Home / Pendekar / Aruna Putra Api / Chapter 81 - Chapter 90

All Chapters of Aruna Putra Api: Chapter 81 - Chapter 90

133 Chapters

81. Harapan

Prabu Ramatungga pemimpin Wedhari Praja yang kini sudah kembali naik tahta mengangkat tangan kanannya. Seketika lemparan batu berhenti dan suasana yang riuh menghilang. Tertinggal suara Perdana, Barata dan Atma yang mengaduh karena luka akibat lemparan batu. Sebagian besar wilayah kepala.Pria tua dengan puncak kekuasaan dan kewibawaan itu maju dua langkah hingga ke tepi pagar pembatas. Ia bersiap mengucapkan pidato yang membakar semangat dan rasa persatuan rakyat Wedhari Praja. Rangkaian kata-kata penuh kebanggaan yang sudah dua puluh tahun lebih tak pernah lagi ia ucapkan. Juga sebagai puncak momentum kemerdekaan Wedhari Praja dari kekuasaan Astagina.“Kita harus menyelamatkan mereka bertiga, Ayahanda!” bisik Aruna lembut. Ia tak ingin desah napasnya terdengar oleh rakyat Wedhari Praja.“Ayah tahu, tapi bagaimana caranya?” tanya Arya. Aruna terdiam. Dalam kondisi memanas Wedhari Praja, amat riskan melakukan tindakan yang mencolok perhatian. Terlebih mereka berdua berhubungan erat de
Read more

82. Banyak Bicara

“Lokawigna....”“Sendika, Tuan. Mohon sebutkan permintaan Tuan,” ucap lelaki berpakaian putih dengan aksen emas itu. Ia bersedekap namun terus menunjukkan rasa hormat pada Arya.“Tolong pindahkan Sasra Sayaka-Cundhamani sesaat sebelum menghunjam rakyat Wedhari Praja,” titah Arya menatap anak panah apinya yang sudah mengganda menjadi ribuan. Hanya dalam hitungan detik ribuan lesatan jingga itu sudah menukik tajam karena gaya tarik bumi.“Sendika, Gusti!” Lokawigna menundukkan sedikit tubuhnya dah segera berbalik. Menatap ke arah yang sama seperti Arya.Rakyat Wedhari Praja masih terus mendongakkan kepala menatap langit yang dipenuhi lesatan jingga. Tak ada yang sadar bahwa itu adalah Sasra Sayaka-Cundhamani yang bisa saja menghancurkan mereka dalam beberapa detik ke depan. Namun hal itu tidak terjadi pada Prabu Ramatungga.“Sasra Sayaka-Cundhamani? Apa Arya tengah berada di sini? Apa dia akan menghancurkan Wedhari Praja?” gumam Prabu Ramatungga di tengah hiruk pikuk rakyatnya yang terp
Read more

83. Tak Ada Pilihan Lain

“Ayah curiga ada sesuatu yang terjadi dengan ibundamu, Aruna,” lirih Arya.Aruna hanya bersedekap dan diam. Seolah kalimat ayahandanya tadi tak menarik perhatiannya. Matanya menatap rembulan separuh di langit Padepokan Rakajiwa. Tak ada alasan lain yang lebih baik selain membawa Perdana, Barata dan Atma kembali ke padepokan demi memulihkan kondisi.“Kau merindukan ibunda, Ayahanda?” tanya Aruna tiba-tiba. Kata-kata Arya tadi bukan topik pembicaraan yang menarik baginya.“Mengapa kau tanyakan itu?” tanya Arya.“Hmm, apa yang membuat Ayahanda berpikir ada hal yang terjadi dengan ibunda? Padahal jelas-jelas banyak kebijakan Ibunda yang tak berpihak kepada rakyat. Pemisahan kerajaan-kerajaan kecil jadi bukti,” terang Aruna.Arya menghela napas panjang. Sebagai satu-satunya orang tersisa yang begitu mengenal Jenar, ia yakin istrinya itu tak mungkin berbuat sedemikian buruk. Terlepas dari kenyataan Jenar pernah berupaya mencelakainya dan Aruna, tapi Arya merasa ada hal besar yang ia tak tah
Read more

