kadipaten dalam wilayah kekuasaan Astagina!” seru lelaki itu lantang setelah Aruna menghentikan kudanya tepat di hadapannya berjarak dua tombak.“Siapa kau, Ki Sanak? Siapa yang mengutusmu?” tanya Aruna lantang.“Aku Bagasura, utusan Gusti Prabu Bhadrika Astramaya!” jawab lelaki itu tak kalah lantang.“Siapa Bhadrika Astramaya?” tanya Aruna.“Lancang!” hardik lelaki itu geram. Ia menghunus
Senopati Jatiwungu berdiri di pucuk menara bersama Aruna dan seorang prajurit yang membawa dua bendera cukup besar. Suara riuh pasukan Astagina semakin mendesak indera pendengaran mereka. Prajurit itu mengibarkan bendera dan menggerakkannya ke kedua sisi berulang kali. Pra Prajurit Dipa Kencana pun menyadari bahwa ini sebuah isyarat.Barisan pasukan Dipa Kencana itu membelah menjadi dua bagian. Delapan puluh hasta, adalah jarak maksimal yang dibuat Atma dengan Baladhara-nya. Selebihnya serangan dari pasukan atau pun pelontar tak akan bisa dilakukan, karena dibatasi dengan jurang sampai ke dinding tanah. Prajurit Dipa Kencana pun berlindung di luar jarak itu.“Apa Gusti yakin mereka tak akan mengenai menara ini?” tanya Senopati Jatiwungu ragu. Ia justru mengkhawatirkan keselamatan Putra Mahkota di sampingnya.“Apa kau takut, Senopati?” ledek Aruna. “Kau tak mungkin jadi Senopati bila ilmumu masih rata-rata, bukan?”“Sendika, Gusti!” sahut Senopati Jatiwungu dengan senyum di ujung bibir
Tak ada jawaban dari Atma. Pemuda itu maju dan berdiri di atas reruntuhan dinding tanah buatannya. Kedua tangannya mengepal ke atas. Ia akan memulai Baladhara. Namun tanah bagian mana yang akan ia sasar, hanya Atma yang tahu.“Lindungi dia, Senopati!” seru Aruna.Kedua lelaki itu segera meraih busur dan mulai melepaskan anak panah pada prajurit Astagina yang berusaha menyerang Atma. Dua, tiga, empat, lima prajurit Duwana tertembus anak panah sebelum mampu menyentuh pengguna Baladhara itu. Aruna dan Senopati Jatiwungu berhenti manakala merasakan tanah mulai bergetar.Atma menyasar tanah tempat pasukan Andanu berpijak. Pemikiran yang praktis dan efisien. Baginya risiko memang harus ditempuh. Meski kadang mengalihkan pertimbangan dan perhitungan matang. Tanah di bawah ribuan pasukan Andanu itu amblas dan membuat mereka terperosok ke dalamnya. Pasukan berkuda di belakangnya segera memutar balik, sedang pasukan Duwana tampak kebingungan.“Baru kali ini hamba melihat Baladhara. Sungguh luar
Aruna menancapkan pedang Sanggageni ke puncak pelontar yang terbuat dari balok kayu. Pelontar itu segera hancur dan kandas sampai ke tanah. Menghempaskan puing-puing benda besar itu ke segala arah. Bahkan prajurit yang bertugas mengoperasikan pelontar ikut terpental.Selesai dengan satu pelontar, pemuda itu berpindah dengan cepat ke pelontar lainnya. Dalam waktu singkat lima belas pelontar itu hancur lebur dan puluhan prajurit menemui ajalnya. Putra Mahkota Astagina itu kini dikepung oleh pasukan Astagina dari berbagai divisi pasukan. Tak ada satu pun dari prajurit itu yang pernah berpengalaman menangani api Cundhamani.Tak ada yang berani menghalangi langkah Aruna. Pemuda itu melangkah cepat dengan pedang Sanggageni yang diseret hingga meninggalkan jejak api di tanah. Tujuannya hanya satu, Danapati. Sebagai seorang raja tak mungkin Danapati berada di garis depan.“Dia pasti bersembunyi di balik ratusan ribu prajurit ini. Dasar pengecut sampah!” maki Aruna dalam hati.Kedua mata pemud
Dua ratus prajurit Dipa Kencana semakin terdesak. Sekuat dan setangguh apa pun mereka, jumlah pasukan musuh terlampau banyak untuk ditahan menggunakan perisai. Mereka dipimpin Senopati Jatiwungu terpaksa mundur demi menjaga keselamatan mereka.“Ibunda, sepertinya kita harus mundur!” seru Rara Sati.Jenar tak menjawab namun segera mengakhiri Suji Pati-nya. Sasaran serangannya memang tak habis-habis, namun rupanya prajurit Astagina yang sudah masuk ke dalam dinding sudah terlampau banyak. Melindungi Dipa Kencana adalah prioritas utama mengalahkan kepentingan lain.“Ayo, Sati!” ajak Jenar.Dua perempuan itu segera meninggalkan perbatasan untuk bergabung dengan Senopati Jatiwungu dan pasukan Dipa Kencana. Mungkin lebih mudah untuk membalas serangan daripada hanya menahannya. Begitu lah yang dirasakan para prajurit pimpinan Senopati Jatiwungu. Seorang dari mereka tak tahan dan menurunkan perisai untuk membalas serangan, meski komando untuk itu belum diterima.“Sial, mereka tak bisa bertaha
Berakhir sudah hidup Putra Mahkota Astagina. Itu lah hal yang diyakini Danapati. Lelaki itu begitu gembira melebihi kejumawaannya. Ia bahkan sempat memperhatikan lagi jasad Aruna untuk membuatnya yakin putra Arya itu sudah benar-benar mati. Kini ia merasa lebih mudah untuk menghancurkan Dipa Kencana.“Mulai saat ini, aku yang memimpin peperangan! Maju dengan kekuatan penuh! Serang!” seru Danapati seraya mengacungkan sebilah pedang yang tadi menebas leher Aruna.Teriakan Raja Astagina itu disambut dengan teriakan serupa oleh pasukannya. Meski sudah berkurang banyak, dua ratus ribu adalah jumlah yang luar biasa. Dengan asumsi pasukan Duwana dan Andanu semuanya gugur saja, ia masih memiliki pasukan berkuda dan pasukan udara yang melebihi kekuatan Dipa Kencana.Pasukan berkuda dan sedikit pasukan Andanu maju serentak. Mayoritas pasukan Duwana sudah masuk lebih dulu dan kini sedang mendesak pasukan Dipa Kencana yang terus mundur hingga nyaris sampai di pagar istana. Pasukan udara Astagina