84. Firasat

Pakaian kebesaran sudah ditanggalkan. Tak ada artinya bila kekuasaan tak lagi dalam genggaman. Kemilau mahkota dan perhiasan tak lagi berdampak apa pun di ruang lembab dan gelap ini. Entah sudah berapa lama Jenar duduk bersila menyandarkan tubuh kurusnya di dinding. Kedua matanya terpejam. Sudah lima kali gelap terang terakhir ia tak bisa lagi merasakan sakit pada tubuh, terutama perutnya.“Gusti, makan lah,” ucap Seruni lirih. Emban setia Jenar yang akhirnya ditugaskan menemani raja Astagina itu dalam sekapan Danapati.Tak ada jawaban dari bibir Jenar. Perempuan itu hanya menghela napas sejenak. Lalu kembali diam membisu. Wajahnya semakin tirus dengan kulit kusam tak terawat. Ia mengenakan pakaian serba putih dengan rambut diikat ke atas.“Hamba mohon, makan lah, Gusti. Sudah satu pekan ini Gusti hanya minum air,” lanjut Seruni.Jenar kembali menghela napasnya. “Tidak, Seruni. Aku akan makan jika aku menemukan alasannya.”“Alasannya?”“Ya, jika aku makan, apa kah aku bisa keluar dari
Read more

85. Mencari Jenaka

Sebuah bangunan megah sebelah utara istana raja tampak lengang. Sejak kematian Sanggageni dan menghilangnya Ki Bayanaka bangunan itu tiada lagi berpenghuni. Seruni pernah melihat seekor elang yang diikat di beranda tengah diberi makan oleh seorang abdi. Ia yakin itu Jenaka. Namun peristiwa itu sudah cukup lama. Seperti dugaannya, tak ada lagi Jenaka di beranda itu.Perempuan itu menggenggam lonceng pemberian Jenar. Raut wajahnya tampak ragu. Sesekali ia menoleh ke segala arah. Kewaspadaannya berada pada tingkat tertinggi. Ia tak boleh gagal dalam misi sederhana ini. Atau kepercayaan Jenar padanya akan tercoreng, juga mengancam hidup Jenar dan hidupnya sendiri.“Apa aman jika aku bunyikan lonceng di sini?” batin Seruna sambil terus mengawasi sekitar. Perempuan itu kini berdiri seorang diri di ambang beranda.“Apa yang kau lakukan di sini, Nyai?” tanya seorang pria bersuara berat di belakang Seruni. Tentu saja Emban itu terkejut dan serta merta menoleh ke belakang dengan wajah gugup.“
Read more

86. Seekor Elang

“Apa salahnya dicoba,” gumam Seruni dan segera menggoncangkan lonceng di tangan kanannya.Perempuan itu berjarak dua belas tombak dari pintu Mandalasari. Tak ada lagi yang bisa ia lakukan di dalam. Kedatangan petugas yang memberi makan para satwa sama sekali tak memberinya kesempatan berpikir dan pilihan bertindak. Belum lagi prajurit penjaga yang terus mencari keberadaannya. Ia bahkan tanpa persiapan apa pun menghadapi seekor elang.Kadang ide memang datang di saat terdesak. Seruni teringat abdi yang ia lihat memberi makan Jenaka di dekat istana Sanggageni. Abdi itu mengenakan pelindung pada lengannya. Artinya cakar elang bisa saja mengoyak kulitnya. Buru-buru Seruni melilitkan selendang yang melingkar di pinggangnya pada lengan kanan, tempatnya memegang lonceng.“Apa itu dia?”Seruni mendengar suara beberapa kali kepakan sayap. Selanjutnya sesuatu tampak melesat begitu cepat ke arahnya. Perempuan itu memejamkan mata seraya merogoh kantung kulit di pinggangnya dengan tangan kiri. Sep
Read more

87. Bertemu Sakuntala

“Kita tak mungkin melakukan pertarungan terbuka di Astagina,” buka Arya setelah memutuskan menunda perjalanan ke Dipa Kencana.“Apa maksud ibunda dengan ‘dua orang pengguna Wikararupa’, Ayahanda?” tanya Aruna masih menggenggam surat dari Jenar.“Ayah juga tak tahu, Nak. Setahu Ayah, Waradhana-lah pengguna Wikararupa terakhir. Jika memang masih ada dua orang, artinya mereka masih antek-antek Ranajaya!” jawab Arya dingin. Ada kemelut dalam hati yang tak seorang pun dari keempat pemuda di dekatnya itu tahu.“Apa kah kami bisa membantu, Paman?” tanya Perdana.“Benar, kami akan senang dapat membantu Paman dan Aruna, meski pun tak banyak,” sambung Atma sendu. Ketiga pemuda itu seolah sudah memperoleh simpulan untuk membantu Arya dan Aruna meski sama sekali tak melakukan pembicaraan.“Bagaimana denganmu, Aruna?” tanya Arya. Tentu saja pertanyaan pria itu mengacu pada risiko yang akan diterima putranya bila membawa banyak orang dengan Lembat Brabat.Aruna terdiam sejenak. Dahinya mengernyit t
Read more

88. Pertarungan Dalam Menara

“Membunuhku? Yang benar saja, Arya! Kau memang kuat, tapi sikap rendah hatimu itu membuat kau lemah!” ketus Sakuntala. Pria itu seperti tak punya rasa takut. Ia masih saja terus memancing amarah lawannya meski anak panah api tengah menghunusnya.“Aku mengenalmu. Lebih dalam dari pada kau mengenal dirimu sendiri. Jika suatu waktu kau terlalu sombong dan banyak bicara, biasanya bencana akan datang kepadamu,” ucap Arya seraya menarik talik busurnya kuat-kuat. “Bencana kali ini akan datang dariku!”Sakuntala tertawa lebar sampai mendongak. Ia seperti tak takut lagi dengan api cundhamani yang menyebabkannya kehilangan kaki kiri. Padahal di sekitarnya sama sekali tak ada bantuan prajurit atau orang lain yang bisa menyelamatkan dirinya.“Susul Waradhana dan Ranajaya junjunganmu, Sakuntala!” seru Arya disusul dengan tali busur yang dilepaskan.Aruna memperhatikan peristiwa itu dengan seksama. Apa jadinya bila Cundhamani dilepaskan dalam jarak sedekat itu. Sasra Sayaka-Cundhamani sudah ia saks
Read more

89. Rencana Perdana

“Danapati, tak bisa aku percaya ini. Kau sudah menguasai Astagina, serahkan Jenar padaku. Apa semua ini belum cukup?” seru Arya dengan kekuatan api menyilaukan itu masih dalam genggaman.“Kau panggil aku apa? Danapati? Dimana rasa hormatmu pada Paman? Dasar anak nakal!” hardik Danapati setengahnya meledek. Hal yang membuat Arya semakin tersulut emosinya. Api di tusuk konde emas dalam genggaman semakin membesar, sama seperti amarahnya.“Aku menyesal memberikan tempat untuk seorang pengkhianat!” seru Arya. “Dengan segala kekuasaan ini bahkan kau masih belum merasa cukup!”“Kekuasaan? Aku hanya merasa berkuasa bila telah menumbangkan raja dari kerajaan besar dan menghancurkan sebuah kerajaan kecil. Bukan begitu, Arya?” sindir Danapati dengan tatapan liciknya.Tentu kata-kata Danapati mengacu pada apa yang telah dilakukan Arya di masa lampau. Menumbangkan Ranajaya dan menghancurkan Candikapura. Kerajaan yang sudah sejak lama ingin Danapati kuasai kembali sebagai keturunan terakhir trah Ca
Read more

90. Jebakan

“Kau? Bagaimana mungkin kau ada di sini?” tanya Pitaka tak mengerti. Matanya menatap lekat-lekat Perdana yang kadang mencoba melepaskan diri dari cengkeraman para prajurit.“Tentu saja, kau pikir bagaimana kau bisa di Wedhari Praja? Begitu pun mengapa aku bisa ada di sini!” sahut Perdana sinis.“Bedebah! Untuk siapa kau bekerja?” hardik Pitaka.“Bekerja? Ah, aku baru ingat kalau aku harus bekerja,” ucap Perdana seraya mengatupkan kedua telapak tangan.Puluhan prajurit itu mendadak berjatuhan. Mereka semua mengerang kesakitan, kebanyakan memegangi tangannya yang terasa begitu sakit. Pitaka terbelalak, tak mengerti apa yang terjadi. Namun ia paham bahwa pemuda di hadapannya lah dalang dari semua itu.“Prajurit! Tangkap dia!” titah Pitaka pada lima prajurit tersisa. Kelimanya berjaga di pintu masuk istana milik mendiang Sanggageni itu.Lima prajurit segera menghambur dengan pedang terhunus. Perdana tersenyum seolah sudah memprediksi hal ini. Ia menjentikkan sebatang tombak dengan kaki ka
Read more
PREV
1
...
7891011
...
14
DMCA.com Protection Status